Jumat, 28 Februari 2025

Doa Yang Mengubahkan Hidup


Bacaan: Kolose 1:9-12


Sebab itu sejak waktu kami mendengarnya, kami tiada berhenti-henti berdoa untuk kamu. Kami meminta, supaya kamu menerima segala hikmat dan pengertian yang benar, untuk mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna,- Kolose 1:9


Dalam perjalanan hidup orang percaya, sering kali doa yang kita panjatkan terfokus pada kebutuhan diri sendiri dan situasi yang kita hadapi. Kita berdoa untuk kesehatan, pekerjaan, dan masalah-masalah praktis lainnya, yang tentu saja penting. Namun, apakah kita menyadari bahwa doa yang sejati seharusnya mengarah pada pertumbuhan rohani yang lebih dalam? Doa Rasul Paulus untuk jemaat Kolose mencerminkan kedewasaan spiritualitas dan pengenalan akan Allah karena diucapkan berfokus pada pertumbuhan rohani jemaat. Pengkhotbah asal Inggris, Charles Spurgeon, berkata, “Doa yang terbaik bukanlah yang mengubah keadaan, tetapi yang mengubah hati.”


Beberapa poin penting mengenai doa yang bisa didapatkan melalui perikop bacaan hari ini. Pertama, Paulus berdoa agar jemaat dipenuhi hikmat dan pengetahuan akan kehendak Allah (ay. 9). Ini bukan sekadar pengetahuan intelektual, tetapi hikmat dan pengertian rohani yang membekali kita untuk membedakan dan memilih kehendak Allah dalam setiap aspek kehidupan. Dalam dunia yang penuh dengan kebingungan dan pilihan sulit, mengenal kehendak Allah adalah kunci untuk membuat keputusan yang benar.


Kedua, doa bertujuan agar jemaat hidup layak (berkenan) di hadapan Tuhan (ay. 10). Pengenalan akan Allah seharusnya menghasilkan hidup yang berbuah dalam segala perkara baik. Seperti pohon yang sehat menghasilkan buah, demikian juga kehidupan rohani yang sehat akan menghasilkan karakter dan tindakan yang memuliakan Allah.


Ketiga, Paulus berdoa agar jemaat dikuatkan dengan segala kekuatan (ay. 11-12). Kekuatan ini bukan untuk kepentingan diri sendiri, tetapi untuk bertahan dalam pencobaan dan bersukacita dalam segala keadaan. Doa kita panjatkan bukan hanya untuk meminta, tetapi juga untuk mempersiapkan hati menghadapi tantangan dengan sukacita dan teguh hati.


Mari mulailah berdoa seperti Paulus: berdoa untuk pertumbuhan rohani yang mendalam, baik untuk pertumbuhan rohani kita maupun sesama orang percaya. Ketika kita fokus pada pertumbuhan rohani, perubahan lahiriah akan mengikuti secara alami. Biarlah doa kita menjadi sarana transformasi yang membawa kita semakin serupa dengan Kristus.


Refleksi Diri:

Bagaimana pola doa Anda selama ini? Apakah lebih banyak mendoakan keinginan diri atau pertumbuhan rohani Anda?

Bagaimana Anda akan berdoa lebih sungguh dalam pertumbuhan rohani tersebut? Misalnya, dalam hal frekuensi, cara atau keseriusan dalam berdoa?


Sumber: Renungan GII Hok Im Tong

Kamis, 27 Februari 2025

SATU HARI SETIAP KALI


Bacaan: Matius 6:25-34


NATS: Janganlah kamu kuatir akan hari besok (Matius 6:34)


Mungkin Anda pernah melihat ungkapan SATU HARI SETIAP KALI pada stiker yang ditempel di bemper mobil, hiasan dinding, atau magnit di pintu kulkas. Slogan tersebut sering digunakan para pecandu alkohol yang telah sembuh sebagai peringatan bahwa mereka bukannya tidak boleh mabuk untuk selamanya-tetapi cukuplah untuk hari ini. Satu bulan, atau bahkan satu minggu tanpa alkohol mungkin tampak mustahil bagi mereka. Namun kunci keberhasilannya adalah kepercayaan bahwa Allah akan memberi mereka kekuatan untuk berkata, "Aku tidak akan minum hari ini."


Pelajaran "satu hari setiap kali" terangkai dalam lembaran-lembaran Kitab Suci. Allah memberi bangsa Israel manna setiap hari (Keluaran 16:4). Rahmat Bapa kita di surga selalu baru tiap pagi (Ratapan 3:22-23). Yesus mengajar pengikut-pengikut-Nya untuk meminta "makanan yang secukupnya setiap hari" (Matius 6:11) dan untuk tidak kuatir akan hari esok (ayat 34). Pelajaran ini memang tampak sulit bagi kita, namun merupakan kunci bagi berlangsungnya kehidupan dan kedamaian.


Ketika kita menghadapi suatu keadaan yang tampak mengecewakan, kita mungkin akan berputus asa, dan ragu apakah kita akan mampu menanggungnya hingga akhir. Namun Firman Allah yang berbicara tentang penghiburan dan dorongan mengingatkan kita bahwa "hari demi hari Dia menanggung bagi kita" (Mazmur 68:20).


Makanan untuk setiap hari. Terang untuk setiap hari. Kekuatan juga untuk setiap hari. Ketika esok tampak terlalu panjang untuk dijalani, Allah meminta kita untuk mempercayai-Nya -- satu hari setiap kali --DCM


Day by day and with each passing moment,

Strength I find to meet my trials here;

Trusting in my Father's wise bestowment,

I've no cause for worry or for fear. --Berg


ALLAH TIDAK MEMINTA KITA MENANGGUNG BEBAN HARI ESOK DENGAN KEKUATAN HARI INI


Sumber: Renungan Harian

Rabu, 26 Februari 2025

Melayani atau Memperalat Tuhan?


Bacaan Alkitab hari ini: 2 Raja-raja 6


Pasal ini menambah daftar panjang mukjizat yang dilakukan oleh nabi Elisa, sekaligus merupakan daftar panjang bukti kasih setia Tuhan terhadap bangsa dan raja Israel. Ironisnya, daftar panjang kebebalan pemimpin Israel juga bertambah. Kita mungkin sedikit heran membaca bahwa Elisa membuat mukjizat untuk urusan sepele, yakni menolong orang yang kehilangan mata kapak (6:1-7). Namun, hikmat Tuhan memampukan Elisa untuk tidak memandang mukjizat itu sebagai urusan sepele. Ia bisa melihat bahwa orang yang kehilangan mata kapak ini punya rasa tanggung jawab, baik terhadap pemilik kapak maupun terhadap tugas yang sedang dikerjakannya (6:5). Oleh karena itu, Elisa tak ragu menolong orang tersebut, dengan membuat mata kapak itu terapung (6-7).


Jika kita mengingat kebebalan raja maupun umat Israel yang tetap tidak mau berpaling kepada Tuhan, kita juga bisa heran melihat kesediaan nabi Elisa membuat mukjizat untuk menolong bangsa Israel dan Raja Yoram menghadapi musuh mereka, yakni bangsa Aram (6:8-23). Pelayanan nabi Elisa ini menyatakan kasih setia Tuhan bagi mereka yang tak layak menerimanya. Dengan hikmat Tuhan, Elisa membocorkan strategi perang raja Aram, sehingga membuat musuh Israel tidak berdaya (6:8-10). Bahkan, strategi Elisa yang tanpa kekerasan membuat pasukan Aram berhutang budi dan berhutang nyawa kepada raja Israel, sehingga mereka tidak mengganggu keamanan Israel untuk beberapa waktu lamanya. (6:18-23).


Sayangnya, Raja Yoram yang sudah menerima banyak pertolongan Tuhan tidak segera memutuskan untuk beriman kepada Tuhan. Rupanya, Raja Yoram hanya beriman kepada mukjizat Tuhan atau hanya memperalat Tuhan. Ia hanya menginginkan pertolongan Tuhan dan tetap tidak merasa membutuhkan Tuhan. Buktinya, ia segera mengancam nabi Elisa dan menghujat Tuhan atas tragedi kelaparan yang dialami rakyatnya. Padahal tragedi itu seharusnya membuat Yoram mau mencari Tuhan, bertobat dan memohon pertolongan-Nya, dan akhirnya beriman kepada Tuhan (6:35).


Sikap nabi Elisa dan sikap Raja Yoram di pasal ini kembali menjadi cermin bagi kita: Apakah Anda berbuat baik hanya kepada orang yang pantas menerimanya? Adakah kesempatan pelayanan atau perbuatan baik yang Anda abaikan karena Anda menganggap hal itu sebagai urusan yang remeh? Jika Anda mengalami musibah atau tragedi, apakah Anda menyalahkan Tuhan atau Anda tetap memercayai pemeliharaan Tuhan? Jawaban atas pertanyaan ini akan menyingkapkan: apakah selama ini kita melayani Tuhan atau memperalat Tuhan! [Pdt. Iwan Catur Wibowo]


Sumber: Renungan GKY

Selasa, 25 Februari 2025

BAGAIMANA AYAHNYA, BEGITULAH ANAKNYA


Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya. Matius 7:11


Ketika seseorang lahir baru, ia memulai hidup yang baru sebagai anak Allah. Roh Kudus tinggal di dalamnya, dan secara bertahap, hidupnya akan semakin mencerminkan karakter Bapa di surga. Salah satu sifat utama Allah yang terlihat jelas dalam Alkitab adalah kemurahan hati-Nya.


Yakobus menegaskan bahwa setiap pemberian yang baik berasal dari Allah (Yakobus 1:17). Paulus juga berkata bahwa jika Allah tidak ragu memberikan Anak-Nya yang tunggal untuk kita, tentu Dia akan memberikan segala sesuatu yang kita butuhkan (Roma 8:32). Karena Bapa kita murah hati, sudah seharusnya anak-anak-Nya juga memiliki hati yang murah hati, termasuk dalam hal keuangan.


Kemurahan hati yang sejati lahir dari pemahaman akan anugerah Allah. Jika kita memberi tanpa terlebih dahulu memahami kasih dan kebaikan Tuhan, pemberian kita akan kehilangan sukacita. Jika kita memberi karena merasa terpaksa, kita akan melakukannya dengan berat hati. Jika kita memberi karena merasa itu kewajiban, kita hanya sekadar menjalankan tugas. Tetapi jika kita memberi karena bersyukur, kita akan melakukannya dengan sukacita.


Untuk bertumbuh dalam kemurahan hati, kita harus semakin menyadari bahwa segala yang kita miliki adalah anugerah dari Allah—dari hidup kita, iman kita, hingga berkat-berkat yang kita terima setiap hari (1 Korintus 4:7). Jika semuanya berasal dari Tuhan, tidakkah kita seharusnya dengan sukacita memberi kembali untuk pekerjaan-Nya?


Jika kita sulit memberi untuk pelayanan Injil, mungkin itu menunjukkan bahwa kita belum benar-benar memahami kebaikan dan karakter Allah. Cara kita menggunakan uang mencerminkan hubungan kita dengan Tuhan dan komitmen kita kepada Kristus. Bahkan, catatan keuangan kita bisa berbicara banyak tentang iman kita.


Cobalah tanyakan pada diri sendiri: Apa yang pola keuanganku tunjukkan tentang komitmenku kepada Kristus? Bagaimana hidupku akan berubah jika pemberianku adalah ungkapan syukur kepada Allah atas segala yang telah Dia berikan kepadaku?


Allah adalah pemberi yang murah hati, dan Dia mengundang kita untuk menikmati sukacita menjadi seperti Dia.


Refleksi

Bacalah Roma 8:31-39 dan jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut


Pola pikir apa yang perlu saya ubah?


Apa yang perlu dikalibrasi dalam hati saya?


Apa yang bisa saya terapkan hari ini?


Truth For Life – Alistair Beg


Sumber: Renungan Gibeon Church

Senin, 24 Februari 2025

Relevan di Mata Allah


Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati. –1 Samuel 16:7


Ayat Bacaan & Wawasan :

1 Samuel 16:1, 6-13


Setiap tahun, tim-tim football profesional di Amerika Serikat akan memilih pemain baru melalui acara National Football League Draft. Para pelatih akan menghabiskan ribuan jam untuk menilai kecakapan dan kebugaran calon pemain incaran mereka. Pada tahun 2022, Brock Purdy menjadi pemain pilihan terakhir—dengan nomor urut 262. Ia bahkan dijuluki “Si Tidak Relevan,” sebutan yang diberikan kepada pemain terakhir yang dipilih. Tak seorang pun berharap ia akan bermain dalam satu pertandingan pun dalam musim kejuaraan berikutnya. Namun, hanya beberapa bulan kemudian, Purdy memimpin timnya meraih dua kemenangan di babak penyisihan. Ternyata, para petinggi tim yang bertanggung jawab memilih pemain baru tidak selalu berhasil mengenali potensi yang ada. Kita pun menghadapi masalah yang sama.


Dalam kisah Perjanjian Lama yang sudah sering kita dengar, Allah mengutus Nabi Samuel untuk memilih raja Israel berikutnya dari antara anak-anak Isai. Saat Samuel menjumpai anak-anak itu, ia terpengaruh oleh penampilan fisik mereka. Namun, Allah mengingatkannya, “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi” (1 Sam. 16:7). Sebaliknya, Allah mengarahkan Samuel untuk memilih, bukan yang tertua atau yang tertinggi, tetapi justru yang paling muda dan yang sepertinya paling tidak relevan. Itulah Daud, yang nantinya akan menjadi raja Israel yang terbesar.


Mengapa kita sering gagal dalam menilai orang? Perikop ini mengingatkan kita bahwa “manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati” (ay. 7). Saat kita diminta memilih anggota tim kerja atau melayani sebagai relawan, kita dapat memohon Allah agar memberi kita hikmat dalam memutuskan pilihan berdasarkan kualitas yang bernilai bagi-Nya.


Oleh:  Lisa M. Samra


Renungkan dan Doakan

Kapan Anda pernah merasa “tidak relevan”? Bagaimana Anda dapat memandang orang lain dari sudut pandang Allah?


Bapa Surgawi, tolonglah kami untuk melihat orang lain, sebagaimana Engkau melihat mereka.


Sumber: Our Daily Bread

Minggu, 23 Februari 2025

Berjumpa Allah, Itu Anugerah


Bacaan Alkitab:2 Raja-raja 5


Pasal ini menampilkan sejumlah tokoh dari berbagai kalangan. Ada gadis Israel yang ditawan dan menjadi pelayan di rumah pejabat Aram, negeri musuh Israel. Gadis ini mampu memelihara imannya bahkan mampu menjadi berkat bagi majikannya (5:2-4). Ada juga nabi Israel yang Allah pakai untuk menyembuhkan majikan gadis pelayan ini (5:14). 


Dua tokoh dalam bacaan Alkitab hari ini mengingatkan kita pada dua tokoh dalam Injil Yohanes. Naaman—seperti perempuan Samaria dalam Yohanes 4—adalah orang yang semula jauh dari Allah, namun tiba-tiba mengalami perjumpaan pribadi dengan Allah. Gehazi—seperti kondisi Nikodemus sebelum bertemu dengan Tuhan Yesus dalam Yohanes 3—adalah orang yang diharapkan bersikap rohani dan dekat dengan Allah, tetapi mereka berdua—saat itu—justru belum mengalami perjumpaan pribadi dengan Allah.


Naaman—panglima kerajaan Aram—tidak mengenal Allah. Namun, sejenis penyakit kulit—dalam TB1 disebut penyakit kusta—yang menimpa dirinya menjadi jalan baginya untuk berjumpa dengan Allah, dan hidupnya diubahkan. Cara pandangnya terhadap harta berubah: Ia semula menjadikan harta sebagai alat untuk meraih semua keinginannya, termasuk keinginan untuk sembuh. Namun, ia belajar memberikan hartanya sebagai ‘berakah’, yaitu kata bahasa Ibrani untuk pemberian (5:15) yang bisa dimaknai sebagai ungkapan syukur. Cara pandangnya terhadap diri sendiri juga berubah: Semula, dia memandang dirinya sebagai pusat, sebagai tuan, sehingga ia sangat tersinggung saat diperintah Elisa untuk mandi di sungai Yordan. Namun, setelah sembuh, ia bisa belajar memandang dirinya sebagai hamba (5:17).


Sebaliknya, Gehazi adalah bujang nabi Elisa. Ia tinggal di rumah sang nabi dan bisa dipandang sebagai orang yang tidak jauh dari Allah. Sayangnya, meskipun hidup di lingkungan rohani, ternyata Gehazi tidak mengalami perjumpaan dengan Allah. Buktinya terlihat dari cara pandangnya terhadap harta. Gehazi masih melihat uang dan kekayaan sebagai segala-galanya (5:20-23). Demi mendapat harta, Gehazi berdusta dan mencoreng nama baik nabi Elisa. Akibatnya, harta ia dapatkan, tetapi penyakit Naaman berpindah padanya (5:26-27). Sungguh menyedihkan!


Berapa lama Anda sudah mengikut Allah? Sudahkah Anda mengalami perjumpaan pribadi dengan Allah dan merasakan belas kasihan dan anugerah keselamatan-Nya? Jika sudah, maka respons yang tepat adalah hati yang penuh dengan ucapan syukur karena menyadari bahwa diri kita yang berdosa ini sesungguhnya tidak layak menerimanya. 


Kesadaran akan anugerah Allah pasti akan menghasilkan perubahan dalam cara kita memandang dunia, Allah, dan diri sendiri. [Pdt. Iwan Catur Wibowo]


Sumber: Renungan GKY

Sabtu, 22 Februari 2025

SELUMBAROLOGI DAN BALOKITIS


Bacaan: Matius 7:1-5


NATS: Keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu (Matius 7:5)


Menurut Yesus, tidaklah abik bila kita ahli dalam "selumbarologi" namun menderita "balokitis." Dalam Khotbah di bukit, Tuhan bersabda, "Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?" (Matius 7:3).


Jika kata selumbarologi terdapat dalam katalog universitas, mungkin penggambarannya akan berbunyi demikian: "Inti dari mata kuliah ini adalah pengenalan dan pembahasan secara kritis terhadap kelemahan-kelemahan kecil dalam kehidupan setiap orang di sekeliling kita. Mata kuliah ini sangat laris, segeralah mendaftar."


Seandainya istilah balokitis muncul dalam kamus kedokteran mungkin definisinya akan berbunyi sebagai berikut: "Sebuah penyakit yang mengubah pandangan terhadap diri sendiri dan membuat seorang individu tidak mampu mengenali kesalahan pribadinya. Hal ini terjadi di seluruh dunia."


Untuk memecahkan masalah ini, Tuhan menasihatkan, "Keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu" (ayat 5).


Kita tidak membutuhkan tukang kayu atau dokter mata untuk memahami perumpamaan Yesus ini. Sebenarnya kita telah mengikuti "mata kuliah" tersebut saat kita "mengidap penyakit" itu. Namun apabila hari ini kita mau mengalihkan perhatian dari selumbar yang kita lihat dalam diri orang lain untuk memperhatikan balok yang ada dalam mata kita sendiri, maka hal itu akan membawa pengaruh besar bagi kita semua!-DCM


HENDAKLAH ANDA CEPAT MENILAI DIRI SENDIRI

DAN LAMBAT MENILAI ORANG LAIN


Sumber: Renungan Harian

Jumat, 21 Februari 2025

Siapkah Anda Dicurahkan sebagai Persembahan? 


Tetapi sekalipun darahku dicurahkan pada korban dan ibadah imanmu, aku bersukacita dan aku bersukacita dengan kamu sekalian. — Filipi 2:17


Bersediakah Anda mengorbankan diri untuk karya dari orang percaya lain -- mencurahkan hidup Anda sebagai korban untuk pelayanan dan iman orang lain?


Melayani dengan sungguh-sungguh dan benar tidaklah mudah karena keinginan untuk dilayani, disanjung, dan dikenang selalu mengadang. Oswald Chambers menyebutnya menjadi “kurang dari setetes air dalam ember” -- menjadi tidak berarti. Itu sebabnya, dikatakan bahwa tidak sedikit pekerja di ladang Tuhan, yang tidak dapat melakukan pekerjaan kasar, mempertahankan sikapnya sebagai pelayan bagi Tuhan karena mereka merasa pelayanan semacam itu merendahkan martabat mereka.


Atau, Anda berkata, “Aku tidak bersedia dicurahkan sekarang ini, dan aku tidak mau Allah memberitahukan kepadaku bagaimana memilih pekerjaanku, aku ingin memilih sendiri tempat pengorbananku, aku ingin orang-orang tertentu menyaksikan aku dan mengatakan kepadaku: ‘Wah, pekerjaan bagus sekali!’”


Adalah suatu hal yang berbeda, melayani Allah dengan cara sendiri dan disanjung sebagai pahlawan, dengan pelayanan yang telah diatur Allah bagi Anda di mana Anda harus menjadi “keset” bagi orang-orang lain. Maksud Allah mungkin untuk mengajar Anda untuk berkata, “Aku tahu bagaimana direndahkan.”


Apakah Anda siap dikorbankan seperti itu? Bersediakah Anda untuk menjadi “kurang dari setetes air dalam ember” -- menjadi sama sekali tidak berarti, sehingga tidak seorang pun mengenang Anda dalam hubungan dengan kehidupan orang-orang yang Anda layani?


Bersediakah Anda untuk memberi diri dan waktu, dan kemudian dilupakan -- dengan tidak berusaha dilayani melainkan untuk melayani?


Sebagian orang kudus tidak dapat melakukan pekerjaan kasar seraya mempertahankan sikapnya sebagai orang kudus, sebab mereka merasa pelayanan semacam itu merendahkan martabat mereka.


Sumber: My Utmost (Oswald Chambers)

Kamis, 20 Februari 2025

Sayang Seribu Sayang


Bacaan: MATIUS 25:14-30


"Tentang hamba yang tidak berguna itu, campakkanlah dia ke dalam kegelapan di luar. Di sanalah akan terdapat ratapan dan kertak gigi." (Matius 25:30)


Hasil survei di Amerika mencatat fakta-fakta berikut ini. Sebesar 70% dari fitur telepon pintar tidak terpakai, 70% dari daya kecepatan sebuah mobil mewah mubazir, 70% dari luas lahan vila mewah dibiarkan kosong, 70% dari materi kuliah di universitas tidak diterapkan, 70% dari kegiatan sosial cuma iseng tak bermakna, 70% dari busana dan peralatan dalam rumah tak digunakan. Seumur hidup orang mencari harta, 70% dari hartanya dinikmati oleh ahli waris. Sungguh fakta-fakta ini menggarisbawahi kenyataan betapa sebagian besar potensi di dunia ini mubazir. Terabaikan. Sia-sia!


Begitulah kehidupan manusia. Berlimpah, tetapi ditelantarkan. Sebenarnya punya, tapi tidak terpakai. Ada, tetapi tak dimanfaatkan. Tersedia, tetapi sia-sia. Kita dikaruniai hidup, tetapi tidak dijalani dengan optimal. Dikaruniai waktu, tapi mubazir lewat begitu saja. Punya keluarga, tetapi dicampakkan. Punya teman, tapi diabaikan. Bakat pun tak pernah dilatih sehingga tidak berkembang. Kesempatan melayani terbuka lebar, tetapi selalu dihindari.


Bayangkan betapa kecewanya Tuhan seperti yang terlukis dalam perumpamaan Yesus tentang talenta ini. Tuan yang menitipkan uang talentanya itu sangat geram terhadap hamba yang memendam satu talenta di tangannya ke dalam tanah (ay. 30). Padahal untuk standar waktu itu, satu talenta bukan jumlah yang sedikit. Banyak manfaatnya! Namun, uang itu tidak terkelola dengan baik. Ada, tetapi seperti tidak ada. Betul-betul disia-siakan. Sebenarnya, pesan perumpamaan ini bukan hanya berlaku untuk bakat, melainkan semua potensi, semua relasi, setiap kesempatan, semua hal yang dititipkan Tuhan kepada kita, yang sayang seribu sayang diabaikan. --PAD/www.renunganharian.net


JANGAN SELALU MENCARI YANG KITA TIDAK MILIKI.

JANGAN-JANGAN YANG KITA MILIKI PUN MASIH BANYAK YANG DIABAIKAN.

Rabu, 19 Februari 2025

Bangsa yang Sedang Tidak Baik-Baik Saja


Bacaan Alkitab hari ini: 2 Raja-raja 1


Kitab ini dibuka dengan Raja Ahazia yang sakit. Kondisi raja yang sakit ini merupakan gambaran yang cocok untuk kondisi bangsa Israel Utara dan bangsa Yehuda yang sedang "sakit parah" secara rohani. Kondisi mereka parah karena penyakit rohani itu sudah menggerogoti kerohanian para pemimpin. 


Raja Ahazia menyembah berhala—meniru orang tuanya, yaitu Ahab dan Izebel (1 Raja-raja 22:52-54)—dan melakukan banyak kejahatan lain yang mendukakan hati Tuhan. Arti nama "Ahazia" sebenarnya sangat rohani, yaitu "Allah menggenggam". Sayangnya, hati Ahazia tidak pernah menggenggam Allah. Banyak orang menjadi rohani dan berdoa kepada Tuhan saat sakit, tetapi Ahazia justru mencari pertolongan Ba’al-Zebub, padahal ia pasti pernah mendengar kisah Elia, hamba Allah yang mengalahkan nabi-nabi Ba’al itu (1 Raja-raja 18:20-46). Dengan angkuh, Ahazia mengirim pasukan untuk mencari dan memerintahkan Elia menghadap Raja (2 Raja-raja 1:9-14). 

Sikap Ahazia yang arogan membuat Allah menegur—melalui nabi Elia—dan menegaskan bahwa ia tidak akan sembuh dan pasti akan mati (1:4-6).


Banyak orang Kristen bersikap seperti Raja Ahazia. Mereka lebih tepat disebut "ateis praktis", yaitu orang yang mengaku beragama, tetapi sikap hidupnya seolah-olah Tuhan tidak ada. Mereka tidak melibatkan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Saat kesulitan datang atau saat menghadapi masalah, mereka mencari pertolongan di tempat yang salah. Mereka memilih mengandalkan pikiran sendiri, atau mengandalkan orang lain, bahkan "orang pintar". Sikap seperti ini merupakan sikap menolak Allah, Sang Sumber Hidup.


Dunia ini sudah tidak baik-baik saja sejak tercemar dosa. Orang Kristen seharusnya tidak takut saat mengalami kondisi hidup yang tidak baik-baik saja karena Allah yang kita sembah di dalam Tuhan Yesus turut merasakan kondisi tidak baik-baik saja itu (bandingkan dengan Ibrani 4:15). Orang Kristen seharusnya tidak terkejut dan selalu berpengharapan bahwa pada akhirnya, semua akan baik-baik saja. Karya penebusan Kristus di kayu salib menjamin keselamatan kita di masa depan, dan kebangkitan Kristus menjamin penyertaan-Nya dalam hidup kita pada masa kini.


Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda sadar bahwa dunia ini—termasuk diri Anda—sudah tercemar oleh dosa? Saat kondisi kesehatan, ekonomi, atau aspek lain dalam hidup Anda sedang tidak baik-baik saja, ke mana dan kepada siapa Anda mencari pertolongan? Jauhilah perilaku ateis praktis! Dalam semua aspek, marilah kita jalani hidup kita dengan hati menggenggam Allah, yaitu melibatkan Allah dan mengandalkan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. [Pdt. Iwan Catur Wibowo]


Sumber: Renungan GKY

Selasa, 18 Februari 2025

SIAGA UNTUK BERPERANG


Bacaan: Mazmur 5


NATS: TUHAN, pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku (Mazmur 5:4)


Setiap pengikut Kristus terlibat dalam peperangan rohani setiap hari. Karena itulah kita tidak dapat menjalani satu hari pun dengan sikap berpuas diri.


Herb Caen menulis sebuah artikel dalam San Francisco Chronicle, "Di Afrika, setiap pagi seekor kijang kecil terbangun. Ia tahu bahwa ia harus berlari lebih cepat dari singa yang tercepat atau ia akan terbunuh. Setiap pagi seekor singa terbangun. Ia tahu bahwa ia harus lari lebih cepat dari kijang kecil yang paling lamban atau ia akan mati kelaparan. Tidak menjadi masalah apakah Anda seekor singa atau seekor kijang kecil; yang jelas, tatkala matahari terbit, lebih baik Anda cepat berlari."


Pendeta berkebangsaan Inggris Charles Spurgeon menulis, "Jika Anda tidak mencari Tuhan, iblislah yang akan mencari Anda." Kita tidak harus menunggu sampai diserang oleh Setan, baru kemudian memikirkan strategi untuk lari dari musuh jiwa kita itu. Sebaliknya kita harus lebih dahulu mencari Tuhan, dan sadar sepenuhnya bahwa "si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya" (1 Petrus 5:8).


Dalam Mazmur 5 kita membaca bahwa Daud mengungkapkan betapa ia membutuhkan pertolongan Allah. Ia datang ke hadirat Tuhan pagi-pagi sekali, untuk mencari tuntunan dan perlindungan-Nya (ayat 4,9,13).


Janganlah kiranya kita memasuki hari yang baru tanpa menyadari kebutuhan kita yang mendesak akan Tuhan. Siaga adalah cara terbaik untuk siap menghadapi serangan Setan --DCE


MULAILAH TIAP-TIAP HARI DENGAN KESIAPSIAGAAN

SEHINGGA ANDA SELALU SIAP UNTUK BERPERANG


Sumber: Renungan Harian

Senin, 17 Februari 2025

LANJUTKAN DI HARI SENIN


Bacaan: 1 Tesalonika 4:1-12


NATS: Kami minta dan nasihatkan kamu dalam Tuhan Yesus: Kamu telah mendengar dari kami bagaimana kamu harus hidup supaya berkenan kepada Allah (1 Tesalonika 4:1)


Allah memang terkenal pada hari Minggu. Pada hari itu jutaan orang di seluruh dunia menghentikan kegiatan mereka untuk mengunjungi sebuah gedung dengan tujuan beribadah, menyanyi dan mengenal Allah bersama rekan-rekan mereka lainnya. Namun ketika hari Senin, dimanakah mereka menempatkan Allah dalam kehidupan sesehari? Tatkala perhatian mereka terbagi pada banyak hal lain yang penting, mereka pun bepergian tanpa beban sepanjang minggu, tanpa meghiraukan Dia.


Bahkan di antara jemaat yang pergi ke gereja pada hari Minggu, ada yang menyebut nama Allah dengan tidak hormat. Sering kali rencana-rencana-Nya tidak dihiraukan dan petunjuk-petunjuk-Nya bagi kehidupan tidak direnungkan sedikit pun.


Dari mana kita bisa berpendapat bahwa Allah hanya menghendaki perhatian kita pada dan hari Minggu? Yang jelas bukan dari Rasul Paulus, yang mengatakan bahwa kita harus tetap berdoa (1 Tesalonika 5:17)-karena ini menunjukkan dengan jelas bahwa Allah juga mendengarkan kita hari Senin sampai Sabtu. Paulus juga menulis, "Bersukacitalah senantiasa" (ayat 16), yang menunjukan bahwa tidak seyogyanya kita berhenti menyanyi hanya karena organnya tidak dimainkan. Dan bagaimana dengan perintah, "Mengucap syukurlah dalam segala hal" (ayat 18)? Ayat ini secara nyata mengungkapkan bahwa di sepanjang minggu kita memiliki kesempatan untuk berkata, "Syukur kepada-Mu, ya Allah."


Hari Minggu adalah hari yang disediakan khusus untuk memberi perhatian secara langsung kepada Allah. Namun tidak berhenti di situ. Lanjutkan di hari Senin! -JDB


BERIBADAHLAH KEPADA ALLAH PADA HARI MINGGU

DAN TETAPLAH BERJALAN BERSAMA-NYA PADA HARI SENIN


Sumber: Renungan Harian

Minggu, 16 Februari 2025

Yang Paling Hina?


Bacaan: MATIUS 25:31-4


"Raja itu akan menjawab mereka: Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Segala sesuatu yang telah kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." (Matius 25:40)


Sabda di atas telah sering saya dengar dan saya baca. Namun, suatu kali, sabda itu membuat saya tersentak dan bertanya-tanya, mengapa Tuhan menyebut kaum lemah (yakni mereka yang miskin, terlunta-lunta, teraniaya, terabaikan, dsb.) sebagai "yang paling hina"?


Bukankah sebutan "yang paling hina" itu sangat merendahkan kaum lemah? Bagaimana bisa Tuhan-yang saya kenal sebagai Tuhan yang penuh kasih, yang berkenan karib dengan rakyat jelata, dan sudi dekat dengan penderita kusta-menyebut kaum lemah sebagai yang paling hina? Semua itu sungguh mengusik pikiran, membuat saya gelisah.


Namun, syukur kepada Tuhan, Dia mempertemukan saya dengan sumber tepercaya, yang memberi pencerahan, yang menghapus kegelisahan saya. Ternyata, frasa yang paling hina (LAI) diterjemahkan dari kata Gerika, ton elakhiston, yang artinya: yang paling kecil (dalam jumlah, kemampuan, kekuasaan, peluang), yang ada di urutan terakhir, yang tak punya kekuatan, yang terabaikan. Anda lihat? Dalam kata ton elakhiston tak sedikit pun termuat pengertian maupun nuansa tentang hina, apalagi paling hina.


Apa arti semua itu?


Tuhan sama sekali tidak memandang hina kaum lemah. Tuhan menyebut mereka ton elakhiston, yang terkecil (namun yang tak pernah Dia lupakan); yang tak punya kekuatan (sebab itu Dia dukung dan Dia bela); yang di urutan terakhir (tetapi Dia jadikan prioritas kasih-Nya); yang terabaikan (tetapi Tuhan sangat peduli pada mereka). Sebab itulah, Dia menyebut mereka "saudara-Ku".


Segala puji hanya bagi Allah. --EE/www.renunganharian.net


TUHAN SAMA SEKALI TIDAK MEMANDANG HINA KAUM LEMAH.

DIA MENYEBUT MEREKA "SAUDARA-KU".

Sabtu, 15 Februari 2025

MEMPERBAIKI KESALAHAN


Bacaan: Amsal 14:8-21


NATS: Orang bodoh mencemoohkan korban tebusan, tetapi orang jujur saling menunjukkan kebaikan (Amsal 14:9)


Jim Thomas merasa yakin bahwa pria yang sedang diadili itu tak bersalah, tetapi ia tidak dapat meyakinkan rekan-rekannya sesama juri akan hal itu. Setelah melalui diskusi selama delapan jam, akhirnya ia menyerah dan mengikuti suara mayoritas. Tetapi sesudah vonis bersalah dijatuhkan, ia tak dapat berhenti memikirkan bahwa ia telah ikut menghukum seseorang yang tidak bersalah.


Maka dengan uangnya sendiri, Jim Thomas menyewa seorang pengacara untuk naik banding. Beberapa hari setelah pengadilan, si korban mengaku bahwa ia telah berbohong dan si tersangka tadi dibebaskan.


"Saya adalah seorang juri dan saya telah membantu membuat sebuah kesalahan," kata Thomas. "Ini harus diperbaiki."


Terkadang, saya begitu mudah menutupi kesalahan dan ketidak-beranian saya sendiri dengan berkata, "Yah, tidak ada yang dapat kita lakukan lagi sekarang." Kisah Jim Thomas di atas menantang saya untuk memikirkan kembali sikap saya agar berani memperbaiki kesalahan yang saya lakukan.


Amsal 14:9 mengatakan, "Orang bodoh mencemoohkan korban tebusan, tetapi orang jujur saling menunjukkan kebaikan." Bagi orang bodoh, melakukan sesuatu yang salah bukan merupakan masalah, tetapi orang yang memiliki integritas dan karakter yang baik akan merasa terbeban untuk memperbaikinya.


Jika Anda telah membantu membuat suatu kesalahan, bertindaklah dengan segera dan milikilah keberanian untuk memperbaikinya--DCM


KITA MELAKUKAN DUA KESALAHAN SAAT KITA GAGAL MEMPERBAIKI SATU KESALAHAN


Sumber: Renungan Harian

Jumat, 14 Februari 2025

Kasih Bapa Kita


Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah. –1 Yohanes 3:1


Ayat Bacaan & Wawasan :

1 Yohanes 3:1-3, 16-24


Kim duduk di dekat jendela, siap dengan tasnya, menunggu kedatangan ayahnya dengan penuh semangat. Namun, saat langit berubah gelap dan hari menjadi malam, antusiasmenya surut. Ia sadar, lagi-lagi ayahnya tidak datang.


Orangtua Kim sudah bercerai, dan ia ingin menghabiskan waktu bersama sang ayah. Ini bukan pertama kalinya Kim berpikir, Aku pasti tidak berarti. Ayah tentu tidak menyayangiku.

Kim kelak menyadari—seperti juga kita semua yang menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat—bahwa meski orangtua duniawi kita dan orang lain mengecewakan kita, kita memiliki Bapa Surgawi yang mengasihi dan tidak akan mengecewakan kita.


Rasul Yohanes memahami kedalaman kasih Allah. Penulis dari tiga surat di dalam Alkitab, salah satu kitab Injil, dan Kitab Wahyu itu menyebut dirinya sebagai “murid yang dikasihi Yesus” (Yoh. 21:20). Sebutan itu menggambarkan bagaimana Yohanes sadar bahwa hidupnya telah diubahkan oleh kasih Kristus kepadanya. Ia menulis: “Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah” (1 Yoh. 3:1).


Begitu besar kasih Allah bagi kita, sehingga Dia telah mengaruniakan Anak-Nya, Yesus, yang menyerahkan nyawa-Nya bagi kita (ay.16; Yoh. 3:16). Dia selalu siap mendengarkan doa-doa kita, dan Dia berjanji, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibr. 13:5). Kita dapat bersandar penuh pada kasih-Nya.


Oleh:  Alyson Kieda


Renungkan dan Doakan

Kapan seseorang pernah mengecewakan Anda? Bagaimana Anda menemukan penghiburan di dalam kasih Bapa Surgawi?


Bapa Surgawi, terima kasih untuk besarnya kasih yang Engkau curahkan padaku. Aku percaya pada janji-Mu, yang berkata bahwa Engkau tidak akan meninggalkanku.


Sumber: Our Daily Bread