Senin, 30 September 2024

Sepeda Motor yang Dicuri

Seorang pemuda merasa kesal dan kecewa sekali. Belum lagi dipakai tiga bulan, sepeda motornya sudah hilang dicuri.

Ia terus berdoa agar Tuhan mengembalikan motor itu, tetapi hasilnya nihil. Berbulan-bulan ia merasa sedih karena harus naik kendaraan umum lagi.

Suatu hari ia berpikir, "Dulu sebelum memiliki motor, aku bahagia ketika naik bus atau mikrolet. Mengapa sekarang tidak?" Pemuda itu lalu belajar merasa cukup dengan apa yang ada.

Setahun kemudian ia besaksi, "Kini aku bahagia lagi naik kendaraan umum. Kini prinsipku: Jika Tuhan tidak mengembalikan motorku, itu berarti aku tidak membutuhkannya!"

Tuhan Yesus memberi apa yang benar-benar kita butuhkan. Ketika melihat sejumlah besar orang kelaparan karena sudah tiga hari mengikuti-Nya, Yesus tahu bahwa mereka sangat perlu makanan. Tanpa makan, banyak yang akan jatuh pingsan. Maka, walaupun mereka tidak meminta, Yesus berinisiatif memberi mereka makan roti dan ikan dengan cara ajaib. Dia tidak akan tinggal diam saat kita berhadapan dengan sebuah kebutuhan mendesak. Sebaliknya, ketika orang Farisi meminta tanda, Yesus tidak memberikannya. Mengapa? Karena Yesus tahu bukan itu yang mereka butuhkan. Yang mereka butuhkan adalah iman, bukan tanda.

Betapa sering kita bersungut-sungut ketika Tuhan tidak memberi apa yang kita minta. Kecewa saat melihat kenyataan berbeda dengan yang kita doakan dan harapkan. Kini saatnya kita belajar menjadi dewasa. Katakan pada diri sendiri: "Jika Tuhan tidak memberikan sesuatu, itu berarti aku tidak membutuhkannya. Aku bisa hidup bahagia tanpa itu!"

Sumber: Renungan Kristen

Minggu, 29 September 2024

BELAJAR MEMBERI


Bacaan: Lukas 19:1-10


NATS: Tetapi Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan: "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin" (Lukas 19:8)


Banyak orang di negara-negara makmur merasa terganggu oleh tumpukan barang-barang yang sudah tidak mereka butuhkan atau gunakan lagi. Mereka menemui kesulitan untuk menyingkirkan berbagai barang yang memenuhi rumah dan kantor mereka. Seorang wanita yang telah berpindah rumah sebanyak lima kali dalam empat tahun mengeluh, "Tahukah Anda berapa banyak barang yang saya bawa setiap kali pindah rumah? Saya jadi bertanya pada diri sendiri, 'Kenapa tak kugunakan otakku untuk memindahkan semua barang ini?'" Akhirnya wanita itu menyewa seorang ahli untuk membantunya belajar merelakan barang-barang yang tidak dibutuhkan lagi.


Banyak orang terikat pada harta benda mereka dengan alasan yang berbeda-beda. Tampaknya Zakheus bergumul dengan masalah ini karena sifat serakahnya (Lukas 19:1-10). Namun, kisah pemungut cukai kaya yang memanjat pohon untuk melihat Yesus mencapai klimaks dengan terjadinya perubahan hati secara total ketika Zakheus berkata, "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin" (ayat 8). Kemudian ia pun berjanji, "Dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat." Yesus menanggapi perkataannya dengan berkata, "Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini" (ayat 9).


Pembaruan rohani yang dialami oleh Zakheus dapat dilihat dari perubahan sikapnya, yaitu dari menerima menjadi memberi. Cengkeramannya yang mengendur mengungkapkan hati yang telah diperbarui.


Apakah hal ini juga terjadi pada diri kita? --David McCasland


KITA BELUM BELAJAR UNTUK HIDUP JIKA KITA BELUM BELAJAR UNTUK MEMBERI


Sumber: Renungan Harian

Sabtu, 28 September 2024

KHOTBAH DALAM DIAM


Bacaan: Kolose 3:12-17; Ibrani 10:24,25


NATS: Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain (Kolose 3:16)


Seberapa pentingkah persekutuan kita dengan umat percaya lainnya di gereja? Izinkan saya menjawab pertanyaan ini dengan menceritakan sebuah kisah.


Seorang pendeta prihatin karena seorang jemaatnya yang biasanya rutin hadir kebaktian tidak lagi tampak di gereja. Setelah beberapa minggu, sang pendeta itu memutuskan untuk mengunjunginya. Ketika sampai di rumah jemaatnya itu, sang pendeta mendapati pria tersebut sedang duduk sendirian di depan perapian. Lalu sang pendeta menyeret sebuah kursi dan duduk di sampingnya. Namun, pria itu hanya mengangguk kepada sang pendeta, tanpa bicara sepatah kata pun.


Kedua orang itu duduk berdiam diri selama beberapa saat, sementara sang pendeta memandangi nyala api di perapian. Ia lalu mengambil penjepit bara, dan dengan hati-hati mengambil sepotong bara, dan menjauhkannya dari dalam api yang menyala. Pendeta itu kemudian duduk kembali sambil tetap berdiam diri. Pria itu termenung memandangi nyala bara api yang disingkirkan itu meredup dengan perlahan. Tak lama kemudian, bara itu pun padam dan jadi dingin.


Sang pendeta melihat jamnya dan pamit pulang. Namun sebelum pulang, ia mengambil bara api yang sudah dingin itu, lalu menaruhnya kembali ke dalam nyala api. Dengan segera bara itu menyala kembali karena cahaya dan kehangatan yang dipancarkan bara-bara di sekelilingnya.


Saat sang pendeta bangkit untuk pergi, pria itu pun berdiri dan menjabat tangannya. Kemudian, sambil tersenyum ia berkata, "Terima kasih atas khotbahnya, Pak Pendeta. Sampai jumpa besok Minggu di gereja" --David Roper


PERSEKUTUAN YANG HANGAT DI GEREJA AKAN MENJAGA HATI ANDA TETAP HANGAT


Sumber: Renungan Harian

Jumat, 27 September 2024

Menghadapi Konflik dalam Tuntunan-Nya 


Bacaan: Kisah Para Rasul 15:35-41 


Dalam bacaan kita saat ini, konflik terjadi antara Paulus dengan Barnabas. Keduanya merupakan penginjil yang memberitakan kabar baik penyelamatan Allah di berbagai daerah. Saat itu, mereka hendak mengunjungi kembali kota-kota di mana telah terdapat jemaat Kristus karena penginjilan yang mereka lakukan.


Perselisihan terjadi karena seseorang yang bernama Markus (37). Paulus memberitahukan alasannya kepada Barnabas, tidak baik membawa serta orang yang telah meninggalkan mereka dan tidak mau bekerja sama dengan mereka (38). Pada akhirnya, dalam perkunjungan yang akan dilakukan tersebut mereka memilih jalan yang berbeda. Barnabas dan Markus pergi ke Siprus, Paulus dan Silas pergi ke Siria dan Kilikia (39-41).


Konflik, realitas yang akan selalu kita hadapi sebagai manusia. Cakupannya bisa kecil dan terbatas, atau dalam komunitas yang lebih luas. Oleh karena itu, perlu hikmat dan kebijaksanaan dalam mengelola konflik sehingga tidak berkepanjangan dan tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Siapa tahu, timbul peluang bagi pertumbuhan seseorang dan komunitas yang tengah berkonflik.


Benarlah firman Tuhan yang mengatakan bahwa Ia senantiasa merancangkan yang baik kepada umat-Nya. Bahkan di tengah konflik seperti itu pun rencana Tuhan menjadi nyata. Dengan berpisahnya Paulus dan Barnabas, berita Injil dapat menjangkau daerah yang lebih luas lagi. Bahkan tercatat pula dalam Alkitab bahwa di kemudian hari Paulus kembali menerima Markus dan mengakui pentingnya pelayanan yang ia lakukan (bdk. 2Tim 4:11). Kita tidak tahu apa yang terjadi, tetapi sepertinya telah terjadi rekonsiliasi di sana.


Sebagai umat Tuhan, mari kita hadapi konflik dengan bersandar penuh pada kehendak-Nya. Mari kita pun jangan terjebak pada ego pribadi yang dapat memperkeruh konflik. Sadarilah bahwa konflik dapat dipakai Allah untuk menyatakan kehendak-Nya yang mendatangkan damai sejahtera. Kiranya, Tuhan senantiasa menuntun kita menghadapi konflik di dalam kehidupan kita. [WDN]


Sumber: Renungan Santapan Harian

Kamis, 26 September 2024

Citra Diri di Hadapan Sesama Manusia


Bacaan Alkitab hari ini:

2 Samuel 19:15-30


Dalam perjalanan kembali ke Yerusalem, Daud disambut oleh tiga orang dalam waktu yang berbeda. Ziba—yang telah menipu tuannya, yaitu Mefiboset—-membantu menyeberangkan keluarga raja dan melakukan apa pun yang Daud inginkan (19:17). Kemudian, ada Simei—yang dalam pasal 16 mengutuki Daud—-yang memohon ampun atas kesalahannya (19:18b-20). Selanjutnya, ada Mefiboset yang menyampaikan bahwa Ziba telah menipu, bahkan menjelekkan dia di hadapan Daud (19:24-28). Tiga karakter berbeda berusaha mendapatkan perkenanan Daud. Masing-masing berusaha agar citra dirinya terlihat baik dalam pandangan Daud. Namun, sesungguhnya, pencitraan diri manusia dapat menipu dan bertolak belakang dengan kenyataan.


Bacaan Alkitab hari ini mengajarkan dua hal kepada kita: Pertama, citra diri yang baik di hadapan manusia seharusnya merupakan ciri manusia baru yang alamiah di dalam Kristus, bukan suatu paksaan. Ziba mencitrakan dirinya sebagai seorang yang siap menolong dan membantu Daud, karena keuntungan yang telah ia peroleh sebelumnya dengan menjelekkan tuannya. Simei mencitrakan diri sebagai seorang yang menyesali kesalahannya kepada Daud dan menjadi keturunan Yusuf yang paling awal menyambut kembalinya Daud. Keduanya berusaha terlihat baik, padahal sebenarnya tidak. Sementara Mefiboset, sewaktu menyambut Daud, tidak membersihkan kakinya, tidak mencukur janggutnya, dan tidak mencuci pakaiannya, sampai Daud kembali dengan selamat. Sikap ini menunjukkan adanya penantian dan kesetiaan yang tulus, apa adanya. Setiap orang percaya seharusnya juga bersikap apa adanya tanpa maksud tersembunyi. Kedua, citra diri yang baik mencakup kesediaan melepas keinginan untuk menguntungkan diri sendiri. Jawaban Mefiboset kepada Daud ketika diperintahkan berbagi ladang dengan Ziba membuktikan bahwa keuntungan pribadi bukanlah motifnya dalam menjalin relasi dengan Daud. Ia rela berbagi karena kembalinya Daud dengan selamat lebih penting dari penguasaan ladang (19:30). Jelas bahwa Mefiboset berbeda dengan Ziba dan Simei yang mengatur pencitraan diri untuk kepentingan diri mereka sendiri.


Apakah Anda selalu berusaha untuk terlihat baik dalam pandangan orang lain? Apakah Anda menampilkan keadaan Anda yang sebenarnya di dalam Kristus karena Anda memiliki relasi yang intim dengan Dia atau penampilan Anda hanya sekadar tampilan luar yang berbeda dengan kenyataan? Apakah Anda bersedia melepaskan keegoisan Anda agar Anda memiliki citra diri yang murni dan berkenan kepada TUHAN? Citra diri yang seharusnya ditunjukkan kepada dunia adalah citra diri yang terbentuk karena Anda mengalami penebusan Kristus! [Pdt. Martin Kurniawan]


Sumber: Renungan GKY

Rabu, 25 September 2024

BUKAN SUPAYA JADI BAIK


Bacaan: Roma 3:21-28


NATS: Dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus (Roma 3:24)


Anda mempunyai dua tetangga terdekat, yaitu Ernestine Bawel dan George Ramah. Ernestine adalah seorang wanita berlidah tajam. Ia segera mengadu kepada Anda saat bola sepak anak-anak Anda nyasar ke halaman rumahnya. Sebaliknya, George, lelaki terbaik yang pernah Anda temui, selalu menunjukkan sikap bersahabat. Ia suka bermain bola dengan anak-anak Anda. Ia memberi Anda sayuran dari kebunnya, dan siap membantu kapan saja Anda membutuhkannya.


Tidakkah menyenangkan jika Bu Bawel suatu saat bersedia menjadi pengikut Kristus? Seandainya Allah bekerja dalam hidupnya, mungkin ia menjadi sebaik Pak Ramah. Sudah jelas bahwa ia butuh Tuhan, maka Anda berdoa untuknya. Tak pernah terpikir bahwa Anda juga perlu berdoa bagi Pak Ramah.


Namun, sadarkah kita ada yang salah dalam hal ini? Yesus mati di kayu salib bukan hanya untuk mengubah orang yang tidak baik menjadi baik. Setiap orang, yang baik maupun tidak baik, butuh keselamatan. Dia datang untuk membayar hukuman atas dosa-dosa kita melalui kematian-Nya yang penuh pengurbanan (Roma 5:6-8). Dia menawarkan pangampunan bagi semua orang yang percaya kepada-Nya (3:28). Saat seseorang lahir baru, ia seharusnya menjadi orang yang lebih baik. Akan tetapi, bukan itu tujuan utama Tuhan menyelamatkan mereka.


Baik Bu Bawel maupun Pak Ramah membutuhkan Tuhan. Tanpa Dia, mereka terhilang dan membutuhkan penyelamatan-Nya (sama seperti Anda dan saya). Itulah alasan kedatangan Yesus, yaitu untuk menawarkan kepada kita kehidupan baru dari atas --Dave Egner


TAK PEDULI ORANG BAIK ATAU BUKAN KITA SEMUA MEMBUTUHKAN KESELAMATAN


Sumber: Renungan Harian

Selasa, 24 September 2024

PERSPEKTIF BARU


Bacaan: Yakobus 1:21-27


NATS: Barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, ... dan ia bertekun di dalamnya, ... ia akan berbahagia oleh perbuatannya (Yakobus 1:25)


Dua belas jam setelah serangan teroris terhadap gedung World Trade Center di New York, seorang wartawan berita televisi berdiri di dekat Ground Zero dengan seberkas kertas di tangannya. Ia mengambilnya dari jalan. Kertas-kertas itu berserakan di antara puing-puing menara kembar yang ambruk. Salah satu kertas itu merupakan bagian dari laporan keuangan perusahaan, yang lain adalah proposal bisnis, dan yang ketiga adalah rencana pensiun. Kalau mengingat ribuan nyawa yang hilang, kertas-kertas ini tampak menjadi sangat tidak penting dibandingkan beberapa saat sebelumnya.


Bencana mengubah perspektif kita. Ketika hidup berada dalam bahaya, kita menyadari bahwa manusia adalah yang paling berharga dan bukan harta milik. Dan apabila kita mengambil langkah untuk mengatur kembali prioritas-prioritas kita dan memperlakukan sesama dengan baik, pelajaran ini tidak akan disia-siakan.


Perspektif-perspektif baru dalam hidup, termasuk yang Allah berikan kepada kita melalui Firman-Nya, akan cepat memudar jika kita tidak melakukannya. Yakobus menulis, "Hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri ... dan ia ... bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya" (1:22,25).


Setelah tragedi besar, banyak di antara kita ditantang untuk mengutamakan Allah dan sesama dalam kehidupan kita. Marilah kita tinggal dalam firman Allah dan mengambil tindakan untuk mempertahankan perspektif baru kita -DCM


PERUBAHAN PERILAKU DIMULAI DENGAN PERUBAHAN HATI


Sumber: Renungan Harian

Senin, 23 September 2024

KETIKA SULIT BERDOA


Bacaan: Roma 8:26,27


NATS: Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya Tuhan (Mazmur 139:4)


Alkitab menyatakan kepada kita bahwa Allah mengetahui setiap pikiran dan perkataan di lidah kita (Mazmur 139:1-4). Maka, ketika kita tidak tahu apa yang perlu didoakan, Roh Kudus "berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan" (Roma 8:26).


Kebenaran alkitabiah ini meyakinkan kita bahwa kita dapat berkomunikasi dengan Allah, meskipun tanpa mengucapkan sepatah kata pun, karena Dia mengetahui kehendak dan keinginan hati kita. Sungguh hal itu menjadi suatu penghiburan di kala kita dalam kebimbangan atau mengalami tekanan berat! Kita tidak perlu khawatir jika tidak dapat menemukan kata-kata untuk menyatakan pikiran dan perasaan kita. Kita tidak perlu merasa malu jika terkadang kalimat yang kita ucapkan terputus di tengah jalan. Allah mengetahui apa yang ingin kita sampaikan. Kita juga tidak perlu merasa bersalah jika terkadang pikiran kita mengembara ke mana-mana, sehingga kita harus berupaya keras untuk memusatkan pikiran kepada Tuhan.


Selain itu, dalam hal berdoa kita juga tidak perlu mengkhawatirkan posisi tubuh yang layak untuk berdoa. Seandainya pun kita berusia lanjut atau menderita arthritis [penyakit radang sendi] sehingga tidak bisa berlutut, tidak menjadi masalah. Sesungguhnya yang Allah perhatikan adalah posisi hati kita.


Betapa luar biasanya Allah! Betapa pun Anda tersendat-sendat atau gagap dalam berdoa, Dia mendengarkan Anda. Kasih yang tiada batas di dalam hati-Nya menanggapi kebutuhan dan perasaan hati Anda yang tak terucapkan. Oleh karena itu, tetaplah berdoa! --Vernon Grounds


DOA TIDAK MEMBUTUHKAN KELANCARAN BERKATA-KATA

MELAINKAN KESUNGGUHAN HATI


Sumber: Renungan Harian

Minggu, 22 September 2024

TUHAN yang Memelihara dan Menjaga


Bacaan Alkitab hari ini:

2 Samuel 17:15-29


Apakah Anda pernah mendengar atau mengalami sendiri pemeliharaan dan penjagaan TUHAN atas kehidupan Anda atau orang lain pada masa yang sulit dan penuh ancaman? Daud pernah mengalaminya! Saat lari dari ancaman Absalom, Daud menyaksikan dan mengalami  pemeliharaan dan penjagaan TUHAN. TUHAN yang disembah Daud adalah TUHAN yang setia kepada perjanjian-Nya. Sekalipun manusia sering kali berubah setia dan berkhianat, TUHAN tetap memegang janji-Nya Kesetiaan-Nya itulah yang membuat TUHAN terus menunjukkan kebaikan kepada Daud, bahkan dalam situasi yang paling buruk yang Daud alami.


Bacaan Alkitab hari ini mengajarkan dua hal kepada kita: Pertama, TUHAN dapat memakai orang-orang di sekitar kita untuk mewujudkan pemeliharaan-Nya. TUHAN memakai Husai, Imam Zadok dan Imam Abyatar, Yonatan dan Ahima’as, seorang hamba perempuan yang membawa kabar, sepasang suami istri di Bahurim, Sobi bin Nahas, Makhir bin Amiel, dan Barzilai untuk memelihara kehidupan Daud dan orang-orang yang bersama dengan dia (17:15,17,18-19,27). Kita dapat menyerahkan kehidupan kita sepenuhnya kepada TUHAN, sebab Ia memelihara kehidupan kita. Kita juga dapat memberi diri dipakai TUHAN untuk memelihara orang-orang di sekitar kita. Kedua, TUHAN dapat menjaga kita dari orang-orang yang berniat jahat. Rencana Absalom adalah menghabisi Daud dan seluruh rakyat yang menyertainya. Meskipun ada yang melaporkan keberadaan para utusan Daud, tetap saja hamba-hamba Absalom tidak dapat menemukan mereka. Bahkan penasihat Absalom—yaitu Ahitofel—akhirnya bunuh diri karena kecewa saat nasihatnya tidak dituruti oleh Absalom (17:23). Mungkin ia menyadari bahwa dengan mengabaikan nasihatnya, tidak ada harapan lagi selain kehancuran bagi Absalom. TUHAN sanggup melindungi dan meluputkan kita dari malapetaka yang mengintai kita. Oleh karena itu, kita dapat terus berharap akan pertolongan TUHAN bagi diri kita dan bagi orang-orang di sekitar kita yang sedang menghadapi pergumulan.


Apakah Anda percaya bahwa TUHAN sanggup memelihara dan menjaga kehidupan Anda? Apa yang hendak Anda lakukan agar Anda bisa lebih memahami dan mengalami pemeliharaan dan perlindungan TUHAN? Apakah Anda bersedia dipakai TUHAN untuk menolong mereka yang membutuhkan pertolongan? Bangunlah kepekaan akan kehadiran TUHAN melalui pembacaan dan perenungan firman TUHAN, doa, dan pengalaman hidup bergantung kepada pemeliharaan TUHAN. Dengan demikian, penyertaan-Nya akan terwujud dalam pengalaman hidup sehari-hari. [Pdt. Martin Kurniawan]


Sumber: Renungan GKY


Sabtu, 21 September 2024

Dewasa Rohani 


Bacaan: Ibrani 5:11-14


Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat.- Ibrani 5:14


Salah satu tanda kehidupan adalah adanya pertumbuhan. Sebuah tanaman bertumbuh diawali dengan benih, kemudian berakar dan bertunas menjadi tanaman kecil yang bertambah besar dan bisa menghasilkan buah yang lebat. Demikian juga kehidupan manusia. Secara fisik kita pasti mengalami pertumbuhan, mulai dari bayi, menjadi anak kecil, remaja, dewasa, hingga orang tua. Namun, berbeda dengan pertumbuhan kerohanian, orang yang sudah dewasa secara fisik tidak menjamin hidupnya juga dewasa secara rohani.


Masalah yang disoroti oleh penulis surat Ibrani adalah banyaknya orang Kristen yang masih “kekanakan” secara rohani. Mereka yang seharusnya sudah dewasa rohani, tetapi justru hidupnya menunjukkan kerohanian yang masih kanak-kanak.


Beberapa ciri orang yang “kekanakan” secara rohani adalah lamban dalam mendengarkan firman Tuhan, sulit untuk menerima dan melakukannya. Mereka yang tidak dewasa rohani tidak mampu mengajar tentang kebenaran firman, padahal seharusnya sudah berada di level pengajar firman Tuhan. Orang Kristen yang tidak dewasa rohani sukanya makanan bayi seperti susu. Mereka hanya bisa menerima dan memahami kebenaran-kebenaran dasar terkait firman Tuhan, tanpa mempraktikkan bahkan menularkannya. Terakhir, mereka juga tidak memiliki kepekaan menggunakan panca inderanya untuk membedakan mana yang baik dan yang jahat.


Kedewasaan rohani tidak ditentukan oleh usia atau lamanya mengikut Tuhan. Ia juga tidak terjadi secara otomatis, melainkan harus dilatih dengan disiplin berlatih kerohanian. Ketidakdewasaan rohani bisa menjadi akar permasalahan dalam kehidupan bergereja, studi di sekolah, bekerja dan juga dalam kehidupan berkeluarga. Itulah sebabnya menjadi dewasa rohani seharusnya menjadi tujuan semua orang percaya sebab setiap kita mengejar keserupaan dengan Kristus.


Kutipan dari Dietrich Bonhoeffer menekankan bahwa untuk menerima Kristus, kita tidak perlu membayar apa-apa. Namun, untuk mengikut Kristus (menjadi murid Kristus) kita harus membayar harga semuanya. Jangan pernah puas dan berdiam diri menjadi orang Kristen yang biasa-biasa saja, yaitu sebagai bayi-bayi rohani. Marilah mendorong diri agar terus bertumbuh dalam kedewasaan kerohanian menuju keserupaan dengan Kristus. Yuk terus bertumbuh dalam kebenaran firman Tuhan!


Refleksi Diri:

Apa yang menjadi ciri-ciri orang yang tidak dewasa rohani? Apakah ada ciri tersebut dalam diri Anda?

Apa usaha yang Anda lakukan untuk terus bertumbuh dalam kedewasaan rohani?


Sumber: Renungan GII Hok Im Tong

Jumat, 20 September 2024

Perhatikan Titik Buta Anda


Bacaan Hari ini:

Matius 7: 3,5 “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata .”


Salah satu keterampilan hidup terpenting yang harus Anda pelajari adalah penyelesaian konflik. Jika tidak memilikinya, maka Anda akan menghabiskan sebagian besar hidup Anda dalam kesengsaraan, karena kita semua adalah manusia yang tak sempurna, dan kita mengalami konflik hampir setiap hari dalam hidup kita.


Jika Anda ingin menyelesaikan konflik, maka Anda harus mengambil langkah pertama. Anda harus meminta bantuan Tuhan karena dibutuhkan keberanian untuk mendekati seseorang yang berkonflik dengan Anda dan memberi tahu orang tersebut bahwa Anda ingin duduk bersama dan menyelesaikannya.


Kemudian, jangan memulainya dari kesalahan orang lain. Janganlah memulainya dari serangkaian tuduhan atau cara-cara orang tersebut menyakiti Anda. Mulailah dengan kesalahan Anda sendiri. 


Konflik itu mungkin 99,99 persen kesalahan mereka. Tetapi Anda selalu bisa menemukan kesalahan Anda untuk diakui! Mungkin itu adalah respons Anda yang buruk, meskipun itu cara Anda membela diri. Mungkin itu adalah kesilapan Anda. Mungkin itu adalah cara Anda menjauh dari mereka. 


Anda memiliki kelemahan dalam hidup Anda yang dilihat orang lain dengan jelas tetapi tidak pernah Anda lihat. Itu adalah titik buta Anda. Itulah kelemahan yang tidak Anda ketahui. Itulah sebabnya Anda perlu menyelesaikan konflik dengan rendah hati dan memulainya dari kesalahan Anda sendiri.


Yesus berkata, "Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata” (Matius 7:3, 5).


Ia berkata bahwa Anda perlu mengakui peran Anda dalam konflik itu terlebih dahulu. Sebalok kayu apakah di mata Anda yang menghalangi Anda melihat permasalahan dengan jelas? Janganlah mulai dengan orang lain dan bagaimana mereka menyakiti Anda sebelum Anda mengakui peran Anda dalam konflik itu terlebih dahulu.


Apakah Anda menyebabkan konflik karena Anda tidak peka? Atau apakah Anda terlalu sensitif? Apakah selama ini Anda tidak menunjukkan belas kasih Anda kepada mereka yang terluka? Apakah Anda terlalu menuntut?


Renungkan hal ini: 

- Apa yang tengah menghalangi Anda untuk melihat dosa Anda sendiri dengan jelas?

- Menurut Anda, apa pengaruhnya terhadap orang lain ketika Anda memulai penyelesaian konflik dengan mengakui kesalahan Anda, alih-alih memulai dengan tuduhan?

- Langkah apa yang dapat Anda ambil hari ini untuk maju dalam menyelesaikan konflik dalam hidup Anda?


Apa titik buta Anda? Setelah Anda menemukan dan mengakuinya, Anda akan siap untuk langkah berikutnya dalam penyelesaian konflik.


(Diterjemahkan dari Daily Devotional by Rick Warren)




Kamis, 19 September 2024

Jangan Tergoda dengan Penampilan


Bacaan Alkitab hari ini:

2 Samuel 15


Absalom tahu tempat yang tepat untuk mengembangkan pengaruhnya, yaitu di tepi jalan menuju pintu gerbang (15:2), tempat balai kota dan pusat dagang berada. Tempat itu sangat strategis karena di sana bukan hanya ada para pedagang, tetapi juga ada mereka yang mengurus pemerintahan. Strategi Absalom dalam memenangkan hati rakyat terlihat jelas! Dengan memanfaatkan wajah yang tampan (14:25), gerbang kota yang megah, kepedulian yang jelas terhadap keadilan (15:3-4), dan penampilan yang bersahabat (15:5), Absalom berhasil menipu banyak orang sehingga mereka mengalihkan janji setia yang semula tertuju kepada Daud menjadi tertuju kepada dirinya. Absalom mengerti cara meningkatkan popularitasnya. 


Saat mendengar berita bahwa Absalom sudah dinobatkan menjadi raja di Hebron, Daud terpaksa melarikan diri dari Yerusalem. Mengapa demikian? Kemungkinan, Daud ingin mencegah jatuhnya korban jiwa penduduk kota. Ada kemungkinan bahwa pemberontakan itu sudah menyebar dengan cepat (15:10-13) dan Daud ingin mencegah kehancuran kota Yerusalem. Mungkin pula bahwa Daud masih peduli terhadap Absalom dan tidak ingin menyakitinya. Semua kemungkinan dalam bacaan Alkitab hari ini menunjukkan bahwa Daud sedang menuai apa yang ia perbuat, yaitu ia membiarkan Absalom melakukan apa saja tanpa memberi bimbingan.


Kisah pemberontakan Absalom ini memberikan dua pelajaran penting: Pertama, jangan tergoda kepada apa yang Anda lihat. Penampilan seseorang bisa menimbulkan kesan yang baik. Akan tetapi, kita harus waspada agar tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan dan tidak tertipu oleh penampilan luar. Ingatlah ungkapan bahwa tidak segala sesuatu yang berkilau adalah emas! Kedua, manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat apa yang ada di dalam hati. Rakyat bisa tertipu oleh cara Absalom memikat hati mereka. Sebagai orang percaya, kita perlu berakar dalam firman TUHAN agar kita bisa memiliki kepekaan untuk mengenali apa yang baik dan yang berkenan kepada TUHAN.


Apakah yang Anda utamakan saat Anda menjalin relasi dengan orang lain? Apakah Anda mengutamakan penampilan atau Anda ingin tampil secara apa adanya sebagai pribadi yang telah ditebus oleh Kristus? Bagaimanakah orang-orang di sekitar Anda memandang diri Anda? Apakah kondisi hati Anda sebaik apa yang Anda tampilkan? Milikilah relasi yang didasarkan pada pengenalan akan karakter dan kepribadian, bukan didasarkan pada penampilan! [Pdt. Martin Kurniawan]


Sumber: Renungan GKY

Rabu, 18 September 2024

Cukup Mencobai Tuhan


Bacaan: Ibrani 3:7-19


Demikianlah kita lihat, bahwa mereka tidak dapat masuk oleh karena ketidakpercayaan mereka.-.Ibrani 3:19


Salah satu pergumulan yang hingga saat ini sulit untuk saya atasi adalah ketika harus mengendarai mobil. Saya sering sekali mengeluh dan menggerutu karena melihat berbagai ketidakteraturan di jalan raya. Banyaknya pengendara yang melakukan pelanggaran berlalu lintas membuat saya kesal. Istri saya selalu menjadi korban omelan saya di sepanjang jalan.


Bangsa Israel dikenal sebagai bangsa yang selalu mengeluh dan menggerutu kepada Allah, padahal Allah sudah menyatakan kebaikan-Nya dengan membebaskan mereka dari tanah perbudakan Mesir. Allah sudah menyatakan pemeliharaan-Nya selama empat puluh tahun di padang gurun, menyatakan kuasa-Nya dengan berbagai mukjizat dan tanda, tetapi bangsa Israel tetap mengeluh kepada Allah dan Musa yang diutus-Nya (lih. Kel. 16-17).


Segala karya Allah yang dinyatakan bagi bangsa Israel seolah-olah tidak cukup untuk membawa mereka mengenal dekat Allah. Mereka justru mencobai dan menyakiti hati Allah dengan hati yang sesat (ay. 10), hati yang jahat dan tidak mau percaya kepada Allah (ay. 12). Mereka adalah bangsa yang berhati keras (ay. 13), yang tidak peka dengan firman dan segala pekerjaan Allah bagi mereka. Akibatnya, generasi tersebut tidak akan masuk ke Tanah Perjanjian, yaitu Kanaan (ay. 11).


Kita pun bisa berlaku sama seperti bangsa Israel saat menghadapi pergumulan hidup yang berat, entah dalam pekerjaan, keluarga, studi atau kesehatan. Kita berkeluh kesah atas kesusahan hidup yang dihadapi kepada Tuhan. Kita komplain bahkan berani mempertanyakan Tuhan dan hikmat-Nya, “Kenapa Tuhan aku mengalami pergumulan ini? Katanya Tuhan baik, kok masalahku berat sekali? Apakah Engkau sungguh peduli kepadaku?”


Cukup mencobai Tuhan! Cukup mempertanyakan dan meragukan kebaikan Tuhan! Apakah Tuhan kurang membuktikan kebaikan-Nya kepada kita? Apakah pemeliharaan-Nya selama ini tidak cukup meyakinkan iman kita untuk tetap percaya kepada-Nya? Saya tahu memang tidak mudah untuk memercayai Tuhan di masa-masa yang sulit, tetapi marilah sama-sama belajar beriman kepada-Nya.


Ingatlah, kebaikan-Nya sudah teruji. Pemeliharaan-Nya sudah terbukti. Kuasa-Nya sudah pernah Anda alami, bukan? Percayalah, Tuhan Yesus tetap memegang kendali atas hidup dan Dia pasti menginginkan yang terbaik bagi Anda.


Refleksi Diri:

Apa hal-hal dalam hidup yang seringkali membuat Anda mengeluh kepada Tuhan?


Apa kebaikan dan pemeliharan Tuhan yang pernah Anda alami selama ini? Apakah itu cukup menguatkan iman percaya Anda kepada-Nya?


Sumber: Renungan GII Hok Im Tong

Selasa, 17 September 2024

Berlaku Jujur dalam Kristus


Jangan lagi berdusta. Berlakulah jujur yang satu kepada yang lainnya, sebab kita semua adalah sama-sama anggota tubuh Kristus. –Efesus 4:25 (BIMK)


Ayat Bacaan & Wawasan :

Efesus 4:22-29


Seorang pria mahir menghindari surat tilang dengan berbohong. Saat ia menghadap berbagai hakim di pengadilan, ia akan menceritakan kisah yang sama: “Saya putus dengan pacar saya dan ia membawa kabur mobil saya tanpa sepengetahuan saya.” Selain itu, ia sudah beberapa kali ditegur karena berkelakuan buruk di tempat kerja. Jaksa akhirnya menuntut pria itu dengan empat dakwaan sumpah palsu dan lima dakwaan pemalsuan karena tuduhan berbohong kepada hakim di bawah sumpah dan memberi laporan palsu. Bagi pria ini, berbohong telah menjadi kebiasaan seumur hidup.


Sebaliknya, Rasul Paulus mengatakan bahwa sikap jujur adalah kebiasaan yang sangat penting dalam kehidupan orang percaya. Ia mengingatkan jemaat di Efesus bahwa mereka telah meninggalkan cara hidup mereka yang lama dengan menyerahkan hidup mereka kepada Kristus (Ef. 2:1-5). Sekarang, mereka telah menjadi manusia baru dan perlu hidup dengan cara baru, yakni dengan mulai melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam hidup mereka. Salah satu tindakan tersebut adalah berhenti—“jangan lagi berdusta”—dan sebaliknya mulai melakukan—“Berlakulah jujur yang satu kepada yang lainnya” (4:25). Karena hal tersebut menjaga kesatuan gereja, jemaat di Efesus harus selalu berusaha “membangun” orang lain lewat perkataan dan perbuatan mereka (ay. 29).


Dengan pertolongan Roh Kudus (ay. 3-4), orang percaya dapat berupaya menghadirkan kebenaran dalam perkataan dan perbuatan mereka. Dengan demikian gereja akan bersatu, dan Allah pun dimuliakan.


Oleh:  Marvin Williams


Renungkan dan Doakan

Apa yang dapat membantu Anda untuk senantiasa bersikap jujur? Bagaimana perkataan Anda mencerminkan hidup baru yang Anda jalani sekarang di dalam Kristus?


Allah yang terkasih, tolonglah aku untuk menanggalkan kebohongan dan mengenakan kebenaran-Mu pada diriku sendiri.


Sumber: Our Daily Bread

Senin, 16 September 2024

KEBOHONGAN TERBESAR


Bacaan: 1 Yohanes 1


NATS: Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. (1 Yohanes 1:8)


Ketika seorang pendeta sedang berjalan-jalan, ia bertemu sekelompok anak laki-laki yang mengelilingi seekor anjing. Karena mengkhawatirkan keselamatan anjing itu, ia menghampiri mereka dan bertanya apa yang sedang mereka lakukan. Salah satu dari mereka menjawab, "Anjing tua ini tersesat, tetapi kami masing-masing menginginkannya. Kami memutuskan bahwa barangsiapa menceritakan kebohongan terbesar, dialah yang akan mendapatkannya."


"Kalian seharusnya tidak mengadakan kontes berbohong," kata pendeta itu. "Berbohong itu dosa! Ketika seusia kalian, saya tidak pernah berbohong!" Keheningan menyelimuti selama beberapa menit. Kemudian saat ia mengira perkataannya dapat mereka terima, seorang dari mereka menatapnya dan berkata, "Baiklah, ia menang. Berikan anjing itu padanya."


Kita boleh tersenyum, tapi faktanya kita semua telah melakukan kebohongan besar. Kita mentolerir beberapa kebohongan dan membuat pernyataan yang dilebih-lebihkan, misalnya menambah panjang ikan yang kita tangkap. Namun kita tidak akan setoleran itu bila ditipu dan dicurangi dalam bisnis atau ketika suatu ketidakbenaran mengancam reputasi kita. Namun, setiap orang yang berkata bahwa ia tidak berdosa, melakukan kebohongan terbesar.


Apa yang ditinggalkan kebohongan pada kita? Rasa bersalah, menurut 1 Yohanes 1:8. Namun perhatikan kabar baik yang tertera pada ayat berikutnya, "Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan." Itulah kebenaran yang perlu kita ketahui. Dan tidak ada kebohongan! -HVL


KEBOHONGAN MUNGKIN DAPAT MENUTUPI JEJAK ANDA

NAMUN TIDAK DAPAT MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN


Sumber: Renungan Harian

Minggu, 15 September 2024

Kasih Sekarang Juga


Kasih tidak memaksa orang lain untuk mengikuti kemauannya sendiri, tidak juga cepat tersinggung. –1 Korintus 13:5 (BIMK)


Ayat Bacaan & Wawasan :

1 Korintus 13:4-13


Pada jam istirahat kerja yang singkat, saya dan teman saya, Jerrie, bergegas ke sebuah restoran cepat saji untuk makan siang bersama. Dalam waktu hampir bersamaan, enam orang pemuda masuk tepat di depan kami. Mengingat kami tidak punya banyak waktu, kami pun menggerutu dalam hati. Para pemuda itu bergerombol di dua meja kasir yang ada agar mereka dapat memesan lebih dulu. Lalu, saya mendengar Jerrie bicara sendiri, “Tunjukkan kasih sekarang juga.” Wow! Tentu saja, mengizinkan kami dilayani lebih dahulu pasti menyenangkan, tetapi saat itu saya diingatkan untuk memikirkan kebutuhan dan kemauan orang lain, bukan hanya mengikuti kemauan saya sendiri.


Alkitab mengajarkan bahwa kasih itu sabar, murah hati, dan tidak mementingkan diri sendiri; kasih “tidak juga cepat tersinggung” (1 Kor. 13:5 BIMK). “Sering kali [kasih] . . . lebih mengutamakan kesejahteraan, kepuasan, dan keuntungan orang lain, daripada dirinya sendiri,” tulis penafsir Matthew Henry. Kasih yang berasal dari Allah akan mendahulukan orang lain.


Di dunia yang gampang membuat kita jengkel, kita diberikan kesempatan berulang kali untuk meminta pertolongan dan kasih Allah, agar kita dapat bersikap sabar dan bermurah hati kepada orang lain (ay. 4). Amsal 19:11 menambahkan, “Akal budi membuat seseorang panjang sabar dan orang itu dipuji karena memaafkan pelanggaran.”

Itulah perbuatan kasih yang membawa kemuliaan bagi Allah, dan Dia bahkan dapat memakai perbuatan kita untuk mengingatkan orang lain pada kasih-Nya.


Dengan kekuatan dari Allah, marilah kita menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk menunjukkan kasih sekarang juga.


Oleh:  Anne Cetas


Renungkan dan Doakan

Apa saja yang perlu Anda lakukan, agar tidak melampiaskan kejengkelan yang Anda rasakan? Bagaimana Allah dapat menolong Anda dalam situasi-situasi tersebut?


Aku butuh pertolongan-Mu, ya Allah. Ada banyak hal yang bisa membuatku jengkel, tetapi aku ingin dipenuhi dengan kasih-Mu yang melimpah.


Sumber: Our Daily Bread

Sabtu, 14 September 2024

Pertobatan Daud, Pengampunan TUHAN


Bacaan Alkitab hari ini:

2 Samuel 12


Lebih mudah melihat kesalahan atau dosa orang lain daripada melihat kesalahan atau dosa diri sendiri. Terkadang perlu ada orang lain yang memberi tahu saat kita melakukan kesalahan atau dosa. Daud menutupi dosanya dengan melakukan dosa berikutnya, dan akhirnya ia tidak lagi merasa berdosa saat ia melakukan dosa. Saat TUHAN menegur dosanya melalui Nabi Natan yang menyampaikan sebuah kisah tentang si kaya yang menindas si miskin, Daud tidak sadar bahwa kisah itu adalah kisah dirinya, bahkan ia menjadi sangat marah dan ingin menghukum si kaya yang mengambil apa yang bukan haknya dan tidak mengenal belas kasihan (12:5-6). Dosa membuat kita kehilangan kepekaan dan kemampuan untuk mengenali hukum Tuhan dan menyadari apa yang menjadi hak orang lain.


Selanjutnya, nubuat TUHAN yang disampaikan melalui Nabi Natan menjadi kenyataan! Pembunuhan merupakan ancaman yang tetap bagi keluarga Daud (12:10-11; 13:26-29; 18:14-15, 1 Raja-raja 2:23-25). Absalom—anak kandungnya—memberontak terhadap Daud (15:1-13). Para selirnya dihampiri oleh Absalom di hadapan seluruh Israel (16:20-23). Anak pertama Daud dari Batsyeba mati (12:18). Jika Daud menyadari konsekuensi yang menyakitkan dari dosanya, ia tidak akan mengejar kesenangan duniawinya itu! Saat peristiwa itu berlangsung, Daud menulis Mazmur 51 untuk mengungkapkan pengakuan dosanya.


Bacaan Alkitab hari ini mengajarkan beberapa hal penting: Pertama, seberapa pun besarnya dosa kita, kita dapat datang kepada TUHAN untuk mencurahkan isi hati, mengakui dosa dan pelanggaran kita, serta mencari pengampunan-Nya (12:13,16-18). Rasa bersalah seharusnya mendorong kita untuk segera mencari belas kasihan dan pengampunan TUHAN. Kedua, pengampunan tersedia bagi setiap orang yang sungguh-sungguh bertobat (12:13). Ketiga, ada konsekuensi yang harus kita tanggung sebagai akibat dosa (12:14). Ingatlah bahwa pengampunan TUHAN tidak meniadakan tanggung jawab kita.


Apakah Anda memiliki kepekaan terhadap teguran TUHAN? Bagaimana Anda bersikap terhadap teguran TUHAN: Apakah teguran tersebut membuat Anda membandingkan diri dengan orang lain yang juga melakukan dosa atau membuat Anda melakukan introspeksi terhadap diri Anda sendiri? Setelah ditegur oleh TUHAN, apakah Anda segera bertobat dan kembali kepada TUHAN? Kembali kepada TUHAN, menerima pengampunan TUHAN, serta mengarahkan fokus hidup untuk mengikuti kehendak TUHAN akan membuat kita bisa memulai sebuah awal yang baru! [Pdt. Martin Kurniawan] 


Sumber: Renungan GKY

Jumat, 13 September 2024

Kunci Berbahagia


Bacaan: MAZMUR 1


Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut ajakan orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk di komplotan pencemooh. (Mazmur 1:1)


Pasal pertama kitab Mazmur mengelompokkan manusia ke dalam dua golongan, yakni orang benar dan orang fasik. Orang benar adalah mereka yang hidup menuruti perintah Tuhan sehingga mengalami hidup yang berbahagia, sebaliknya orang fasik adalah mereka yang menempuh jalan kejahatan sehingga berakhir pada kebinasaan (ay. 6). Maka tidaklah salah jika dikatakan bahwa seluruh kitab Mazmur, bahkan seluruh Alkitab, menggaungkan pesan serupa.


Sang Pemazmur mengisyaratkan bahwa seseorang tidak otomatis menjalani hidup yang benar ataupun menjadi fasik dengan tiba-tiba. Itu adalah akibat dari pilihan-pilihan yang kita ambil setiap hari. Seseorang dapat menjadi fasik ketika ia terpengaruh dengan ajakan orang fasik, lalu mulai bertekun di dalam dosa, dan kemudian nyaman di dalamnya (ay. 1). Namun, orang yang tidak menempuh jalan kejahatan karena ia lebih memilih mengikuti perintah Tuhan, dialah yang disebut berbahagia. Ia bergembira dan bersukacita, serta teberkati karena hidupnya berkenan kepada Tuhan. Ia menyukai atau mengasihi Tuhan dan firman-Nya serta menjadikannya panduan dalam menjalani hidup setiap hari (ay. 2).


Menyadari hal ini, kita diingatkan untuk berhati-hati dalam setiap pilihan yang kita ambil. Nasihat siapa yang perlu kita dengarkan atau abaikan. Lingkungan pergaulan mana yang perlu kita ikuti atau jauhi. Kegiatan apa yang perlu kita jalani atau hindari. Tentunya alat ukurnya ialah kesesuaian dengan firman Tuhan dan motivasi kita melakukannya ialah karena dilandasi kasih kepada Dia. Tindakan inilah yang akan membuat hidup kita berbahagia. --HT/www.renunganharian.net


SAAT KITA MENEMPUH JALAN YANG DIKENAN TUHAN, HIDUP KITA PASTI DILIPUTI KEBAHAGIAAN.