Rabu, 30 Juni 2021

Menaati Panggilan Allah

Bacaan Alkitab hari ini:
Kisah Para Rasul 16:13-40

Rasul Paulus menaati panggilan Allah untuk pergi ke Makedonia (16:9-10). Kota pertama di Makedonia yang ia kunjungi adalah Filipi. Seperti biasa, Rasul Paulus dan tim pelayanannya mengawali pelayanan dengan mencari orang Yahudi. Akhirnya, mereka menemukan tempat sembahyang orang Yahudi di tepi sungai di luar pintu gerbang kota. Di sana, mereka bertemu dan berbicara dengan beberapa wanita, dan seorang wanita penjual kain ungu dari Tiatira bernama Lidia membuka hatinya dan percaya kepada Tuhan, lalu minta dibaptis bersama dengan seluruh keluarganya. Selanjutnya, tindakan Rasul Paulus mengusir roh tenung dari seorang hamba perempuan membuat para majikan perempuan itu marah, lalu menangkap Rasul Paulus dan Silas, kemudian menghasut para pembesar untuk memenjarakan mereka. Akan tetapi, pemenjaraan itu justru menghasilkan pertobatan kepala penjara.

Pelayanan Rasul Paulus di kota Filipi menghasilkan beberapa kesimpulan: Pertama, ketaatan terhadap penggilan Allah tidak membuat segala sesuatu menjadi lancar dan aman, tetapi ketaatan membuat rencana Allah terwujud melalui diri kita. Bagi Rasul Paulus, ketaatan membuat Beliau ditangkap dan dipenjarakan. Sudahkah Anda menaati panggilan Allah terhadap diri Anda?

Kedua, walaupun Rasul Paulus memulai pelayanan dengan mencari orang Yahudi, tidak ada catatan tentang respons orang Yahudi di situ. Yang responsnya paling menonjol adalah Lidia, seorang wanita bukan Yahudi yang berasal dari Tiatira. Respons terhadap pelayanan kita tidak selalu bisa kita duga!

Ketiga, pelayanan Rasul Paulus dan tim yang sangat singkat di Filipi tidak berarti bahwa pelayanan mereka gagal. Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi memperlihatkan bahwa jemaat ini terus bertumbuh. Tak ada celaan terhadap jemaat yang hanya dilayani dalam jangka waktu sangat singkat oleh Rasul Paulus ini!

Keempat, dipenjarakan tidak membuat respons Rasul Paulus menjadi negatif. Sikap Rasul Paulus dan Silas yang memuji Allah dalam penjara dan mencegah para tahanan melarikan diri dari penjara merupakan kesaksian hidup yang luar biasa bagi para tahanan lain, sekaligus membuat kepala penjara mengurungkan niat bunuh diri, bahkan menjadi percaya kepada Tuhan Yesus, lalu memberi diri untuk dibaptis bersama seluruh keluarganya. Apakah Anda berespons secara positif saat menghadapi tantangan? [GI Purnama]

Sumber: Renungan GKY

Selasa, 29 Juni 2021

Ora et Labora

Lalu kata raja kepadaku: "Jadi, apa yang kauinginkan?" Maka aku berdoa kepada Allah semesta langit. (Nehemia 2:4)

Bacaan: NEHEMIA 2:1-10

Ketika Nehemia mendengar kondisi bangsanya yang berada dalam kesukaran, ia sangat berduka (Neh 1:4). Ia menggumulkannya dengan sungguh-sungguh di dalam doa, selama sekitar empat bulan (Neh 1:1, 2:1). Namun ada hal menarik dalam doa Nehemia. Ia tidak hanya melakukan ritual berdoa. Namun ia mencari kehendak Allah, serta memikirkan rencana yang sangat matang tentang bagaimana ia dapat terlibat dalam perkara itu.

Maka ketika Raja Artahsasta bertanya tentang apa yang ia inginkan, Nehemia dapat memberikan jawaban yang sangat konkret: apa yang akan ia lakukan (ay. 5), berapa lama jangka waktu yang diperlukannya (ay. 6), serta bagaimana ia akan melakukannya (ay. 7-8). Perencanaan yang sangat saksama itu memuaskan sang raja, sehingga ia mengabulkan permintaan Nehemia. Namun di balik itu semua, Nehemia mengakui bahwa itu adalah berkat kemurahan Tuhan (ay. 8). Ia melihatnya sebagai jawaban doanya.

Ini adalah contoh sempurna tentang ora et labora, berdoa dan bekerja. Berdoa tidak menjadi alasan bagi kita untuk lepas tangan. Justru dalam doa itulah kita belajar memahami kehendak Allah, serta menggumuli bagaimana kita dapat menjadi bagian dari jawaban doa itu. Doa bukanlah pengganti perencanaan yang matang, pemikiran yang jernih, dan pengaturan strategi yang cermat. Saat kita berdoa, kita sedang mengizinkan Allah bekerja dalam hidup kita: mengoreksi, menuntun, mengarahkan, dan memampukan kita melakukan kehendak-Nya. --HT/www.renunganharian.net

BERDOA BUKAN BERARTI LEPAS TANGAN DAN TIDAK MELAKUKAN APA-APA, NAMUN MENGARAHKAN KITA MELANGKAH DAN BERKARYA SETURUT KEHENDAK ALLAH.

Sumber: Renungan Harian

Senin, 28 Juni 2021

Menguji Diri Sendiri Lebih Dahulu

Baca: 1 Petrus 2:18-25

"Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung." (1 Petrus 2:19)

Segala sesuatu jika tidak diuji dalam suatu proses tertentu tidak dapat dibuktikan kualitasnya. Contoh: seseorang dapat saja berkata bahwa ia sabar atau rendah hati. Mungkin ia dapat bersikap sabar atau rendah hati selama semua berjalan dengan wajar atau normal-normal saja. Tetapi apabila tiba-tiba ia mendapat serangan berupa umpatan, fitnahan, caci maki atau cemoohan dari orang lain, padahal ia tidak bersalah, apakah ia tetap dapat mempertahankan kesabaran dan kerendahan hatinya? Hal-hal yang tidak menyenangkan atau kritikan-kritikan yang dapat menyinggung harga diri kita itulah alat ukur untuk melihat keberadaan kita yang sesungguhnya, apakah kita sudah dapat berlaku sabar dan bersikap rendah hati sebagaimana kita "mempromosikan" diri kita kepada orang lain.

Bagaimana reaksi kita terhadap sikap kasar atau hujatan yang ditimpakan kepada kita? Dapatkah kita bersikap seperti Kristus, Raja di atas segala raja dan Anak Allah yang Mahatinggi, ketika dicaci maki dan dihina begitu rupa pada waktu penyaliban? "Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil." (ayat 23). Pada umumnya orang yang tersinggung akan segera bertindak seperti Petrus. Ketika mengetahui Yesus hendak ditangkap, Petrus secepat kilat menghunus pedangnya dan menebas telinga hamba Imam Besar (baca Yohanes 18:10). Bukankah seringkali mulut kita juga menghamburkan perkataan-perkataan tajam kepada orang lain seperti mata pedang ketika kita tersinggung?

Perhatikan! "Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa? (Artinya sudah selayaknya kita dipukul, dimaki atau diolok karena kita telah berbuat dosa/salah - red) Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah." (ayat 20). Di sinilah kita dapat menilai karakter atau kepribadian kita yang asli, yang setelah diuji barulah kita mengerti apakah kita lulus atau tidak.

"Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri..." (Galatia 6:4)

Sumber: Renungan Kristen

Minggu, 27 Juni 2021

“KAMU DENGAR SUARAKU?”

Bacaan: Lukas 6:37-42

NATS: Janganlah kamu menghakimi, kamu pun tidak akan dihakimi (Lukas 6:37)

Seorang suami yang sedang menghadapi masalah berkomunikasi dengan istrinya, menyimpulkan bahwa sang istri bukanlah pendengar yang baik. Oleh karenanya ia memutuskan untuk melakukan sebuah tes tanpa diketahui istrinya.

Suatu sore ia duduk jauh dari kamarnya. Sang istri membelakanginya sehingga tak dapat melihatnya. Dengan sangat pelan si suami berkata, “Kamu dengar suaraku?” Tak ada tanggapan.

Ia mendekat sedikit, lalu bertanya lagi, “Kamu dengar suaraku?” Lagi-lagi tak ada jawaban.

Tanpa bersuara ia maju lebih dekat lagi dan membisikkan kata-kata yang sama. Masih saja tak ada jawaban.

Akhirnya ia berdiri tepat dibelakang sang istri, sambil berkata, “Kamu bisa dengar suaraku?”

Betapa terkejut dan sedihnya ia manakala istrinya menanggapinya dengan marah, “Ya, untuk keempat kalinya!”

Ini merupakan peringatan yang baik bagi kita tentang menghakimi.

Sebagian besar dari kita suka mengkritik kesalahan orang lain untuk menutupi bahwa kita sendiri juga sering melakukan kesalahan yang sama. Kita cenderung pintar menemukan kesalahan orang, yang sebenarnya bukan kesalahannya, melainkan kesalahan kita.

Yesus mengenal sifat manusia dengan baik. Itu sebabnya Dia berkata, “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati. Janganlah kamu menghakimi, maka kamu pun tidak akan dihakimi” (Lukas 6:36,37)--RW

JIKA ANDA HENDAK MENGOREKSI KESALAHAN SEGERALAH BERCERMIN

Sumber: Renungan Harian

Sabtu, 26 Juni 2021

"PEMANGSA SESAMA"

Bacaan: Efesus 4:25-32

NATS: Jikalau kamu saling menggigit dan saling menelan, awaslah, supaya jangan kamu saling membinasakan (Galatia 5:15)

Pernahkah Anda mendengar tentang seekor ular yang memakan ular lainnya? Menurut penjaga kebun binatang, kadangkala dua ekor ular memangsa sepotong makanan yang sama. Yang seekor memakan dari satu ujung dan satunya memakan dari ujung yang lain. Akhirnya, mereka pun berhadap-hadapan saat hendak memakan potongan yang terakhir. Yang mengejutkan adalah ular yang bermulut lebih lebar akan terus makan hingga bahkan memakan ular yang satunya tadi!

Orang-orang Kristen juga dikenal suka "saling memangsa." Mungkin suatu kali kita mengatakan sesuatu yang menyinggung sesama orang Kristen. Dan, karena ia tidak mau kalah, perdebatan pun terjadi. Lalu, meski kita tahu bahwa lebih baik kita bersikap diam dan mempercayakan kepada Tuhan apa yang akan terjadi, tetapi sering kali kita tetap nekat.

Memang mudah untuk berkata bahwa kita sudah dewasa dan tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk berlarut-larut. Namun Rasul Paulus mengingatkan kita dalam Galatia 5:15 bahwa perkataan dan emosi kita sering kali lepas kontrol--bahkan di antara orang Kristen sendiri. Ketika ini terjadi, maka ada orang-orang yang tersinggung, persahabatan yang hancur, dan gereja yang terpecah, hingga tubuh Kristus pun menderita.

Kita harus memohon pertolongan Tuhan setiap hari agar dapat bersikap "ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra, dan saling mengampuni" (Efesus 4:32). Hanya dengan bergantung kepada Tuhan, maka kasih Kristus dalam hati kita akan meredam dorongan untuk "memangsa sesama" yang berasal dari lidah yang tajam dan roh kebencian --MRDII

LEBIH BAIK MENYAKITI LIDAH SENDIRI
DARIPADA MENGELUARKAN KATA-KATA YANG MENYAKITKAN

Sumber: Renungan Harian

Jumat, 25 Juni 2021

TERHILANG DI RUMAH SENDIRI

[[“Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu ... telah hilang dan didapat kembali.” ]] (Lukas 15:32)

Ketika membaca Lukas 15:11-32 tentang perumpamaan anak yang hilang, orang langsung menganggap si anak hilang itu pasti si bungsu. Ia telah meminta warisan dari ayahnya, pergi dari rumah, dan menghabiskannya hingga terpuruk di kandang babi.

Namun, jika kita cermati, sesungguhnya anak yang hilang itu adalah si sulung. Ia memang tidak meminta warisan, tidak meninggalkan rumah, tidak menghabiskan harta. Ia justru bekerja keras sesuai dengan perintah bapanya. Namun, ia tetap terhilang. Ia memang berada di rumah namun tidak memiliki relasi yang baik dengan bapanya. Ia iri ketika ayahnya menyembelih seekor anak lembu tambun untuk menyambut kedatangan adiknya. Selama bertahun-tahun ia bekerja keras, tak seekor kambing pun bapanya berikan baginya. Ia lupa bahwa semua milik bapanya adalah miliknya juga.

Mungkin kita memang tidak seperti si bungsu yang meninggalkan Tuhan dan menikmati dosa. Kita bukan pembunuh, perampok, pecandu, pezina, dan sejenisnya. Kita mungkin orang terhormat, dari keluarga baik-baik, sudah dibaptis, setiap minggu tidak pernah absen ke gereja, aktif dalam kegiatan gereja. Namun, benarkah kita tidak termasuk orang yang terhilang?

Jika kita bersikap seperti si sulung—tidak memiliki relasi yang benar dengan Allah dan memandang orang lain dengan sikap menghakimi—sebenarnya kita juga termasuk orang yang terhilang. Sadarilah bahwa kita adalah anak Allah dan belajarlah memandang orang lain dengan “kacamata” Tuhan.
(Ruth Retno Nuswantari)

Sumber: Amsal Hari Ini 

Kamis, 24 Juni 2021

Lebih Besar dari Persoalan Kita

Perhatikanlah Behemot, si binatang raksasa; seperti engkau, dia pun ciptaan-Ku juga. –Ayub 40:15 (BIS)

Ayat Bacaan & Wawasan: Ayub 40:10-19

Seperti apa bayangan Anda tentang dinosaurus yang hidup pada masa lampau? Gigi besar-besar? Kulit bersisik? Buntut panjang? Seniman Karen Carr menggambarkan ulang makhluk-makhluk yang sudah punah itu dalam lukisan-lukisan dinding berukuran besar. Salah satu lukisan Carr memiliki tinggi sekitar enam meter dan panjang delapan belas meter. Karena ukurannya yang luar biasa, dibutuhkan sekelompok tenaga ahli untuk memasang bagian demi bagian di dalam Museum Sejarah Alam Sam Noble di Oklahoma, AS.

Berdiri di hadapan lukisan dinding hewan raksasa itu tentu membuat seseorang merasa sangat kecil. Saya merasakan sensasi yang sama ketika membaca gambaran Allah tentang hewan raksasa yang disebut “Behemot” (Ayb. 40:15 BIS). Makhluk ini makan rumput seperti lembu dan memiliki ekor seukuran pohon aras. Tulang-tulangnya kuat seperti tembaga. Hewan tersebut merumput di bukit-bukit, sambil sesekali beristirahat di kawasan rawa-rawa. Ketika air sungai meluap melanda, Behemot tidak gentar dan tetap tenang.

Tidak ada yang dapat menjinakkan makhluk menakjubkan ini—kecuali Penciptanya (ay.14). Allah mengingatkan Ayub tentang kebenaran ini pada saat hidup Ayub sedang dirundung berbagai masalah. Pandangan Ayub telah dikaburkan oleh perasaan dukacita, kebingungan, dan keputusasaan sehingga ia sendiri mulai mempertanyakan Allah. Namun, respons Allah menolong Ayub untuk melihat dari sudut pandang yang benar. Allah jauh lebih besar daripada segala persoalannya dan berkuasa mengatasi pergumulan yang tidak sanggup diselesaikan Ayub sendiri. Pada akhirnya, Ayub mengakui, “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu” (42:2) - Jennifer Benson Schuldt

Renungkan dan Doakan
Manakah yang lebih besar, persoalan Anda yang paling sulit atau Allah yang menciptakan segala sesuatu? Bagaimana pandangan Anda tentang Allah memengaruhi cara Anda menangani berbagai permasalahan yang dihadapi?

Allah yang terkasih, aku percaya Engkau sanggup menolongku mengatasi berbagai masalah yang kuhadapi hari ini. Tolonglah aku untuk menerima kuasa dan kebaikan-Mu dengan tangan terbuka, saat aku merasa kewalahan menghadapi segala kesulitan hidup ini.

Sumber: Santapan Rohani

Rabu, 23 Juni 2021

Prinsip Dasar Pemberitaan Injil

Bacaan Alkitab hari ini:
Kisah Para Rasul 13:13-49

Ada prinsip-prinsip dasar yang perlu diperhatikan dalam pemberitaan Injil: Pertama, pemberitaan Injil harus dimulai dengan mencari titik temu yang berupa persamaan antara diri kita dengan pendengar kita. Saat tiba di suatu daerah, Rasul Paulus selalu mencari rumah ibadat orang Yahudi—yang disebut Sinagoge—serta mengikuti tata cara yang sudah biasa dilakukan di tempat itu. Di Sinagoge, di samping orang Yahudi, ada pula orang bukan Yahudi yang mengikuti agama Yahudi. Mereka disebut sebagai orang yang takut akan Allah (13:16) Di rumah ibadat, Rasul Paulus mulai bicara setelah diberi kesempatan untuk berbicara (13:15). Dia mencari titik temu dengan membahas keyakinan yang sama antara dirinya dengan pendengarnya (13:15-22). Kedua, pembicaraan harus diarahkan menuju “jembatan” untuk membicarakan tentang Yesus Kristus. Dalam khotbah di kota Antiokhia di Pisidia, Rasul Paulus memulai dengan membahas sejarah Israel secara sangat singkat, yaitu bahwa bangsa Israel dipilih untuk menjadi umat Allah, lalu tinggal sebagai orang asing di Tanah Mesir, kemudian dituntun Allah untuk keluar dari Tanah Mesir melalui padang gurun, kemudian menaklukkan Tanah Kanaan. Jangka waktu 450 tahun (13:20) adalah perkiraan jumlah tahun mulai saat bangsa Israel tinggal di Tanah Mesir sampai penaklukan dan pembagian Tanah Kanaan. Setelah itu, bangsa Israel dipimpin oleh para hakim, lalu memasuki zaman pemerintahan Raja Saul dan Raja Daud. Penyebutan nama “Daud” inilah yang menjadi jembatan untuk membicarakan tentang Tuhan Yesus, yaitu bahwa Yesus Kristus adalah Juruselamat yang merupakan keturunan Raja Daud. Rasul Paulus menjelaskan bahwa Yesus Kristus menggenapi nubuat Perjanjian Lama melalui kematian dan kebangkitan-Nya dari antara orang mati. Kematian dan kebangkitan Kristus itulah yang membuat orang berdosa bisa memperoleh pengampunan dosa.

Jangan heran bila pemberitaan Injil hampir selalu menimbulkan pemisahan, yaitu ada orang yang menutup diri dan tidak mau menerima berita Injil, tetapi ada pula orang yang terbuka untuk menerima berita Injil (13:43-48). Apakah Anda pernah memberitakan Injil? Kesempatan untuk memberitakan Injil hanya akan muncul bila Anda membina hubungan dengan orang lain. Setelah itu, carilah titik temu yang bisa menjadi jembatan untuk berbicara tentang Yesus Kristus! [GI Purnama]

Sumber: Renungan GKY

Selasa, 22 Juni 2021

 Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. — Matius 7:1


Renungan hari ini tentang menghakimi, mengkritik. Apa alasan mengapa kita tidak boleh mengkritik -- apalagi sampai memiliki karakter mengkritik (critical temper). Apa akibatnya bagi orang lain yang terkena kritikan, tetapi juga bagi kita yang mengkritik. Bagaimana Tuhan menolong kita keluar dari roh kritik ini.

Tabiat Tidak Suka Mengkritik

Perintah Yesus sehubungan dengan menghakimi orang lain sederhana sekali; Dia berkata, “Jangan.” Rata-rata orang Kristen adalah pribadi yang suka mengkritik dengan tajam. Mengkritik adalah boleh jadi suatu kegiatan biasa bagi orang-orang, tetapi dalam alam rohani tidak ada hasil yang dicapai dengan kritik atau kecaman. Akibat dari kritikan ialah terbaginya kekuatan dari orang yang dikecam.

Roh Kuduslah satu-satunya Pribadi yang tepat untuk mengkritik, dan Dia sajalah yang sanggup menunjukkan kesalahan tanpa menyakiti dan melukai. Adalah mustahil untuk menjalin persekutuan dengan Allah bila Anda ada dalam suatu tabiat atau suasana hati yang suka mengkritik (critical temper). Kritikan cenderung membuat Anda kasar, kejam dan ingin menyakiti atau membuat orang yang bersangkutan bingung, serta meninggalkan kesan bahwa Anda lebih unggul dari orang lain.

Yesus berkata bahwa sebagai murid-Nya Anda harus mengembangkan tabiat yang tidak suka mengkritik – the uncritical temper. Tabiat seperti ini takkan terjadi dengan segera tetapi harus dikembangkan seiring dengan waktu. Anda harus terus waspada terhadap apa pun yang menyebabkan Anda menyangka bahwa diri Anda lebih hebat dari orang lain.

Tidak ada yang dapat luput dari penyelidikan yang menembus hati yang dilakukan oleh Yesus. Jika saya melihat selumbar kecil di mata Anda, itu berarti saya mempunyai balok di mata saya sendiri (lihat Matius 7:3-5). Setiap kesalahan yang saya lihat pada Anda, Allah menemukannya dalam diri saya. Setiap kali saya menghakimi, saya menyalahkan diri saya sendiri (lihat Roma 2:17-24).

Berhentilah mempunyai tongkat pengukur bagi orang lain. Ada selalu paling sedikit ada satu fakta lagi, yang tidak kita ketahui, dalam situasi setiap orang.

Tindakan pertama yang dilakukan Allah ialah membawa kita pada suatu pembersihan spiritual yang menyeluruh. Setelah itu, tidak ada kemungkinan kesombongan yang tersisa dalam diri kita.

Sumber: Renungan Oswald Chambers

Senin, 21 Juni 2021

Kursi Yesus

Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku. –Yohanes 8:31

Ayat Bacaan & Wawasan: Yohanes 8:27-32

Ketika teman saya Marge bertemu dengan Tami dalam suatu kegiatan pendalaman Alkitab, ia merasa mereka berdua tidak punya banyak kesamaan. Meski demikian, Marge tetap berteman dengannya dan memperoleh pelajaran berharga dari teman barunya tersebut.

Tami sama sekali belum pernah mengikuti pendalaman Alkitab, sehingga ia merasa asing dan sulit memahami apa yang dibicarakan oleh rekan-rekannya tentang Allah yang berfirman kepada manusia.

Namun, karena begitu rindu mendengar Allah berfirman, Tami memutuskan untuk melakukan sesuatu. Di kemudian hari, ia memberi tahu Marge, “Setiap kali mempelajari Alkitab, aku menyediakan satu kursi kayu yang kosong di sisiku dan meminta Tuhan Yesus untuk duduk di sana.” Ia lalu menjelaskan bahwa setiap kali membaca ayat yang menyentuh hatinya, ia pun menuliskan ayat tersebut dengan kapur pada kursi itu. Kursi itu menjadi “kursi Yesus” yang istimewa, penuh dengan pesan-pesan Allah yang diterimanya langsung dari Alkitab.

Marge berkata, “Kursi Yesus itu telah mengubah hidup Tami. Imannya bertumbuh pesat karena isi Kitab Suci dihayatinya secara pribadi.”

Saat berbicara kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya, Yesus berkata, “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh. 8:31-32). Marilah kita berpegang pada pengajaran-Nya, entah dengan menuliskan firman-Nya pada sebuah kursi, menghafalnya, atau terus berusaha menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kebenaran dan hikmat dari firman Kristus akan menolong kita bertumbuh di dalam Dia dan memerdekakan kita (Dave Branon).

Renungkan dan Doakan
Hal-hal praktis apa yang dapat Anda lakukan untuk menyerap hikmat yang Anda temukan dalam Alkitab? Bagaimana Roh Kudus telah menolong Anda memahami isi Kitab Suci?

Tolonglah aku, ya Allah, agar semakin bersekutu dengan-Mu lewat hikmat Kitab Suci. Mampukanlah juga aku menerapkan apa yang kupelajari, agar aku terus bertumbuh semakin menyerupai Yesus.

Sumber: Santapan Rohani

Minggu, 20 Juni 2021

TUHAN, TIDAKKAH ENGKAU PEDULI?

Bacaan: Markus 4:35-41

NATS: Ia pun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: "Diam! Tenanglah!" (Markus 4:39)

Dua dari pertanyaan paling keras yang terdapat dalam Perjanjian Baru diajukan kepada Yesus oleh orang-orang yang sangat mengasihi Dia. Ketika badai yang dahsyat mengancam hendak menenggelamkan perahu murid-murid di Laut Galilea, mereka bertanya, "Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?" (Markus 4:38). Pada peristiwa yang lain, saat Maria dengan santai mendengarkan Yesus, Marta yang sedang sibuk melayani datang dari dapur dan berkata, "Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri?" (Lukas 10:40).

Kedua pertanyaan tersebut dilontarkan oleh orang-orang yang telah melihat kuasa Yesus sehingga mereka berharap agar Dia bertindak dan melegakan kecemasan mereka. Bila seolah Tuhan mengabaikan situasi yang mereka alami, kejengkelan mereka pun meningkat sehingga mereka berkata: "Tidakkah Engkau peduli?"

Kitab Suci tidak memberitahu kita tentang bagaimana nada suara Yesus, tetapi saya menduga bahwa jawaban yang diberikan-Nya lembut dan penuh perhatian. "Mengapa kamu begitu takut?" (Markus 4:40). "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara" (Lukas 10:41).

Saat kita merasa sendiri atau dalam keadaan yang sulit, seringkali kita berseru, "Tuhan, tidakkah Engkau peduli?" Namun, pada saat Yesus meredakan badai hidup kita dan menyebut nama kita, kita akan menyadari bahwa kita masih harus belajar banyak tentang kasih-Nya kepada kita, sehingga kita pun rindu untuk mempercayai Dia dengan segenap perhatian kita --DCM

I love to dwell upon the thought
That Jesus cares for me;
It matters not what life may bring --
He loves me tenderly. --Adams

YESUS MEMPEDULIKANMU!

Sumber: Renungan Harian

Sabtu, 19 Juni 2021

ALASAN TERBAIK

Bacaan: Markus 5:1-20

NATS: Pulanglah ke rumahmu, kepada orang-orang sekampungmu, dan beritahukanlah kepada mereka segala sesuatu yang telah diperbuat oleh Tuhan atasmu (Markus 5:19)

Tatkala bercakap-cakap dengan seorang skeptis [orang yang kurang percaya] tentang standar moral dalam Alkitab, saya merasa bahwa ia tetap tidak dapat diyakinkan. Lalu saya bertanya kepadanya, apakah ia pernah mengenal orang yang kejam dan serakah yang berubah menjadi baik dan tidak egois manakala mereka menjadi orang percaya dalam Kristus. Sikapnya berubah seketika saat ia mengakui bahwa ia mengenal orang-orang yang seperti itu. Saya merasa bahwa orang-orang itu berdampak besar terhadap dirinya, sehingga ia tak mendebat lagi.

Bertahun-tahun yang lalu, seorang kepala misi penyelamatan di London menyambut tantangan debat dari seorang skeptis yang terkenal. Tetapi dengan satu syarat: ia akan membawa 100 orang yang akan menceritakan bagaimana hidup mereka diubahkan setelah mempercayai Yesus. Ia mengundang lawannya untuk berhadapan dengan saksi-saksi yang dibawanya sampai orang itu puas. Pada hari yang telah ditentukan, orang percaya tersebut datang dengan 100 orang yang siap bersaksi, tetapi orang skeptis tersebut tak pernah muncul.

Walaupun kita harus siap untuk memberi jawaban yang masuk akal kepada orang yang bertanya mengenai pengharapan yang kita miliki dalam Kristus (1Petrus 3:15), namun karakter dan perilaku yang serupa dengan Kristus tetap merupakan alasan yang terkuat bagi iman kita. Dalam Markus 5, Yesus memerintahkan orang yang sembuh dari kerasukan setan untuk pulang ke rumah, agar teman-temannya melihat apa yang telah diperbuat Yesus baginya (ayat 19).

Adakah Anda juga senang menceritakan kepada orang lain apa yang telah diperbuat Kristus bagi Anda? --HVL

BILA ANDA MENGENAL KRISTUS
ANDA AKAN RINDU AGAR ORANG LAIN JUGA MENGENAL-NYA

Sumber: Renungan Harian

Jumat, 18 Juni 2021

KRISTUS--SEGALANYA BAGI KITA

Bacaan: 1Korintus 1:26-31

NATS: Kamu berada dalam Kristus Yesus, yang oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita ... dan menguduskan dan menebus kita (1Korintus 1:30)

Thomas Shepard (1605-1649) dibesarkan dalam sebuah keluarga Puritan yang taat. Namun sejak belajar di Universitas Cambridge, ia jatuh dalam kehidupan dosa. Pada suatu Minggu pagi, tatkala tersadar dari kemabukannya, ia merasa begitu sedih dan rasa bersalah menderanya hingga ia sadar bahwa ia telah meninggalkan gaya hidupnya yang dulu.

Selama 9 bulan kemudian, rasa takut akan murka Allah hampir membuatnya "membenturkan kepala ke tembok ... dan bunuh diri." Namun suatu ketika ia mendengarkan sebuah khotbah yang terambil dari 1Korintus 1:30, yang menyadarkannya bahwa Kristus adalah segalanya yang ia butuhkan--karena Yesus telah menjalani kehidupan sempurna yang tak dapat ia jalani, menebus dosa-dosanya di atas kayu salib, bahkan sekarang menjadi Pembela baginya di surga.

Saat mengomentari Yohanes 1:12, "Semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah," Shepard menulis, "Tuhan memberi saya hati untuk menerima Kristus dengan cuma-cuma, ... dan Tuhan pun memberi saya kedamaian."

Jika Anda menginginkan kedamaian seperti itu, yang hanya mampu diberikan oleh Allah, mintalah agar Anda diberi kesadaran yang mendalam akan dosa-dosa Anda. Kemudian renungkanlah anugerah dari Allah yang menjadikan Yesus segalanya bagi Anda. Akhirnya, perbarui komitmen yang sudah Anda buat kepada Tuhan, atau bila ini adalah kali pertama Anda mengenal-Nya, terimalah Yesus sebagai Juruselamat pribadi Anda --HVL

YESUS MATI MENGGANTIKAN KITA UNTUK MEMBERI KITA DAMAI-NYA

Sumber: Renungan Harian

Kamis, 17 Juni 2021

MEMBALAS KEJAHATAN DENGAN KEBAIKAN

Bacaan: Matius 5:43-48

NATS: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu (Matius 5:44)

Seorang prajurit keheranan ketika mendengar Jenderal Robert E. Lee mengucapkan kata-kata bernada pujian tentang seseorang. "Jenderal," kata prajurit itu, "Tidak sadarkah Anda bahwa orang yang Anda sanjung itu adalah salah satu musuh terbesar Anda, yang selalu berusaha memfitnah Anda?"

"Benar," sahut sang jenderal, "tetapi tadi yang ditanyakan adalah pendapat saya tentangnya, bukan pendapatnya tentang saya."

Kebaikan hati Lee adalah ilustrasi yang baik tentang membalas kejahatan dengan kebaikan. Kini saya menyadari bahwa hal itu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, bahkan kadang-kadang seakan mustahil dilakukan. Karena itulah kita perlu mendengarkan apa yang Yesus katakan tentang berdoa bagi musuh (Matius 5:44). Jika kita mau menaati sang Juruselamat untuk berdoa kepada Bapa surgawi bagi mereka yang menganiaya kita, maka akan jauh lebih mudah bagi kita untuk mengasihi, bahkan memuji mereka. Jika kemudian kita berbuat sewenang-wenang kepada seseorang yang baru saja kita doakan, berarti sikap kita itu benar-benar tidak konsisten dan bahkan tidak masuk akal.

Abraham Lincoln pernah berkata, "Cara terbaik untuk menghancurkan seorang musuh adalah dengan menjadikannya seorang sahabat." Karena itu, dengan pertolongan Allah, kasihilah musuh-musuh Anda, doakanlah mereka, dan berbuat baiklah kepada mereka. Seperti halnya Tuhan kita, bersiaplah senantiasa untuk membalas kejahatan dengan kebaikan--sekalipun kepada musuh-musuh kita -RWD

MEMBALAS KEBAIKAN DENGAN KEBAIKAN ADALAH TINDAKAN TERPUJI, MEMBALAS KEJAHATAN DENGAN KEBAIKAN BERARTI SERUPA DENGAN KRISTUS

Sumber: Renungan Harian

Rabu, 16 Juni 2021

Hidup Hanya Untuk Menyembah Satu Pribadi

Galatia 1: 10 Jadi bagaimana sekarang: adakah kucari kesukaan manusia atau kesukaan Allah? Adakah kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus.

Dalam hidup ini, kamu hanya perlu menyenangkan satu pribadi saja: Sang Pencipta. Kamu hanya perlu menyenangkan Tuhan, yang menciptakanmu dan yang merancang tujuan hidupmu.

Hal ini akan sangat menyederhanakan hidup kita!

Yesus berkata, “Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang Aku dengar, dan penghakiman-Ku adil, sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku.” (Yohanes 5: 30)

Dia menyampaikan bahwa pada dasarnya, “Aku hidup untuk satu penonton.”

Tahukah kamu bahwa menyenangkan orang lain adalah bentuk penyembahan berhala? Perintah pertama dalam Sepuluh Perintah berkata, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.” (Keluaran 20: 3)

Apapun yang kamu taruh lebih berharga dari Tuhan jadi dewa dalam hidupmu. Jadi pasangan bisa jadi dewa. Karir bisa jadi dewa. Pacar bisa jadi dewa. Hobi olahragamu bisa jadi dewa. Apapun yang menjadi fokus utamamu dalam hidup akan menjadi penyembahan berhala.

Perintah kedua adalah, “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.” (Keluaran 20: 4)

Apapun yang menggantikan Tuhan dalam hidupmu adalah berhala. Kesuksesan bisa jadi idola. Uang bisa jadi idola. Seks bisa jadi idola. Hubungan bisa jadi idola. Kalau hubungan dengan pasangan, bos dan temanmu lebih penting daripada Tuhan, itu adalah idola.

Ada banyak orang membiarkan pendapat orang lain masuk ke dalam hidup mereka. Maka pendapat-pendapat itu juga bisa menggantikan tuhan. Karena kamu menaruhnya sebagai hal yang lebih penting daripada pendapat Tuhan.

Kamu gak memberi tahu orang-orang kalau kamu adalah seorang Kristen karena mereka mungkin kurang memikirkanmu. Kamu gak mau mereka tahu kalau kamu pergi ke gereja karena mereka mungkin gak menyukaimu. Saat itulah kamu memilih menggantikan tuhan lain dalam hidupmu. Kamu membuat idola lain untuk menyenangkan hati orang lain.

Di Galatia 1: 10, Paulus berkata, “Jadi bagaimana sekarang: adakah kucari kesukaan manusia atau kesukaan Allah? Adakah kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus.”

Semua orang senang diterima oleh orang lain. Karena itulah normal bagi manusia untuk cenderung ingin menyenangkan orang lain, supaya dia bisa diterima dan disukai. Tapi jangan lakukan hal itu jika mengorbankan posisi Tuhan. Sebagai ciptaan-Nya, kita hanya perlu menyenangkan satu pribadi. Kita hanya perlu menyenangkan Tuhan.

Sumber: Rick Warren, disadur dari Crosswalk.com

Selasa, 15 Juni 2021

Bukan Penampilan Luar, Inilah yang Menentukan Nilai Seseorang

1 Samuel 16: 7 Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.

Pertama kali aku bertemu suamiku, aku tertarik dengan mata hitamnya. Aku langsung berpikir kalau dia benar-benar imut, tapi aku berani taruhan kalau dia orang yang bermasalah. Ya, lebih baik aku menjauh dari dia.

Aku membayangkan Tuhan tertawa menyaksikan interaksi pertama kami. Dia tahu apa tujuan Tuhan atas Bryan untuk masa depanku, yang aku tidak tahu sebelumnya.

Belakangan, aku baru tahu alasan sebenarnya di balik penampilannya yang tidak meyakinkan. Dia adalah seorang atlet kampus dan mata hitam itu muncul karena dia latihan dengan begitu ekstra.

Setelah menceritakan penilaian pertamaku kepada Bryan, momen itu malah jadi lelucon yang selalu kami tertawakan bersama.

Tapi ada pemikiran yang selalu terbersit dibenakku sampai hari ini, Bagaimana jika aku membiarkan asumsi yang tidak akurat itu membuatku menjauhi Bryan saat itu? Pastinya aku tidak akan punya sebuah keluarga seperti sekarang ini dengan dua anak yang dikaruniakan Tuhan.

Aku berharap bisa berbagi denganmu kalau aku belajar tentang bagaimana kita seharusnya menilai seseorang. Kadang bahkan sampai saat ini, aku masih suka menilai orang lain hanya dari penampilannya saja dan aku terus berjuang untuk hal itu. Apakah kamu juga berjuang untuk hal yang sama? Mungkin kamu juga tergoda untuk berasumsi tentang seseorang hanya berdasarkan jenis kelamin, rasa, usia dan penampilannya.

Sangat mudah untuk berasumsi kalau kita tidak akan punya kesamaan dengan mereka yang berbeda dari kita. Jadi kita tidak berusaha untuk terhubung sama sekali. Tapi hubungan indah seperti apa yang Tuhan coba berikan kepada kita kalau seandainya membuka hati dan pikiran kita lebih dari apa yang kita pikirkan?

Salah satu ayat Alkitab favoritku yang bicara tentang hal ini tertulis dalam 1 Samuel 16. Tuhan memerintahkan Samuel mengunjungi Isai untuk mengurapi salah satu putranya sebagai raja. Saat Samuel sampai, dia melihat Eliab dan berpikir, “Sungguh, di hadapan TUHAN sekarang berdiri yang diurapi-Nya.”

Tapi Tuhan berkata kepada Samuel, “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” (1 Samuel 16: 7)

Lalu Isai memanggil Abinadab dan menyuruhnya lewat di depan Samuel. Tapi Samuel berkata, “Orang inipun tidak dipilih TUHAN.” Lalu dia menyuruh Isai, “Inikah anakmu semuanya?” Jawabnya, “Masih tinggal yang bungsu, tetapi sedang menggembalakan kambing domba.” Samuel pun memanggilnya dan waktu Daud datang, Tuhan berkata, “Bangkitlah, urapilah dia, sebab inilah dia.”

Awalnya Samuel membuat asumsi yang salah dan bahkan ayah Daud sendiri juga melakukan hal serupa. Banyak orang yang juga membuat asumsi yang salah tentang Yesus sebagai Raja. Mereka mengira Dia akan datang ke dunia dengan penuh kemegahan. Tapi nyatanya, Dia datang sebagai bayi yang rendah hati di dalam palungan.

Sepanjang jalan menuju salib, orang terus membuat asumsi yang salah tentang Anak Manusia ini yaitu Juruslamat Dunia.

Jangan sampai kita melakukan kesalahan yang sama. Kita tidak mau dinilai atau diukur berdasarkan penampilan kita sendiri bukan? Nah, jika kita tidak ingin dinilai demikian marilah kita juga tidak memandang orang lain hanya dari penampilannya saja.

Sebaliknya, mari memandang setiap orang sebagai ciptaan Tuhan yang segambar dengan Allah. Setiap orang diciptakan oleh-Nya dengan penuh kedahsyatan dan mujizat. Jadi mari mulai mengubah cara pandang kita dengan penilaian yang berbeda karena setiap orang punya nilai dan layak dikasihi dengan kadar yang sama.

Jangan biarkan fokus kita hanya tertuju pada penampilan luar saja karena hal itu hanya akan membuat kita kehilangan tuntunan Tuhan. Biarkan Tuhan yang menunjukkan kepadamu tentang nilai seseorang dari sisi terdalamnya.

Sumber: Hak cipta Rachael Adams, disadur dari Crosswalk.com

Senin, 14 Juni 2021

KESAN YANG MENIPU

Bacaan: Yakobus 2:1-13

NATS: Allah tidak memandang muka (Galatia 2:6)

Ia tidak memakai kemeja rapi, dan mobilnya seperti barang rongsokan. Namun demikian, laki-laki kumuh yang berhenti untuk menolong mereka di jalan raya Chicago itu, menurut teman saya, berhati malaikat.

Ketika melintasi jalan raya yang padat di Chicago, ban mobil Ken dan Sue meletus. Sebab itu mereka menepikan mobil mereka ke pinggir jalan, sementara mobil-mobil lainnya melaju kencang. Lalu mereka berdoa memohon bantuan. Pada saat itulah laki-laki yang mengendarai mobil berkarat itu melambaikan tangan dan berseru menawarkan bantuan.

Sebagian besar dari kita biasanya enggan mempercayai orang yang tidak kita kenal, maka wajarlah bila teman saya tersebut bersikap waspada terhadap laki-laki kurus kering itu. Namun akhirnya mereka tahu bahwa laki-laki itu adalah seorang montir yang juga mengalami hal yang sama beberapa hari sebelumnya. Pria itu segera mengambil alat-alatnya, memperbaiki ban mobil mereka, kemudian mempersilakan mereka untuk kembali melanjutkan perjalanan.

Terlalu sering kita menilai orang dari penampilannya, pakaiannya, atau jenis mobil yang mereka kendarai. Memang kita harus berhati-hati dalam mempercayai seseorang, tetapi itu bukan berarti kita harus menolak setiap orang yang tidak berpakaian rapi seperti pembawa berita di televisi.

Setiap orang memiliki ukuran tubuh, warna kulit, dan kondisi yang berbeda-beda. Sebelum menolak mereka yang sepertinya tidak sesuai dengan standar kita, kita harus ingat bahwa Pencipta kita tidak pilih kasih (Galatia 2:6). Kita pun seharusnya demikian --JDB

PANDANGLAH ORANG LAIN DENGAN CARA PANDANG KRISTUS

Sumber: Renungan Harian

Minggu, 13 Juni 2021

Setiap Kata-kata yang Terucap Adalah Cerminan Kondisi Hati

Amsal 27:19 Seperti air mencerminkan wajah, demikianlah hati manusia mencerminkan manusia itu.

Sebagai orang percaya, apakah kita sudah mengecek kondisi hati kita?

Faktanya, kondisi hati kita menentukan sikap dan perbuatan kita. Setiap kata-kata yang kita ucapkan ke orang lain akan mencerminkan kondisi hati kita. Kalau kita orangnya sedang terluka, maka kata-kata kita juga cenderung akan melukai orang lain.

Pesan inilah yang akan disampaikan oleh firman Tuhan. Katanya, “Seperti air mencerminkan wajah, demikianlah hati seseorang mencermikan pribadi orang tersebut.”

Lewat firman ini, mari kembali memeriksa kondisi kondisi hati kita. Apakah ada rasa sakit, luka, dendam dan kepahitan yang masih belum sembuh? Apakah kamu belum menemukan cara untuk menyelesaikannya dan mulai berdamai dengan dirimu sendiri dan juga orang yang melukaimu?

Mari belajar untuk terbuka khususnya kepada Tuhan. Ambil momen untuk mengakuinya kepada Tuhan dan minta Dia untuk memulihkan hatimu yang terluka. Atau kamu juga bisa mendapat bantuan dari seorang pemimpin rohani atau mentor di gereja maupun komunitas Kristen di sekitarmu ataupun secara online.

Jika kita menyembunyikan pelanggaran kita, kita tidak akan berhasil. Kita hanya akan jadi pribadi yang selalu pahit dan gagal baik dalam menjalin hubungan dengan orang lain maupun Tuhan. Raja Salomo berkata, “Berbahagialah orang yang senantiasa takut akan TUHAN, tetapi orang yang mengeraskan hatinya akan jatuh ke dalam malapetaka.” (Amsal 28:13-14).

Waktu kita mengakui dosa kita kepada sesama dengan rendah hati, kita akan mendapat dukungan dan bimbingan untuk pulih. Karena itulah penting bagi orang percaya untuk mau terbuka. Belajarlah menjadi pribadi yang transparan, tidak berpura-pura dan tidak menutupi luka dan kepahitan dari orang lain. Karena pada akhirnya hal itu akan tercermin dari sikap, tindakan dan perkataanmu.

Jika kamu ingin jadi berkat bagi orang lain, mulailah membenahi hatimu. Apa hal yang menguasai hatimu: luka atau sukacita?

Hari ini izinkan Roh Kudus bekerja melembutkan hatimu dan menghancurkan setiap kekerasannya. Sehingga Roh Tuhan membuat hidupmu penuh dengan sukacita.

Sumber: Abbalove Ministry

Sabtu, 12 Juni 2021

Memutuskan Rantai Ketakutan dalam Hidup

Keluaran 14: 13 “Janganlah takut, berdirilah tetap dan lihatlah keselamatan dari TUHAN, yang akan diberikan-Nya hari ini kepadamu”

Ketakutan adalah suatu hal yang pernah dialami oleh semua orang. Mungkin banyak orang memakai kaos atau topi yang bertuliskan “NO FEAR” (red: tidak takut), namun kenyataannya adalah kira semua berjuang dengan rasa takut.

Bagi banyak orang, rasa takut menjadi kekuatan yang melumpuhkan mereka sehingga tidak dapat menyadari potensi yang dimiliki. Hal ini membuat mereka menjadi tidak seperti yang Tuhan inginkan dan membuat mereka melangkah keluar dari janji-janji Tuhan yang telah menanti mereka.

Apakah kamu adalah salah satunya? Mungkinkah ketakutan menguasai dirimu? Seperti takut akan masa depan, takut gagal, dan takut akan hal lainnya. Inilah saatnya untuk memutuskan semua rantai ketakutan dalam hidupmu!

Kehendak Tuhan adalah agar manusia menjalani kehidupan dengan kemenangan atas ketakutan. Alkitab mengatakan, Tuhan tidak memberi kita roh ketakutan, melainkan kekuatan, kasih, dan ketertiban (2 Tim. 1: 7). Apa yang bisa kita lakukan untuk mengalahkan rasa takut? Keluaran 14 tentang Israel, Firaun, dan Laut Merah;

1. Tuhan punya rencana. Israel diliputi oleh ketakutan dan kekhawatiran ketika Firaun dan pasukannya yang haus akan darah berada di belakang merah, dan Laut Merah di depan mereka. Tidak ada tempat untuk pergi. Namun, Tuhan telah memimpin mereka ke tempat berada saat itu. Tidak, Tuhan membawa mereka ke sana bukan untuk dibantai, namun untuk membawa keajaiban dan pembebasan besar yang akan dibicarakan selama ribuan tahun. Ketika Anda merasa ketakutan, ingatlah bahwa Tuhan tahu apa yang Dia lakukan. Kita tidak bisa mengetahui apa yang Tuhan rencanakan untuk kita, oleh karena itu percayalah kepada-Nya!

2. Tetaplah menatap Tuhan. Tuhan memimpin Israel baik siang dan malam. Dia bersama dengan mereka selama 24 jam dalam 7 hari. Israel memiliki pilihan ketika mereka melihat tentara Firaun, atau mereka bisa memilih untuk fokus pada Tuhan. Ingat! Fokus pada masalah selalu mendatangkan ketakutan, namun fokus pada Tuhan selalu menghasilkan iman. Apa yang menjadi fokusmu hari ini?

3. Ambil langkah iman. Tuhan menyuruh orang-orang Israel untuk menuju lautan (Kel. 14: 15). Dia menyuruh Musa untuk merentangkan tongkatnya di atas laut.

Saat mereka melakukan bagian mereka (patuh perintah Tuhan), Tuhan melakukan bagian-Nya (mujizat besar). Orang Israel yang ketakutan begitu yakin bahwa mereka akan mati di tangan Firaun. Namun Tuhan memiliki rencana lain. Dia membawa pembebasan tersebar dari Perjanjian Lama di tengah-tengah keadaan terburuk. Dan Dia melakukannya sebagai tanggapan atas langkah iman sederhana umat-Nya, “Majulah, dan ulurkan tongkatmu.”

Bagaimana denganmu?

Kesulitan apa yang membuatmu takut? Apakah kamu berada di antara batu dan tempat yang sulit dengan keuanganmu, atau mungkin pernikahanmu, atau karir, kesehatan, keluarga, atau mungkin masa depanmu?

Tuhan melakukan pekerjaan terbaikNya dalam keadaan terburuk sekalipun. Tetaplah pandang Dia. Ketahuilah bahwa dia lebih dari mampu untuk mengatasi situasi yang Anda hadapi. Percayalah kepadaNya dan patuhi perintahNya sekalipun terdengar “gila”.

Yakinlah bahwa Tuhan menghormati mereka yang cukup percaya kepada-Nya untuk melangkah dengan iman. Dia setia dan penuh kuasa, Dia memiliki mukjizat untuk Anda karena Anda mempercayai-Nya dan melakukannya dengan cara-Nya.

Hanya Tuhan yang mampu mematahkan segala ketakutan yang Anda alami.

Hak cipta oleh Pastor Jeff Schreve, disadurkan dari crosswalk.com.

Jumat, 11 Juni 2021

Pesan Kasih Tuhan Lewat Sebuah Cangkir Kopi

1 Korintus 13: 4-7 Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.

Aku gak senang sama suamiku. Di malam sebelumnya, waktu aku mulai berbicara tentang keinginan untuk mengirimkan surat-surat asuransi melalui pos, dia sama sekali tidak merespon.

Aku terus mendorongnya dan waktu dia akhirnya menjawab, jawabannya tampak meremehkan. Aku merasa tersinggung. Sisa malam itu, aku menyibukkan diri dengan membersihkan dapur dan menghindar untuk menghabiskan waktu bersamanya.

Saat pagi datang, masalah pun baru muncul dalam pekerjaannya. Suamiku perlu menyelesaikannya dan aku tahu dia mau membicarakannya denganku. Tapi aku masih merasa jengkel. Aku menyesap kopi dan melihat cangkir cinta bertuliskan 1 Korintus 13 di tanganku. Mataku langsung tertuju pada frase yang tertulis di sampingnya yang berbunyi, “Kasih menanggung segala sesuatu.”

Aku tidak merasa begitu mengasihi.

Tapi aku tahu apa yang Tuhan sampaikan dalam Alkitab dan bahwa Tuhan gak bertanya kepadaku bagaimana perasaanku. Tuhan hanya memintaku untuk mengasihi. Dan cangkir kopiku menyampaikan bahwa kasih itu ‘bertahan’. Dengan kata lain, kita harus tetap mengasihi walaupun keadaannya sulit bahkan waktu kita sedang tidak mau mengasihi. Jadi aku mendengarkan suamiku dan menjawab dengan sopan.

Setelah kami menghabiskan beberapa waktu lamanya untuk membicarakan situasi pekerjaannya, aku menatap suamiku dan menghela napas. “Aku masih belum bisa senang denganmu.”

“Maaf,” katanya.

“Aku merasa tidak enak badan tadi malam dan dipenuhi dengan banyak pikiran. Aku pikir kamu memikirkan formulir asuransi kesehatan yang baru saja aku terima kemarin. Aku tidak tahu kalau kamu lagi bicara tentang asuransi perjalanan kita,” lanjutnya.

Sesaat mendengar penjelasannya, aku tiba-tiba menyadari bahwa kami mengalami kesalahpahaman.

Tapi, untungnya, Tuhan merobek potensi kehancuran dengan pengingat yang lembut. Kesalahpahaman kami bisa saja berlangsung lebih lama tanpa penyelesaian. Tapi cangkir kopiku mengingatkan apa arti cinta itu.

Aku mengambil Alkitabku dan membaca 1 Korintus 13 lagi, memikirkan tentang mengasihi suamiku dengan caranya Tuhan, bahkan saat aku merasa tersinggung.

Dengan mengikuti perintah Tuhan dalam 1 Korintus 13 tentang bagaimana harusnya kita mengasihi, bahkan saat konflik muncul, kita bisa mengatasi kebingungan yang sering mengancam untuk memisahkan pasangan dalam konfrontasi dan pertengkaran. Waktu kita bersabar, kita menunggu untuk mendengar apa yang disampaikan orang lain tanpa menghakimi. Dengan bersikap baik dan lembut dengan kata-kata kita.

Kita menunjukkan bahwa kita peduli dan memberi orang lain keyakinan bahwa mereka didengarkan. Dengan bersukacita dalam kebenaran, kami bekerja sama sebagai tim untuk menemukan jawaban terbaik daripada hanya bersikeras dengan cara kami sendiri.

Bagian ayat ini juga memberitahu kita apa yang harus dihindari. Kalau kita sombong, angkuh atau egois saat mulai berselisih, kita akan menjauh daripada menemukan penyelesaian. Waktu kita marah atau mulai mengungkapkan kesalahan masa lalu, kita mengotori udara, membuat ketegangan semakin besar dan membuat kesalahpahaman semakin berbahaya.

Tapi dengan melindungi hati satu sama lain, kami berharap menemukan solusi, mempercayai motif satu sama lain dan bertekun sampai kita mencapai pemahaman, kasih bisa memerintah dan rasa sakit bisa disembuhkan.

Tuhan bisa mengarahkan kita melalui banyak perselisihan di rumah waktu kita mengikuti perintah yang Dia berikan kepada kita di dalam firman-Nya. Dan terkadang mungkin membantu untuk memulai hari dengan jenis cangkir kopi yang tepat.

Sumber: Hak cipta Linda W Rooks, disadur dari Crosswalk.com

Kamis, 10 Juni 2021

Pemberi Rahasia

Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka. –Matius 6:1

Ayat Bacaan & Wawasan: Matius 6:1-4

Bagi Christopher, seorang veteran penyandang disabilitas, melakukan kegiatan sehari-hari terasa semakin sulit, mengambil waktu lebih lama untuk diselesaikan, dan membuatnya semakin kesakitan. Meski demikian, ia berusaha sebaik mungkin melayani istri dan anaknya. Setiap minggu ia masih memotong rumput dengan mesin pemotong manual.

Suatu hari, Christopher menerima kiriman sepucuk surat—dan sebuah mesin pemotong rumput mahal yang bisa dikendarai—dari seorang penyumbang yang tidak diketahui identitasnya. Seorang pemberi rahasia biasanya merasakan kepuasan ketika ia mendapat kehormatan menolong seseorang yang membutuhkan.

Tuhan Yesus tidak pernah mengatakan bahwa semua pemberian kita harus bersifat rahasia, tetapi Dia pernah mengingatkan kita untuk menguji motivasi kita saat memberikan sesuatu (Mat. 6:1). Dia juga berkata: “Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang” (ay.2). Meskipun Allah mengharapkan kita senang memberi dengan murah hati, Dia mendorong kita untuk tidak melakukan kebaikan di depan orang dengan maksud agar menerima pujian atau memperoleh pengakuan tertentu (ay.3).

Ketika kita menyadari bahwa segala sesuatu yang kita miliki berasal dari Allah, kita dapat menjadi pemberi rahasia yang tidak membutuhkan pujian atau mencari kekaguman dari orang lain. Allah Mahatahu, Sumber segala yang baik itu, berkenan atas kemurahan hati yang tulus dari umat-Nya. Tidak ada yang dapat menandingi perkenanan-Nya atas kita.

Renungkan dan Doakan
Bagaimana Allah pernah menolong Anda melalui pemberian rahasia dari seseorang yang peduli kepada Anda? Siapa yang dapat Anda tolong hari ini dengan pemberian rahasia?

Allah Mahakasih, berkatilah aku dengan kesempatan demi kesempatan untuk memberi kepada sesama dengan kerelaan untuk berkorban, sebagaimana Engkau sendiri telah memberi kepadaku.

Sumber: Our Daily Bread

Rabu, 09 Juni 2021

KELENGKAPAN STANDAR?

Bacaan: Galatia 5:16-26

NATS: Janganlah kita gila hormat, ... saling mendengki (Galatia 5:26)

Sebuah iklan tiga halaman yang unik di Wall Street Journal, mengingatkan saya bagaimana dunia sekuler membangkitkan kecenderungan kita untuk iri hati. Halaman pertama iklan tersebut memperlihatkan gambar mobil Jaguar Mark II 1960, dengan tulisan di bawahnya, "Sebagaimana mobil ini telah membuat iri dunia otomotif ...." Kemudian pada halaman 2 dan 3 terdapat gambar Jaguar terbaru dengan tulisan, "Sekali lagi, iri hati akan menjadi kelengkapan standarnya."

Kini saya tahu bahwa menginginkan sebuah Jaguar bukanlah suatu dosa. Namun jika kemudian saya menjadi tidak puas dengan apa yang sudah saya miliki dan membenci tetangga saya yang memiliki Jaguar sedangkan saya tidak, maka saya memiliki masalah iri hati yang serius.

Dalam Galatia 5:19-21 Paulus menggolongkan iri hati ke dalam satu kategori dengan dosa-dosa seperti perzinahan, pembunuhan, dan kemabukan. Hal ini mungkin mengejutkan sampai kita sadar bahwa sifat iri hati itu sangat merusak. Iri hati telah mendorong saudara-saudara Yusuf untuk menjualnya ke Mesir (Kisah Para Rasul 7:9). Iri hati juga telah membuat panas hati lawan-lawan Paulus di Tesalonika yang kemudian memancing keributan agar Injil gagal diberitakan (17:5). Iri hati telah memotivasi imam kepala yang menyerahkan Yesus untuk disalib (Markus 15:10). Bahkan meski iri hati tidak menuntun kita untuk berbuat sekejam itu, sifat itu tetap menggeser kasih dan merusak banyak hubungan (1Korintus 13:4)

Kita membutuhkan pertolongan Tuhan agar dapat mengenali rasa iri hati dalam diri kita dan menghilangkannya. Kita pasti tidak ingin iri hati menjadi kelengkapan standar dalam hidup kita --DJD

BILA ANDA MEMBIARKAN IRI HATI BERTUMBUH DALAM HIDUP ANDA
MAKA MASALAH TELAH MENANTI ANDA

Sumber: Renungan Harian

Selasa, 08 Juni 2021

Jangan Menghakimi!

Bacaan: Roma 14:1-12

”Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain? Entahkah ia berdiri, entahkah ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri. Tetapi ia akan tetap berdiri, karena Tuhan berkuasa menjaga dia terus berdiri.” (Roma 14:4)

Sadar atau tidak sadar, banyak dari kita sebagai orang Kristen yang menjadi hakim atas orang lain. Kita merasa bahwa pola pikir kita adalah paling benar sehingga ketika orang lain tidak sejalan dengan apa yang kita pikirkan, dengan serta-merta kita menghakimi bahwa orang itu salah dan aku yang benar.

Selain itu juga terkadang kita menghakimi berdasarkan hati nurani kita padahal suara hati nurani tidaklah begitu baik, sehingga berbahaya jika menurutinya untuk menghakimi orang lain.

Penghakiman seperti di atas sangatlah berbahaya karena dapat mengalihkan perhatian kita untuk mengoreksi diri sendiri. Seharusnya dengan rendah hati kita bisa menerima setiap koreksi dan kritik yang ditujukan kepada kita, namun karena kita merasa diri paling benar dan sudah menjadi "hakim” maka kita akhirnya kita menjadi begitu sombong dan tinggi hati.

Saudara, ketika kita menghakimi itu berarti kita merebut tugas Allah. Dalam 1 Petrus 2:23 dikatakan, "Ketika la dicaci maki, la tidak membalas dengan caci maki, ketika la menderita. la tidak mengancam, tetapi la menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil." Yesus saja tidak menghakimi melainkan menyerahkannya kepada Allah yang adil. Siapa kita sehingga kita berani menghakimi orang lain? Tetapi mengapa begitu banyak orang Kristen yang sok menjadi hakim?

Marilah kita belajar untuk tidak mudah menuding jari ini dan menyalahkan orang lain. Dosa ini memang diturunkan dari Adam dan Hawa. Bukankah Adam menuding Hawa dan Hawa menuding ular sebagai biang kerok kejatuhan mereka? Mereka memang mudah menuding, tetapi mengakui kesalahan itu yang susah dilakukan.

Renungan :
Pelajaran pertama untuk menjadi Kristen yang baik adalah jangan menjadi hakim. Jangan mencari kelemahan orang lain dan jangan menuding kesalahan orang lain. Orang itu sendiri yang akan berurusan dengan Tuhan.

Kita adalah pewarta keselamatan, dan bukannya pencari kesalahan orang lain.

Sumber: Renungan Bethany Graha

Senin, 07 Juni 2021

BERLARI UNTUK MENANG

Bacaan: 1 Korintus 9:24-27

NATS: Larilah begitu rupa, sehingga kamu memperoleh [hadiahnya] (1 Korintus 9:24)

Ketika masih remaja, James Martinson berangan-angan untuk bergabung dengan tim ski US Downhill. Akan tetapi kenyataan berkata lain. Ia kehilangan kedua kakinya setelah mengalami luka serius karena menginjak ranjau saat mengikuti wajib militer di Vietnam. Mulai saat itu hatinya selalu dipenuhi kebencian terhadap orang lain dan terhadap Allah. Ia mengkonsumsi alkohol dan narkoba, dan bahkan sempat berpikir untuk bunuh diri.

Kemudian James bertemu dengan beberapa orang Kristen yang menerangkan bagaimana Kristus dapat mengubah hidupnya. Pada mulanya ia tidak percaya, namun akhirnya ia mengundang Kristus masuk ke dalam hidupnya. Ia berkata, “Saya memang tidak mendapatkan kembali kedua kaki saya, namun saya merasa ada sesuatu yang baru terjadi dalam diri saya.”

Karena sangat ingin bersaksi tentang Kristus, James kemudian banyak bergaul dengan kaum muda. “Berlarilah bersama kami!” pinta mereka. James menjawab, “Tidak bisa, aku tidak punya kaki.” “Tapi kau 'kan punya kursi roda,” sahut mereka. Inilah asal mulanya ia mengikuti balap kursi roda, sebuah tantangan yang akhirnya membuatnya menjadi seorang juara. Orang sering bertanya kepadanya, “Apakah benar balap kursi roda ini telah mengubah hidup Anda?” Jawabnya yakin, “Bukan, Yesuslah yang mengubah hidup saya.”

Apakah Anda merasa kalah? Berpalinglah kepada Yesus Kristus. Kemudian terimalah tantangan Rasul Paulus untuk berlari sedemikian rupa guna mendapatkan piala yang kekal (1 Korintus 9:24). Yesus tidak hanya akan mengubah kekalahan Anda menjadi kemenangan, tetapi Dia juga akan mengubah Anda!--JEY

KETIKA YESUS HADIR DALAM HIDUP SESEORANG DIA MENGUBAHKAN SEGALANYA

Sumber: Renungan Harian

Minggu, 06 Juni 2021

Lalai Merawat Rusak Akibatnya

Bacaan: 1 RAJA-RAJA 11:1-13

Sebab pada waktu Salomo sudah tua, isteri-isterinya itu mencondongkan hatinya kepada allah-allah lain, sehingga ia tidak dengan sepenuh hati berpaut kepada Tuhan .... (1 Raja-raja 11:4)

Merawat itu bukan perkara mudah. Saya mengenal seseorang yang suka mengoleksi tanaman-tanaman hias langka yang sangat mahal harganya. Saking sayangnya, ia bisa berjam-jam setiap hari khusus untuk memperhatikan tanaman-tanaman itu. Membersihkan daun, menyiram, memberi pupuk, bahkan mengamati dengan teliti setiap lembar daun, adalah hal-hal yang tidak pernah bosan dilakukannya. "Tanaman-tanaman itu begitu berharga, sedikit saja kelalaian saat merawat, tanaman itu bisa rusak!" ujarnya.

Tak ubahnya merawat hati, hati yang semula tulus pun bisa jadi berubah jika tidak dirawat dengan baik. Merawat hati itu butuh perhatian dan kewaspadaan. Jika tidak, maka sedikit godaan saja bisa merusak apa yang baik. Salomo memulai perjalanan imannya dengan baik, hatinya begitu tulus mencintai Tuhan. Namun ia tidak mampu mempertahankan kesetiaan kepada Allah dan telah melanggar perjanjian dengan Tuhan karena hatinya berpaling kepada allah-allah lain akibat kecintaannya kepada perempuan-perempuan asing (ay. 1). Sedikit saja ia berkompromi dengan dosa, maka hatinya pun dibutakan.

Merawat hati memerlukan ketegasan untuk berkata "tidak" kepada dosa. Bukankah sebuah kejatuhan itu banyak terjadi karena kita merasa diri kuat untuk menanggungnya? Bisa jadi Salomo merasa bahwa bersahabat dengan banyak perempuan tidak akan memengaruhi hubungannya dengan Tuhan. Salomo mulai membuka hatinya dan akhirnya ia pun tergiring sedikit demi sedikit untuk meninggalkan Tuhan. Jadi, kiranya kita senantisa ingat bahwa salah besar jika kita menganggap diri kita telah kebal terhadap pengaruh dosa. Rawatlah baik-baik hati kita! --SYS/www.renunganharian.net

MERAWAT ITU BUTUH KEWASPADAAN TINGGI, SEDIKIT SAJA MEMBUKA CELAH, RUSAKLAH SEMUANYA.

Sabtu, 05 Juni 2021

Ketulusan Hati Tuhan Untuk Anda

Zefanya 3: 17 “TUHAN Allahmu ada di antaramu sebagai pahlawan yang memberi kemenangan. Ia bergirang karena engkau dengan sukacita, Ia membaharui engkau dalam kasih-Nya, Ia bersorak-sorak karena engkau dengan sorak-sorai.”

Tahukah Anda bagaimana perasaan Tuhan terhadap dunia ini? Mungkinkah Dia merasa sedih, kesal, marah, kecewa, atau mungkin frustasi atas sikap manusia yang jatuh dalam dosa?

Apa pandangan Alkitab tentang Tuhan?

Alkitab mengajarkan bahwa meskipun Tuhan merasa sedih (Kej. 6: 6) dan marah (Kel. 4: 14), Tuhan tidak pernah sedih karena pembawaan karakternya. Tuhan adalah Tuhan yang gembira. Berada di hadirat-Nya berarti berada dalam kepenuhan sukacita (Maz. 16: 11) karena hati-Nya penuh dengan sukacita dan kegembiraan.

Ketika Tuhan memikirkanmu, Dia akan merasa sukacita karena Anda adalah harta-Nya yang istimewa (Kel. 19: 5). Anda adalah piala kasih karunia-Nya (1 Tim. 1: 16).

Saya yakin bahwa banyak orang Kristen kehilangan hati Tuhan yang baik dan penuh sukacita. Mereka memiliki pandangan negatif tentang Tuhan dalam pikiran mereka sehingga mereka tidak bisa menikmati hubungan dengan Yesus.

Berapa banyak dari kita yang akan berdiri di hadapan Yesus pada akhir hidup kita? Pernah kamu berpikir demikian:

“Tuhan, aku tidak pernah tahu bahwa Engkau sangat mencintaiku. Aku tidak pernah tahu bahwa Engkau begitu bersemangat ketika memikirkanku. Tuhan, seandainya aku tahu bagaimana perasaan-Mu tentangku, aku akan menjalani kehidupan yang berbeda, yang dipenuhi dengan cinta dan tawa, serta tanpa kekhawatiran.”

Kemudian Yesus menjawab, “Anakku, apakah kamu tidak membaca tentangKu di Alkitab? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku adalah Ayah dari anak yang hilang? Apakah kamu tidak membaca bahwa aku bersukacita atas kamu dengan teriakan sukacita? Tidakkah kamu mendengar bahwa aku mencintaimu dengan cinta yang abadi?”

Tuhan ingin kamu mempercayai-Nya. Dia ingin Anda beristirahat di dalam kasih dan anugerah-Nya. Dia ingin Anda bersukacita karena Anda adalah milik-Nya dan Dia milik Anda, dan panji-Nya adalah kasih.

Dia adalah Tuhan yang senang yang memiliki hati untuk Anda. Dia ingin membantu dalam perjuangan yang Anda alami. Dia ingin mengubah Anda sehingga bisa menjadi seperti Dia dan hidup Anda bisa melimpah dengan buah Roh yang baik.

Bertekadlah hari ini untuk berusaha menghilangkan pandangan yang salah tentang Tuhan. Gantikan kebohongan itu dengan kebenaran (lihat Lukas 7: 36-50, Kel 34: 6-7, Yohanes 8: 1-11). Ingat, ketika Anda mengetahui kebenaran, kebenaran akan membebaskan Anda (Yohanes 8: 32).

Sumber: Renungan oleh Pastor Jeff Schreve, disadurkan dari crosswalk.com.

Jumat, 04 Juni 2021

DISETIR GADGET

[[Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. ]] (Galatia 5:16)

“Saya khawatir di masa depan teknologi akan mengalahkan interaksi manusia. Bumi ini akan dipenuhi dengan generasi idiot,” kata Albert Einstein puluhan tahun lalu. Akankah ucapan sang jenius ini terjadi? Sebuah riset terbaru menyatakan bahwa mayoritas orangtua membeli gadget seperti komputer tablet untuk mendiamkan anak rewel. Di mana-mana kita melihat keluarga duduk satu meja namun sibuk dengan gadget masing-masing.

Teknologi adalah elemen kemajuan zaman yang harus kita sikapi dengan cerdas. Kemajuan teknologi dan fasilitas yang kita nikmati, sadar atau tidak, bisa membuat manusia makin egois, individualis, dan hidup semaunya sendiri—atau menurut bahasa Alkitab: mengikuti keinginan daging. Pada dasarnya, surat Galatia berisi teguran Rasul Paulus secara pribadi kepada jemaat tersebut. Tentu bukan karena jemaat Galatia asyik dengan gadget -nya, melainkan karena mereka tergoda dengan ajaran dari guru-guru palsu.

Jika gadget yang awalnya kita miliki untuk mempermudah hidup justru membuat kita berpaling dari keimanan kita, apa bedanya dengan guru-guru palsu pada zaman Galatia? Mengikuti kenyamanan menurut daging kita memang nikmat, tetapi anak-anak Tuhan yang berhikmat harus bisa melihat dan berpikir dengan cara pandang yang lebih luas. Ketika kita mengaku percaya, sesungguhnya Roh Kudus telah berada di dalam diri kita. Pilihannya, apakah kita akan mengabaikan-Nya, ataukah kita akan membiarkan hidup ini dipimpin oleh Roh Kudus sehingga makin hari kita makin berhikmat?
(Olivia Elena Hakim)

Sumber: Amsal Hari Ini

Kamis, 03 Juni 2021

LENYAP SEPERTI DEBU

Bacaan: Matius 23:1-12

NATS: Barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan (Matius 23:12)

Berdoa untuk memperoleh kerendahan hati tidaklah sama dengan bersikap rendah hati. Kerinduan kita untuk menjadi rendah hati mungkin akan mendorong kita untuk melayani, misalnya dengan melakukan sesuatu untuk orang lain. Tetapi tindakan tersebut dapat cepat berubah menjadi kesombongan. Penulis dan pembicara Joni Eareckson Tada mengungkapkan hal ini dengan tepat, "Kita berusaha memperoleh kerendahan hati, tetapi...puf...semuanya lenyap seperti debu ditiup angin."

Lalu, bagaimana kita dapat mengetahui bahwa diri kita benar-benar rendah hati? Kita tak akan pernah dapat mengetahuinya! Namun, apabila melayani orang lain merupakan hal sehari-hari yang melekat dengan diri kita berarti kita sedang menuju gambaran ideal yang dikemukakan Yesus dalam Matius 23. Setelah mengungkapkan bahwa orang Farisi dan para ahli Taurat selalu mencari kekuasaan dan kedudukan, Yesus berkata, "Barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan" (ayat 12).

Senator Mark Hatfield meneladankan semangat pelayanan yang dianjurkan oleh Yesus ini. Setiap minggu ia mengikuti pemahaman Alkitab di gerejanya, di Washington DC, bersama para politikus dan tokoh-tokoh lainnya. Seusai pertemuan, sebagian besar dari bergegas kembali ke tempat kerjanya. Tetapi senator Hatfield tetap tinggal untuk menata kembali kursi-kursi yang telah digunakan, padahal ia adalah pejabat yang memiliki kedudukan tertinggi di antara mereka!

Jika kita melayani orang lain dengan tulus dari lubuk hati, dan atas dasar belas kasihan yang murni, berarti kita sedang bertumbuh dalam kerendahan hati. Kita akan melakukannya secara alami. Itulah kerendahan hati yang sesungguhnya --DCE

TATKALA KITA BERPIKIR BAHWA DIRI KITA RENDAH HATI SESUNGGUHNYA KITA TIDAK MENCERMINKAN KERENDAHAN HATI ITU

Sumber: Renungan Harian

Rabu, 02 Juni 2021

Mendengarkan Nasihat Bijaksana

Jalan orang bodoh lurus dalam anggapannya sendiri, tetapi siapa mendengarkan nasihat, ia bijak. –Amsal 12:15


Ayat Bacaan: Amsal 12:2-15

Pada masa perang saudara di Amerika Serikat, Presiden Abraham Lincoln pernah ingin menyenangkan hati seorang politisi, sehingga ia mengeluarkan surat perintah pemindahan sejumlah resimen tertentu dalam Angkatan Bersenjata (pihak Utara). Menteri Pertahanan Edwin Stanton menerima surat perintah tersebut, tetapi ia menolak melaksanakannya. Stanton bahkan menyebut sang presiden bodoh. Mendengar perkataan Stanton, Lincoln pun berkata, “Kalau Stanton mengatakan saya bodoh, berarti saya memang bodoh, karena beliau biasanya benar. Saya akan menemuinya sendiri.” Setelah berdiskusi dengan menterinya, Lincoln langsung menyadari bahwa keputusannya salah besar dan seketika itu juga menarik surat perintahnya. Meskipun Stanton sempat menyebut Lincoln bodoh, sang presiden terbukti bijak karena ia tidak bersikeras mempertahankan pendapatnya. Sebaliknya Lincoln mendengarkan nasihat Stanton, mempertimbangkannya, lalu mengubah keputusannya.

Pernahkah Anda bertemu seseorang yang sama sekali tidak mau menerima nasihat bijaksana? (baca 1Raj. 12:1-11). Menyebalkan sekali, bukan? Atau mungkin Anda sendiri pernah menolak nasihat? Amsal 12:15 berkata, “Jalan orang bodoh lurus dalam anggapannya sendiri, tetapi siapa mendengarkan nasihat, ia bijak.” Orang lain tidak selalu benar, tetapi demikian juga kita! Karena setiap orang bisa berbuat salah, maka hanya orang bodoh yang menganggap dirinya tidak bisa salah. Oleh karena itu, marilah kita menggunakan hikmat dari Allah dan mendengarkan nasihat bijaksana yang diberikan orang lain—meskipun awalnya kita tidak setuju. Terkadang itulah cara yang sengaja dipakai Allah untuk mendatangkan kebaikan bagi kita (ay.2).

Renungkan dan Doakan

Apakah Anda terkadang enggan mendengarkan nasihat bijaksana dari orang lain? Mengapa? Bagaimana caranya meyakini bahwa nasihat yang Anda terima mencerminkan hikmat yang benar?

Allah sumber hikmat, ajarkanlah jalan-jalan-Mu kepadaku dan tolonglah aku menghindari kebodohan. Aku bersyukur dalam hidupku Engkau menghadirkan orang lain yang memberikanku nasihat bijaksana di saat aku memerlukannya.

Sumber: Renungan Santapan Rohani

Selasa, 01 Juni 2021

berusaha untuk menambahkan ... kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang. — 2 Petrus 1:5,7

Allah adalah kasih. Pernyataan itu bisa menjadi sekadar keyakinan teologis. Akan tetapi, Allah mengasihi saya bukan karena saya pantas dikasihi, melainkan sungguh suatu pengalaman dari pekerjaan Roh Kudus. Dalam renungan hari ini, Oswald Chambers sepertinya tidak hendak berbicara kepada orang lain (ia tidak menggunakan kata “Anda”), tetapi menyaksikan pergumulan dan pengalamannya sendiri tentang kasih Allah dan membagikannya pada kita.

Saling Mengasihi

Kasih adalah sesuatu yang tidak jelas bagi kebanyakan kita; kita tidak tahu apa yang kita maksudkan saat kita berbicara tentang kasih. Kasih adalah tingkat tertinggi dari tindakan seseorang kepada orang lain, dan secara rohani Yesus menuntut agar tindakan ini tertuju bagi Dia sendiri (lihat Lukas 14:26). Bila “kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus” (Roma 5:5), maka mudah untuk menjadikan Yesus yang pertama. Namun, kemudian kita harus menerapkan nasihat-nasihat yang disebutkan dalam 2 Petrus 1 untuk melihat hal tersebut diwujudkan dalam hidup kita.

Hal pertama yang dilakukan Allah ialah merobohkan ketidaktulusan, kesombongan, dan kesia-siaan dalam hidup saya. Dan, Roh Kudus mengungkapkan kepada saya bahwa Allah mengasihi saya bukan karena saya pantas dikasihi, melainkan karena memang sifat (nature) Allah untuk mengasihi.

Kini Dia memerintahkan saya untuk menunjukan kasih yang sama kepada orang lain dengan mengatakan”supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yohanes 15:12). Dia mengatakan “Aku akan membawa sejumlah orang sekelilingmu yang tidak dapat kau hormati, tetapi engkau harus menunjukkan kasih-Ku kepada mereka, sama seperti Aku telah menunjukkannya kepadamu”.

Jenis kasih ini bukanlah sekadar kasih yang diteladankan untuk orang yang tidak layak dikasihi. Inilah kasih Allah, dan ini tidak akan dibuktikan dalam diri kita dalam waktu singkat. Sebagian dari kita mungkin telah mencoba untuk memaksakannya, tetapi kita segera merasa letih dan kecewa atau frustrasi.

“Tuhan.. sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa... ”.(2 Petrus 3:9). Saya melihat ke dalam diri saya dan mengingat betapa ajaibnya Tuhan telah berurusan dengan saya. Pengetahuan bahwa Allah mengasihi saya melampaui segala batas akan mendorong saya untuk mengasihi orang lain dengan cara yang sama. Saya mungkin terganggu, karena saya harus hidup dengan seseorang yang “susah” luar biasa. Namun, pikirkanlah betapa saya telah hidup tidak sesuai dengan yang dikehendaki-Nya!

Apakah saya siap untuk “dipersatukan” sedemikian dekat dengan Tuhan Yesus sehingga hidup-Nya dan kebaikan-Nya akan terus-menerus dicurahkan melalui saya? Tidak ada kasih alami demikian juga kasih Allah akan tinggal dan bertumbuh di dalam saya, kecuali dipupuk. Kasih memang harus spontan, tetapi harus dipelihara melalui disiplin.

Sumber: Renungan My Utmost Oswald Chambers