Rabu, 31 Juli 2024

Bagaimana Memperoleh Damai Sejahtera Allah?


Bacaan Hari ini:

Yohanes 14:27 “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.”


Allah telah berjanji untuk memberikan Anda ketenangan jiwa. Bahkan salah satu nama-Nya adalah Jehovah Shalom, yang artinya, “Tuhan Damai Sejahtera.” 


Menemukan ketenangan jiwa merupakan salah satu kebutuhan terdalam kita. Jika Allah telah menjanjikan ketenangan jiwa namun Anda tidak merasakannya,  Anda harus mencari tahu penyebabnya. Berikut ini tiga hal yang dapat merampas damai sejahtera Anda:


Ketika keadaan berada di luar kuasa Anda. Banyak aspek kehidupan yang di luar kuasa kita. Misalnya, kita terjebak dalam kemacetan lalu-lintas dan melewatkan sebuah acara penting. Pasangan suami istri berusaha mati-matian untuk mengandung– namun sayangnya tidak kunjung berhasil. Karyawan yang tiba-tiba kehilangan pekerjaannya dan kebingungan bagaimana mencukupi kebutuhan keluarga mereka. Ketika keadaan ini — perkara besar ataupun kecil — terjadi, kita menjadi frustrasi dan kehilangan ketenangan jiwa. 


Ketika Anda mengenal orang-orang yang tidak dapat berubah. Hal yang paling cepat menguras kesabaran kira ialah kita mencoba mengubah orang lain. Tentu saja tak setiap orang dapat berubah sesuai dengan kehendak Anda. Tetapi meskipun kita tahu itu tidak akan berhasil, kita masih saja mencoba melakukannya! Itulah yang bisa menjauhkan kita dari damai sejahtera.


Ketika ada perkara yang tidak dapat dijelaskan. Kita tahu hidup ini tidak adil. Tidak semua keadaan berakhir indah. Dan ketika kita tidak mengerti alasannya, kita menjadi cemas, gugup, dan stres.


Menerima damai sejahtera Allah bukan berarti hidup Anda akan terbebas dari masalah. Melainkan, walaupun ketika dunia Anda tampak runtuh, Anda akan mampu berpikir jernih dan tidur dengan tenang. 


Bagaimana cara memperoleh damai sejahtera Allah dalam hidup Anda? Damai sejahtera-Nya bukanlah sesuatu yang Anda usahakan atau minta. Itu merupakan anugerah yang Anda terima dengan iman. 


Maka, berpalinglah kepada Allah di dalam doa. Katakan pada-Nya apa yang ada dalam pikiran Anda. Fokuslah pada kebaikan-kebaikan-Nya. Selanjutnya, damai sejahtera yang melampaui pemahaman Anda akan memenuhi hati dan pikiran Anda.


Renungkan hal ini:

- Keadaan-keadaan apa yang berada di luar kuasa Anda yang merampas damai sejahtera Anda belakangan ini?

- Bagaimana Allah menggunakan permasalahan untuk mendekatkan Anda kepada-Nya untuk membantu Anda bertumbuh secara rohani?

- Perubahan apa yang terjadi dalam hidup Anda ketika Anda hidup dalam damai sejahatera Allah?


Anda tidak akan pernah dapat menemukan damai sejahtera dalam dunia ini. Damai hanya ada di dalam Yesus, carilah Dia.


(Diterjemahkan dari Daily Devotional by Rick Warren)

Selasa, 30 Juli 2024

Turut Berduka


Bacaan: Pengkhotbah 7:3-6


Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.- Matius 5:4


Ayat yang kita baca hari ini sepertinya berkebalikan dengan pesan Salomo di seluruh Kitab Pengkhotbah. “Bukankah Salomo mengatakan lebih baik makan, minum, dan bersenang-senang? Kenapa sekarang malah dikatakan lebih baik bersedih?”


Untuk menjawab pertanyaan ini, penting untuk diketahui bahwa kata “tertawa” (ay. 3) dapat diterjemahkan secara berbeda-beda. Ada yang berpendapat bahwa kata ini lebih tepat diterjemahkan “marah” sehingga pesannya adalah “bersedih lebih baik daripada marah”. Namun, tafsiran yang lebih tepat di sini adalah tertawa mengejek. Jadi, maksud ayat ini dan ayat-ayat selanjutnya adalah ketika melihat seseorang yang berduka, lebih baik kita menghiburnya daripada menjadikannya hiburan dan menertawakannya.


“Ah, semua orang juga tahu!” Oh, ya? Jika demikian, mengapa kisah seseorang yang berduka atau tertimpa masalah kita jadikan hiburan dengan menggosipkannya? Atau, kemalangan orang tersebut kita jadikan tempat untuk menghakiminya dan merasa benar sendiri, “Dia sih jahat padaku! Sekarang dia tertimpa musibah!” Bahkan, Anda yang telahmenjadi orangtua pernah melakukan hal ini kepada anak Anda dengan mengatakan, “Makanya mama bilang juga apa? Kamu sih tidak mendengarkan mama!” “Masak hal begini saja bikin kamu sedih?! Papa dulu lebih susah, tapi tidak secengeng kamu!” Kata-kata demikian termasuk apa yang Salomo kecam sebagai “tertawa orang bodoh” yang terdengar seperti “bunyi duri terbakar di bawah kuali” (ay. 6)


Jadi, apa yang harus dilakukan ketika melihat seseorang mengalami kemalangan, entah karena kesalahan orang lain atau kesalahannya sendiri? Jawabannya adalah turut merasakan penderitaannya! Tidak perlu tawa mengejek, tidak perlu penghakiman, tidak perlu omelan. Bukankah ini yang Tuhan Yesus lakukan ketika melihat kebebalan bangsa-Nya (Luk. 19:41)? Menarik jika kita baca di keempat Injil, bagaimana Tuhan Yesus menangis saat melihat kebebalan dan kemalangan yang akan menimpa Israel, tetapi berbeda dengan yang dicatat dalam “injil-injil” palsu apokrifa (mis: Injil Thomas, Injil Yudas Iskariot), dikatakan Dia malah tertawa saat melihat ini.


Bisa berempati dan turut merasakan penderitaan orang lain bukanlah sesuatu yang kita—sebagai manusia berdosa—secara natural lakukan. Namun, marilah kita belajar menjadi orang berhikmat dengan menunjukkan belas kasihan kepada orang lain.


Refleksi Diri:

Apa tindakan yang pernah/sering Anda lakukan dari beberapa bentuk “tertawa orang bodoh” pada alinea 3? Mengapa Anda melakukannya?


Apa tindakan/kata-kata yang sekarang ingin Anda berikan kepada mereka yang tertimpa kemalangan setelah membaca renungan ini?


Sumber: Renungan GII Hok Im Tong

Senin, 29 Juli 2024

WAKTU BAGI ALLAH


Bacaan: Mazmur 119:105-112


NATS: Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku (Mazmur 119:105)


Harry A. Ironside (1876-1951) adalah salah seorang pengajar Alkitab yang paling berhasil dan paling disukai pada awal abad ke-20. Menurut penuturan teman dekatnya, Ironside selalu memulai setiap harinya dengan mendalami Alkitab dan berdoa. Ia menyebut waktu itu sebagai "kesiagaannya di pagi hari" dan merupakan bagian terpenting dalam setiap harinya.


Suatu hari, ketika Ironside sedang mengajar di sebuah seminari, seorang murid menghampirinya dan berkata, "Dr. Ironside, saya tahu Anda selalu bangun pagi untuk membaca dan mempelajari Alkitab setiap hari."


"Oh, saya telah melakukannya sejak menjadi orang kristiani," jawabnya.


"Bagaimana Anda dapat terus melakukannya?" tanya si murid. "Apakah Anda berdoa untuk hal itu?"


"Tidak," kata Ironside. "Saya hanya selalu bangun pagi."


Ironside tahu bahwa kehidupan rohaninya bergantung pada waktu khusus yang ia luangkan untuk mempelajari firman Allah. Ia tak perlu bertanya kepada Allah apakah ia mesti melakukannya, atau meminta hasrat dari-Nya untuk melakukan hal itu. Ia sadar bahwa disiplin ini adalah kebutuhan mutlaknya agar dapat mengembangkan kehidupan rohani dan pengaruhnya kepada orang lain. Ia tak dapat hidup jika tak melakukannya.


Pemazmur menulis, "Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku" (Mazmur 119:105). Sadarkah kita bahwa kita sangat memerlukan terang firman Allah setiap hari? Adakah kita mengembangkan kebiasaan membaca Alkitab secara teratur? --DHR


BUKALAH ALKITAB DENGAN DOA,

BACALAH DENGAN SAKSAMA,

TAATILAH DENGAN SUKACITA


Sumber: Renungan Harian

Minggu, 28 Juli 2024

Nasihat Yang Sia-Sia


Bacaan: Pengkhotbah 6:10-12


Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus.- Kolose 2:8


Anda membuka Instagram dan menemukan kutipan-kutipan kata-kata bijak yang didesain dengan indah. Anda membuka Youtube dan menemukan motivator-motivator atau mentor-mentor keuangan memberikan berbagai nasihat kehidupan yang terdengar dalam dan bijak. Anda kemudian berusaha menerapkan kutipan-kutipan atau nasihat-nasihat online tersebut dalam kehidupan. Apa kata Salomo? “Siapakah yang mengetahui apa yang baik bagi manusia” dan “siapakah yang dapat mengatakan kepada manusia apa yang akan terjadi di bawah matahari sesudah dia?” (ay. 12)?


Di masa kini, dengan adanya internet, sangat mudah untuk belajar banyak hal, termasuk belajar kehidupan. Kita hidup dari kutipan-kutipan atau nasihat-nasihat online. Dengan kata lain, kita dimuridkan oleh internet… dimuridkan oleh dunia dan bukan oleh Kristus!


“Lho? Apa salahnya belajar dari internet? Ada banyak hal baik yang bisa dipelajari!” Ya, tetapi banyak juga hal-hal buruk. Anda tahu, mengapa tingkat pernikahan dan kelahiransangat rendah di Amerika? Karena melalui internet-lah para pemuda diajari bahwa semua wanita adalah cewek matre atau perempuan mata duitan (“gold digger”) yang akan menyikat habis segala miliknya begitu menikah. Di sisi lain, melalui internet-lah para pemudi diajari bahwa mereka harus hidup sendiri dan tidak butuh laki-laki (“I don’t need a man”) dan bahwa laki-laki hanya ingin mempergunakan mereka sebagai pemuasan kebutuhan seksual. Tidak heran akhirnya tidak ada yang mau menikah. Mereka dimuridkan oleh dunia. Belum lagi ditambah isu-isu sensitif lainnya seperti kaum LGBT (lesbian, gay, bisexual, transgender) yang menyebarkan pembelaannya di internet, bahkan mengajarkan bahwa menjadi LGBT adalah sesuatu yang membanggakan.


Salomo mengatakan bahwa “makin banyak kata-kata, makin banyak kesia-siaan” (ay. 11), mulai dari nasihat-nasihat yang jelas-jelas salah seperti contoh di atas, sampai kata-kata sia-sia seperti: kamu hanya hidup sekali (you only live once) dan jadilah dirimu sendiri (be yourself). Sesudah hidup di dunia, ada kekekalan yang menanti kita. Kita harus menjadi seperti Kristus, bukannya tetap seperti diri kita yang sekarang.


Jadi, berhati-hatilah dengan yang Anda baca. Jangan sampai Anda dimuridkan oleh nasihat-nasihat yang sia-sia. Segala sesuatu harus diuji di dalam terang firman Tuhan.


Refleksi Diri:

Apakah Anda terjebak dimuridkan oleh dunia, misalnya melalui internet? Apakah Anda menerimanya mentah-mentah?


Apakah Anda menguji semua “nasihat” atau “kata-kata bijak” tersebut berdasarkan kebenaran firman Tuhan?


Sumber: Renungan GII Hok Im Tong

Sabtu, 27 Juli 2024

HAL BERBICARA


Bacaan: Mazmur 141


NATS: Awasilah mulutku, ya Tuhan, berjagalah pada pintu bibirku! (Mazmur 141:3)


Seorang pria menghadiri suatu pertemuan dengan pembicara tamu yang bicaranya bertele-tele. Karena sudah tidak tahan lagi, pria ini menyelinap keluar dari pintu samping. Ketika sedang berjalan di koridor, ia bertemu dengan seorang teman yang bertanya, "Ia sudah selesai bicara?"


"Belum," sahut pria itu, "ia sudah berbicara berjam-jam, tapi ia tidak menyadarinya! Tampaknya ia tidak akan berhenti bicara!"


Gagasan untuk berbicara langsung mengenai topik yang hendak disampaikan dan mengatakan sesuatu yang berharga setiap kali berbicara dengan orang lain pada setiap hari merupakan sebuah nasihat bijak bagi kita. Jika saja kita bersedia jujur pada diri sendiri, mau tak mau kita harus mengakui bahwa sebagian pembicaraan kita merupakan perkataan yang sia-sia. Tuhan Yesus memperingatkan, "Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman" (Matius 12:36).


Ambillah waktu sejenak untuk merenungkan percakapan Anda sehari-hari. Topik apakah yang paling sering Anda bicarakan? Apakah Anda terlalu banyak bicara sehingga tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk berbicara? Apakah perkataan Anda bermanfaat bagi orang lain? Dan yang terpenting, apakah perkataan Anda memuliakan Tuhan?


Allah dapat memampukan Anda untuk berbicara dengan perkataan yang membangun sesama dan tidak sekadar berbicara. Hari ini, marilah kita jadikan perkataan Daud sebagai doa kita: "Awasilah mulutku, ya Tuhan, berjagalah pada pintu bibirku" (Mazmur 141:3) --Richard De Haan


JIKA TIDAK ADA YANG INGIN ANDA BICARAKAN LEBIH BAIK BERDIAM DIRI


Sumber: Renungan Harian

Jumat, 26 Juli 2024

MENDAMBAKAN PENEGUHAN


Bacaan: Ulangan 3:23-29


NATS: Dan berilah perintah kepada Yosua, kuatkan dan teguhkanlah hatinya (Ulangan 3:28)


Dalam Ulangan 3 kita membaca bahwa Musa memberikan dukungan kepada Yosua ketika ia hendak menjalankan tugas sebagai pemimpin bangsa Israel. Tak diragukan lagi, Yosua dihinggapi perasaan takut dan tidak layak untuk menggantikan kepemimpinan Musa. Oleh sebab itu, Tuhan meminta Musa untuk meneguhkan Yosua.


Dari waktu ke waktu, kita semua membutuhkan perkataan yang meneguhkan agar dapat maju terus saat menghadapi tantangan baru yang besar. Selain itu, kita juga membutuhkan kata-kata penghargaan dan pujian saat melaksanakan tanggung jawab kita sehari-hari, baik di rumah maupun di kantor.


Ketika seorang akuntan perusahaan bunuh diri, dilakukanlah upaya untuk mengetahui alasan perbuatannya ini. Catatan keuangan perusahaan diperiksa, namun tidak ditemukan adanya kecurangan. Tak satu penemuan pun dapat mengungkapkan alasan tindakan bunuh diri tersebut, sampai akhirnya ditemukan sebuah catatan kecil. Isi catatan itu begitu singkat: "Selama 30 tahun aku hidup, aku tak pernah mendapatkan satu kata peneguhan pun. Aku menyerah!"


Banyak orang sangat membutuhkan pujian, sekecil apa pun. Mereka membutuhkan kata-kata pengakuan, senyuman penuh perhatian, jabat tangan yang hangat, dan ungkapan penghargaan yang jujur atas semua hal baik pada diri maupun pekerjaan mereka.


Sebab itu, marilah kita bertekad untuk setiap hari memberikan peneguhan (bukan menjilat), setidaknya kepada satu orang. Marilah kita melakukan bagian kita untuk menolong orang-orang di sekeliling kita yang mendambakan kata-kata peneguhan --Richard De Haan


SEPATAH KATA PENEGUHAN DAPAT MEMBUAT PERBEDAAN BESAR ANTARA MENYERAH ATAU TERUS BERJUANG


Sumber: Renungan Harian

Kamis, 25 Juli 2024

“LALU BAGAIMANA?”


Bacaan: Matius 6:19-24


NATS: Harta benda tidaklah abadi (Amsal 27:24)


Pada abad ke-16 ada sebuah kisah tentang percakapan penuh selidik antara seorang pemuda yang ambisius dengan seorang kristiani yang saleh bernama St. Philip Neri. Sang pemuda berkata kepadanya dengan semangat, “Orangtua saya akhirnya menyetujui rencana saya untuk masuk sekolah hukum!” Philip hanya menanggapinya dengan sebuah pertanyaan, “Lalu bagaimana?”


Ia menjawab, “Lalu saya akan menjadi seorang ahli hukum!” “Lalu?” kejar Philip. “Lalu saya akan mendapatkan banyak uang, membeli sebuah rumah pedesaan, membeli kereta dan kuda-kuda, menikahi seorang wanita cantik, dan menjalani hidup yang menyenangkan!” jawabnya.


Lagi-lagi Philip bertanya, “Lalu?” “Lalu ....” Untuk pertama kalinya pemuda itu mulai merenungkan tentang kematian dan kekekalan. Ia menyadari bahwa ternyata ia tidak melibatkan Allah dalam rencana-rencananya, dan membangun hidupnya di atas nilai-nilai yang fana.


Inti kisah ini bukan hendak mengatakan bahwa kekayaan itu salah. Tetapi jika kekayaan menjadi tujuan utama, maka kita mengabaikan kekekalan dan mengandalkan uang, bukan Allah. Yesus mengatakan bahwa kita tidak mungkin mengabdi kepada uang dan kepada Allah (Matius 6:24). Dan Dia memperingatkan, “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi .... Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga” (ayat 19,20).


Baik anak muda maupun orang tua memang harus membuat berbagai perencanaan hidup yang penting. Namun, marilah kita senantiasa mengingat kekekalan dengan selalu mengarahkan diri kita pada pertanyaan, “Lalu bagaimana?” --Joanie Yoder


UKURAN SEJATI KEKAYAAN KITA

ADALAH HARTA YANG KITA MILIKI DI SURGA


Sumber: Renungan Harian

Rabu, 24 Juli 2024

BERBUAT BAIK


Bacaan: Amsal 19:17-22


NATS: Sifat yang diinginkan pada seseorang ialah kebaikannya (Amsal 19:22)


Richard W. De Haan adalah penulis setia "Our Daily Bread", sekaligus mantan guru Alkitab serta pemimpin RBC ministries. Setelah menderita sakit cukup lama, beliau berpulang kembali kepada Juruselamatnya pada tanggal 16 Juli 2002.


Richard terlibat dalam penerbitan ODB sejak pertama kali diterbitkan yaitu pada tahun 1956. Beliaulah yang menyarankan pemberian nama "Our Daily Bread" pada kumpulan renungan ini. Beliau selalu dikenang dengan penuh kasih karena pengajaran tentang Alkitab yang jelas dan praktis, dan juga karena perkataan beliau yang hangat dan menguatkan.


"Kegelapan besar" pada tanggal 9 November 1965 merupakan pengalaman yang tak terlupakan. Gangguan listrik dalam skala besar ini telah mengakibatkan kegelapan di delapan negara bagian di sebelah timur laut Amerika, serta sebagian Ontario dan Quebec di timur Kanada -- meliputi 128.000 kilometer persegi dan berdampak pada 30 juta orang.


Tanpa penerangan listrik, kebutuhan akan lilin pun meningkat dengan pesat. Seorang penyiar sebuah stasiun radio di New York yang tetap mengudara karena memiliki sumber listrik cadangan melaporkan,

"Sebuah drama menarik sedang ditayangkan di jalan-jalan. Harga

lilin di banyak toko telah meningkat dua kali lipat. Namun, ada

juga beberapa pedagang baik hati yang menjualnya hanya setengah

harga, atau bahkan memberikannya secara cuma-cuma."


Pada saat darurat ini, beberapa pemilik toko lebih mengutamakan kepedulian mereka terhadap sesama daripada keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Namun, sebagian lainnya memanfaatkan situasi ini lebih untuk keuntungan pribadi daripada rasa peduli akan sesama. Situasi yang sama menghasilkan dua tipe orang yang berbeda, yaitu yang mencari kepentingan diri sendiri dan yang memikirkan kepentingan orang banyak.


Bagaimana seharusnya kita menyikapi situasi ini? Apakah kita memiliki rasa belas kasihan kepada orang yang membutuhkan dan menunjukkan kebaikan kepada mereka? (Amsal 19:17,22). Satu-satunya respons yang tepat terdapat dalam Galatia 6:10, "Selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang" --Richard De Haan


TIDAKLAH SULIT MENEMUKAN PELUANG UNTUK BERBUAT BAIK


Sumber: Renungan Harian

Selasa, 23 Juli 2024

PENYELESAIAN DARURAT


Bacaan: Mazmur 106:1-15


NATS: Tetapi segera mereka melupakan perbuatan-perbuatan-Nya, dan tidak menantikan nasihat-Nya (Mazmur 106:13)


Banyak orang berdoa hanya pada saat krisis. Mereka cenderung menganggap Allah sebagai "tempat penyelesaian darurat", pemecah masalah. Jadi ketika masalah terselesaikan dengan belas kasih, Dia diberi ucapan syukur dengan hormat, lalu lambat laun dilupakan sampai krisis berikutnya datang.


Alkisah, ada seorang gadis muda kaya yang terbiasa dilayani. Ia selalu takut naik tangga yang gelap sendirian. Ibunya menyarankan agar ia mengatasi rasa takutnya dengan meminta Yesus menemaninya menaiki tangga itu. Ketika sampai di ujung tangga, ia berkata, "Terima kasih, Yesus. Sekarang Engkau boleh pergi."


Kita mungkin tersenyum mendengar cerita ini, tetapi Mazmur 106 memuat peringatan keras tentang sikap menyingkirkan Yesus dari kehidupan kita, seolah-olah ini mungkin terjadi. Orang Israel menganggap belas kasih Tuhan adalah hal yang wajar, sehingga Allah menyebutnya pemberontakan (ayat 7). Dengan mengabaikan Allah, berarti mereka akan membiarkan jiwa mereka kelaparan (ayat 13-15). Ini adalah suatu pelajaran penting bagi kita!


Harapkanlah hal-hal yang besar dari Allah, tetapi jangan mengharapkan-Nya untuk menuruti perintah Anda. Sebagai gantinya, bersiaplah untuk menerima perintah-Nya dan memenuhi kehendak-Nya dengan penuh semangat.


Seperti gadis kecil yang kaya tadi, mintalah supaya Allah menemani Anda melalui lorong-lorong hidup yang gelap. Namun, meskipun keperluan Anda sudah terpenuhi, tetaplah berpegang erat-erat kepada-Nya karena hidup Anda semata-mata tergantung kepada-Nya --Joanie Yoder


ALLAH BUKANLAH MESIN OTOMAT YANG SELALU MEMBERIKAN APA YANG KITA INGINKAN


Sumber: Renungan Harian

Senin, 22 Juli 2024

Bahaya Iri Hati


Bacaan: Pengkhotbah 4:4


Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang.- Amsal 14:30


Alkisah, hiduplah seorang pedagang kaya raya. Meskipun kaya, pedagang ini begitu iri dengan saingannya yang lebih kaya daripada dirinya. Segala upaya dilakukan untuk melampaui kekayaan saingannya tersebut. Raja dari kerajaan yang mendengar kabar persaingan tersebut kemudian memanggil si pedagang kaya ke istana. “Aku akan memberikan apa pun yang kau inginkan,” sang raja menjanjikan, “tetapi aku akan memberikan dua kali lipatnya kepada sainganmu.” Dengan janji ini, ia berharap dapat meredakan persaingan tersebut. Pedagang tersebut berpikir keras selama beberapa hari, kemudian kembali ke istana untuk memberi jawaban. Betapa kagetnya sang raja ketika ia menjawab, “Aku ingin raja mencungkil satu mataku.”


Itulah iri hati. Terdengar sangat aneh bahwa seseorang berusaha keras, tetapi dimotivasi oleh iri hati terhadap orang lain. Tidak perlu jauh-jauh. Cukup lihat anak-anak muda zaman sekarang yang hampir setiap jam memeriksa media sosialnya untuk melihat apakah mendapatkan likes atau followers. Mengapa mereka begitu tekun? Tentu saja karena ingin seperti teman-temannya yang mendapatkan likes dan punya followers lebih banyak. Tidak hanya dalam hal media sosial, bahkan dalam hal pekerjaan dan pelayanan pun mungkin saja kita dimotivasi oleh iri hati.


Raja Salomo mengatakan bahwa ini adalah usaha menjaring angin. Mengapa? Karena seperti si pedagang kaya, ia bukan berdukacita karena penderitaannya, melainkan berbahagia atas penderitaan orang lain. Itulah sebabnya yang paling diinginkannya bukan kebahagiaannya sendiri, melainkan penderitaan saingannya. Pedagang kaya rela kehilangan satu matanya, asalkan saingannya buta. Bodoh sekali, bukan?


Jeff Cook, seorang filsuf Kristen, mengatakan bahwa dari tujuh dosa maut— kesombongan, ketamakan, kemarahan, hawa nafsu, kerakusan, kemalasan, dan iri hati— iri hati adalah dosa yang paling menyedihkan (the most miserable). Jika keenam dosa yang lain membawa kenikmatan maka iri hati justru membuat seseorang sengsara. Ia tidak bisa menikmati kebahagiaan apa pun yang ada di depannya sebelum melihat orang lain menderita.


Ingat perumpamaan Tuhan Yesus tentang anak yang hilang. Keserakahan membuat Anda menjadi si bungsu, tetapi iri hati menjadikan Anda si sulung. Dari antara mereka, siapa yang kembali pulang dan siapa yang sampai akhir tetap menolak Bapanya? Itulah sebabnya iri hati adalah dosa paling menyedihkan.


Refleksi Diri:

Apakah saat ini Anda sedang memendam iri hati terhadap seseorang? Siapa dan mengapa?


Apa yang dapat Anda lakukan untuk meredakan iri hati dan memurnikan motivasi Anda dalam mengerjakan segala sesuatu?


Sumber: Renungan GII Hok Im Tong

Minggu, 21 Juli 2024

Power Corrupts


Bacaan: Pengkhotbah 4:1; 9:13-18


Jika orang fasik mendapat kekuasaan, orang menyembunyikan diri, tetapi jika mereka binasa, bertambahlah jumlah orang benar.- Amsal 28:28


Presiden Amerika Abraham Lincoln pernah mengatakan, “Hampir semua orang dapat berhadapan dengan kesulitan. Tetapi jika engkau ingin menguji karakter seseorang, berikan ia kekuasaan.” (Nearly all men can stand adversity. But if you want to test a man’s character, give him power). Benar kenyataan yang disampaikan Lincoln. Mengapa? Karena justru seseorang dapat melakukan segala bentuk kejahatan ketika ia berkuasa. Ketika orang yang tidak berkuasa tidak melakukan kejahatan, belum tentu karena ia orang yang bermoral. Bisa jadi karena ia takut penghakiman dari pihak-pihak yang berada di atasnya. Ketika seseorang berada di puncak sehingga tidak ada seorang pun dapat menghakiminya, tetapi ia masih melakukan apa yang baik, tandanya memang ia adalah orang yang bermoral.


Lebih jauh lagi, kekuasaan bukan hanya sebuah ujian karakter. Kekuasaan dapat merusak karakter seseorang. Itulah sebabnya ada istilah “kekuasaan merusak” (power corrupts), baik mereka yang diberi kuasa maupun mereka yang dikuasai. Tidak heran mereka yang memperjuangkan keadilan sosial, seperti Maximilien Robespiere dan Napoleon Bonaparte dalam masa Revolusi Prancis, selalu berakhir menjadi diktator. Orang-orang kemudian akan mengulangi kembali lingkaran setan penindasan yang dilakukan oleh pemimpin sebelumnya.


Jadi, apa yang menjadi solusi Raja Salomo? Dalam Pengkhotbah 9:13-18, ia mengisahkan tentang orang miskin yang dengan hikmatnya menyelamatkan sebuah kota. Sayangnya, orang miskin berhikmat tersebut tidak diingat. Kisah ini ditutup dengan kesimpulan bahwa perkataan orang berhikmat dalam ketenangan lebih baik daripada teriakan orang berkuasa yang jatuh ke telinga orang bodoh. Dengan kata lain, solusi Salomo adalah menjadikan hikmat sebagai pemecah permasalahan, bukan satu figur otoritas.


“Semua juga tahu!” mungkin Anda berkata. Namun, apakah benar demikian? Buktinya, berapa banyak perusahaan, organisasi, negara, bahkan gereja yang lebih mengutamakan keberadaan satu sosok figur terkenal daripada hikmat? “Pokoknya turuti saja kata beliau!” Inilah maksud Salomo dengan perkataan orang berkuasa yang jatuh ke telinga orang bodoh, yakni orang yang asal menurut saja.


Sebaliknya, ketika suatu komunitas dipimpin oleh hikmat Allah maka yang seharusnya terjadi adalah musyawarah, bukan “apa kata beliau”. Hikmat Allah bisa berbicara lewat semua orang, bahkan yang paling tidak berkuasa sekalipun.


Refleksi Diri:

Apakah Anda memegang peranan pemimpin atau yang dipimpin? Jika Anda pemimpin, apakah cenderung otoriter? Jika Anda yang dipimpin, apakah sekadar melakukan yang diperintahkan tanpa pertimbangan?


Bagaimana cara Anda mengembangkan budaya musyawarah untuk mencapai keputusan yang paling berhikmat?


Sumber: Renungan GII Hok Im Tong

Sabtu, 20 Juli 2024

PINJAMAN


Bacaan: Mazmur 89:5-12


NATS: Peringatkanlah kepada orang-orang kaya ... agar mereka berharap ... pada Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati (1Timotius 6:17)


Setiap hari saya dikelilingi oleh barang-barang yang bukan milik saya, tetapi saya akui sebagai milik saya. Misalnya, saya merujuk komputer yang saya pakai untuk menulis artikel ini sebagai "komputer saya". Saya juga mengatakan "kantor saya", "meja saya", dan "telepon saya". Namun, sebenarnya tak satu pun dari peralatan itu milik saya. Semua itu dapat saya gunakan, tetapi bukan milik saya. Ketika RBC Ministries "memberikannya" kepada saya, saya tahu apa yang dimaksud: Semua itu adalah pinjaman.


Ini tidaklah mengherankan dalam hubungan antara tuan dan pegawai. Hampir mirip dengan itu, demikian pula semua barang yang kita sebut sebagai milik kita. Ketika kita berbicara tentang keluarga kita, rumah kita, atau mobil kita, kita berbicara tentang orang-orang dan barang-barang yang telah Allah izinkan untuk kita nikmati selama hidup di bumi. Namun, sesungguhnya semua itu adalah milik-Nya. Perhatikan pujian sang pemazmur kepada Allah, "Punya-Mulah langit, punya-Mulah juga bumi" (Mazmur 89:12).


Dengan memahami siapa yang sesungguhnya memegang semua jabatan yang kita miliki, seharusnya mengubah cara pikir kita. Seperti saya menyadari bahwa RBC mengizinkan saya menggunakan peralatannya untuk membantu saya melakukan pekerjaan dengan lebih efisien, demikian juga seharusnya kita menyadari bahwa segala sesuatu yang diberikan kepada kita sudah seharusnya dipakai untuk melayani Tuhan.


Waktu, talenta, dan segala harta milik kita adalah pinjaman dari Allah agar kita dapat mengerjakan pekerjaan-Nya dengan lebih baik --Dave Branon


SEMUA YANG KITA PUNYAI

SESUNGGUHNYA ADALAH PINJAMAN DARI ALLAH


Sumber: Renungan Harian

Jumat, 19 Juli 2024

Bukan Jumlah, tetapi Pertolongan Tuhan


Bacaan Alkitab hari ini:

Hakim-hakim 7


Janji TUHAN untuk menyertai Gideon (6:12) terpenuhi dalam pasal 7, saat Gideon mulai mempersiapkan orang Israel untuk berperang. Ia berpikir sederhana: Untuk memenangkan peperangan, ia harus memiliki pasukan yang jumlahnya banyak. 

Saat itu, terkumpullah dua belas ribu orang Israel yang siap berperang bersama Gideon (7:3). 

Akan tetapi, pemikiran TUHAN berbeda dengan pemikiran Gideon. TUHAN mengoreksi banyaknya pasukan yang akan maju berperang bersama Gideon. Dari dua belas ribu orang, pada akhirnya jumlah pasukan Gideon terus berkurang menjadi tiga ratus orang. Mengapa TUHAN mengurangi jumlah pasukan sampai sedemikian drastis ? Apakah tiga ratus orang bisa mengalahkan pasukan Midian? TUHAN memiliki penjelasan mengapa Dia mengurangi jumlah pasukan sampai sedemikian banyak. TUHAN membuat mereka merasa tak berdaya, supaya setelah memenangkan peperangan, mereka tidak bisa memegahkan diri. Setelah memenangkan peperangan, jangan sampai mereka berkata bahwa mereka menang karena jumlah pasukan mereka sangat banyak, sehingga selanjutnya mereka melupakan pertolongan TUHAN (7:2).


Mungkinkah pasukan Israel—yang hanya berjumlah tiga ratus orang—berhasil mengalahkan pasukan Midian? Ya! TUHAN tidak hanya memerintahkan pengurangan jumlah pasukan Israel sampai hanya tiga ratus orang saja, tetapi TUHAN juga menegaskan bahwa orang Midian pasti akan dikalahkan oleh Gideon, TUHAN memberikan mimpi pada orang Midian bahwa mereka akan dikalahkan oleh Gideon (7:14). 

TUHAN memberi hikmat pada Gideon untuk memakai strategi berperang yang unik, yaitu memakai sangkakala, obor, dan kendi untuk membuat seakan-akan ada pasukan besar yang menyerbu dan membuat seluruh pasukan Midian ketakutan.


Apa yang menjadi pertimbangan utama Anda saat Anda ingin menyelesaikan suatu masalah? Pada umumnya, yang menjadi pertimbangan utama kita adalah kemampuan manusiawi kita. Bila kita merasa memiliki kemampuan, kita bisa memiliki keyakinan bahwa kita bisa menyelesaikan masalah. Akan tetapi, bisa jadi Tuhan membuat kita menjadi merasa tidak berdaya. Saat kita merasa tidak berdaya, Tuhan bisa memberikan kemenangan dengan cara-Nya. Tuhan akan berjalan di depan kita untuk membuka jalan, memberi kemenangan, serta memberi kita hikmat untuk menyelesaikan masalah. 


Kepada siapa Anda bersandar dan meminta pertolongan saat Anda menghadapi kesulitan? Tuhan yang telah menyelamatkan adalah juga TUHAN yang memelihara hidup kita.[GI Roni Tan]


Sumber: Renungan GKY

Kamis, 18 Juli 2024

Kaya dalam Kebajikan


Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi. –1 Timotius 6:18


Ayat Bacaan & Wawasan :

1 Timotius 6:6-10, 17-19


Setelah bekerja keras sebagai penatu selama 70 tahun—menggosok, mengeringkan, dan melicinkan baju dengan tangan—Oseola McCarty akhirnya pensiun di usia 86 tahun. Ia sudah menabung penghasilannya yang tidak seberapa dengan sangat cermat selama bertahun-tahun, dan kemudian melakukan sesuatu yang membuat takjub komunitasnya. Oseola memutuskan untuk mendonasikan 150.000 dolar AS kepada universitas setempat sebagai dana beasiswa bagi para mahasiswa yang membutuhkannya. Ratusan orang yang terinspirasi oleh pemberian tanpa pamrih tersebut ikut berdonasi hingga mencapai hasil tiga kali lipat dari donasi Oseola.


Oseola mengerti bahwa nilai sejati dari kekayaannya tidaklah terletak pada penggunaannya demi keuntungan pribadi, tetapi untuk memberkati orang lain. Rasul Paulus menasihati Timotius untuk memerintahkan mereka yang kaya di dunia ini untuk “menjadi kaya dalam kebajikan” (1 Tim. 6:18). Masing-masing dari kita telah diberi kekayaan untuk dikelola, baik berupa uang maupun materi lainnya. Alih-alih bergantung pada kekayaan itu, Paulus memperingatkan kita untuk berharap hanya kepada Allah (ay. 17) dan untuk menimbun harta di surga dengan sikap yang “suka memberi dan membagi” (ay. 18).


Dalam ekonomi Allah, bersikap pelit dan menolak untuk bermurah hati hanya akan menghasilkan kehampaan. Memberi kepada orang lain atas dasar kasih adalah jalan menuju kepuasan jiwa. Alih-alih berjuang untuk meraih lebih banyak, kita akan memperoleh manfaat yang besar dengan memiliki kesalehan dan rasa cukup atas apa yang kita punya (ay. 6). Apa yang akan terjadi apabila kita bermurah hati dengan harta kekayaan kita, seperti yang dilakukan oleh Oseola? Marilah kita berusaha keras untuk menjadi kaya dalam kebajikan seturut dengan pimpinan Allah.


Oleh:  Karen Pimpo


Renungkan dan Doakan

Kesempatan apa yang terbuka bagi Anda hari ini untuk menunjukkan kemurahan hati? Bagaimana kerelaan Anda untuk berbagi dapat mendatangkan kepuasan jiwa yang lebih besar?


Ya Allah, terima kasih untuk harta kekayaan yang kumiliki. Kuserahkan semuanya kepada-Mu hari ini.


Sumber: Our Daily Bread

Rabu, 17 Juli 2024

Mengeluhkan Welas Asih Tuhan


Bacaan: YUNUS 4


"... sebab aku tahu bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal atas malapetaka yang hendak didatangkan-Nya." (Yunus 4:2)


Yunus kesal hati dan marah. Ia mengeluhkan welas asih Tuhan. Mengapa urung membinasakan penduduk kota Niniwe? Mengapa justru mengampuni, membiarkan "orang-orang jahat" itu hidup? Tampak Yunus tidak menyadari dirinya tidak berbeda dengan mereka. Sebelumnya, Tuhan menyuruh Yunus berangkat ke Niniwe, tetapi ia lari ke Tarsis (Yun 1:1-3). Yunus berbuat tidak taat. Ketidaktaatan merupakan kejahatan, dan itu berarti ia juga "orang jahat". Jika Tuhan tidak welas asih, ia juga tidak terampuni. Jika Tuhan tidak welas asih, ia juga akan binasa.


Jika seseorang mengaku dosa, maka Tuhan akan mengampuni (lih. 1Yoh 1:9). Jika seseorang bertobat, menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, padanya dikaruniakan keselamatan. Sungguh sebuah kebenaran yang indah. Faktanya, banyak dari kita merasa tidak terima. Orang yang mengaku dosa telah berbuat semena-mena. Orang yang bertobat telah menyengsarakan sesamanya. Bukankah lebih tepat jika mereka menerima hukuman, ditimpakan kesakitan atau kesusahan. Mengapa justru mengampuni "orang-orang jahat"? Seperti Yunus, kita mengeluhkan welas asih Tuhan. Kita tidak menyadari diri kita tidak berbeda dengan mereka. Kerap kita iri, egois, dan sombong. Semuanya itu merupakan kejahatan, dan itu berarti kita juga "orang jahat". Jika Tuhan tidak welas asih, kita juga tidak terampuni. Jika Tuhan tidak welas asih, pada kita juga ditimpakan kesakitan atau kesusahan.


Sadari kerinduan hati Tuhan. Dia menghendaki bukan kebinasaan orang jahat, melainkan pertobatan mereka (lih. Yeh 33:11). Seharusnya bukan mengeluh, kita justru membantu. Beritakan Injil agar orang-orang jahat bertobat. Tuntunlah mereka pada jalan keselamatan karena kita telah menerima welas asih Tuhan. --LIN/www.renunganharian.net


SIAPA MENGELUH KEPADA TUHAN MENGAPA SEORANG PENDOSA DIAMPUNI, BERARTI IA TIDAK TAHU DIRI.

Selasa, 16 Juli 2024

Roti yang Tidak Dibalik


Efraim menjadi roti bundar yang tidak dibalik. [Hosea 7:8]


Sebuah roti yang tidak dibalik adalah mentah di satu sisi; begitu juga Efraim, dalam banyak hal, tidak tersentuh oleh anugerah ilahi: meskipun taat dalam beberapa hal, masih ada sangat banyak pemberontakan. Jiwaku, aku tuntut engkau, lihat apakah [pemberontakan] ada pada engkau. Apakah engkau bersikap menyeluruh di dalam hal-hal mengenai Allah? Sudahkah karunia menjadi pusat kehidupanmu sehingga dapat merasakan pekerjaan ilahi di dalam segala kekuatanmu, tindakanmu, perkataanmu, dan pikiranmu? Untuk disucikan, roh, jiwa dan tubuh, harus menjadi tujuan dan doamu; dan meskipun pengudusan tidak sempurna pada dirimu, tetapi [pengudusan] memiliki tindakan yang universal; tidak boleh terlihat adanya kekudusan dalam satu tempat dan dosa yang berkuasa di tempat lain, karena kalau begitu, engkau juga akan seperti roti yang tidak dibalik.


Roti yang tidak dibalik akan segera gosong di sisi yang paling dekat api, dan meskipun tidak ada orang yang bisa memiliki banyak kepercayaan, ada beberapa orang yang terlihat terbakar dengan semangat fanatik oleh sebagian kebenaran yang mereka terima, atau terbakar hangus seperti abu oleh kemunafikan angkuh orang Farisi dengan pertunjukan-pertunjukan agama yang sesuai dengan selera humor mereka. Tidak adanya kesalehan sering kali ditandai dengan penampilan yang terlihat seakan-akan lebih kudus. Orang yang kudus di depan umum adalah setan dalam kehidupan pribadi. Dia menggunakan bedak pada siang hari dan menggunakan abu asap pada malam hari. Roti yang dibakar hanya pada sebelah sisi, sebelahnya lagi masih adonan.


Jika aku seperti itu, O Tuhan, ubahkan aku! Arahkan sifat kemunafikanku kepada api kasih-Mu dan biarkan kemunafikan itu merasakan cahaya kudus, dan biarkan sisi gosongku menjadi dingin sedikit sementara aku belajar akan kelemahan dan butuhnya kehangatan ketika aku dijauhkan dari api surgawi. Jangan biarkan aku ditemukan mendua hati, tetapi seorang yang sepenuhnya dibawah pengaruh kuat kuasa anugerah; karena aku tahu jika aku dibiarkan seperti roti yang tidak dibalik, dan kedua sisiku tidak menerima anugerah, aku akan selamanya berada di dalam api pembakaran kekal.


Renungan Pagi (diterjemahkan dari Morning and Evening: Daily Readings, Charles H. Spurgeon).