Minggu, 30 Juni 2024

TEMAN DAN PEMBIMBING


Bacaan: Yohanes 16:5-15


NATS: Apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran (Yohanes 16:13)


Lisa Marino memiliki pelatih fitnes pribadi yang memberinya nasihat dan semangat setiap hari. Namun, Lisa tidak pernah bertemu sang pelatih. Sebagai peserta dari program "Praktik Hidup Sehat", Lisa memulai setiap hari dengan mengirim laporan diet, olahraga, tidur, dan stresnya ke sebuah website. Setelah itu, ia menerima e-mail balasan dari pelatihnya. Lisa mengatakan bahwa dengan mengirim laporan setiap hari ia tertolong untuk tetap jujur dan terfokus pada sasaran fitnesnya.


Sebagai orang kristiani, kita memiliki pengalaman yang indah tetapi misterius, yaitu memiliki Roh Kudus sebagai teman dan pembimbing kita, walaupun kita tidak dapat melihat-Nya. Yesus berjanji kepada para murid-Nya bahwa saat Dia meninggalkan dunia ini, Dia akan mengirimkan Seseorang yang lain untuk menyertai mereka. "Jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu" (Yohanes 16:7).


"Penolong" atau "Penghibur" dalam bahasa aslinya berarti "dipanggil untuk mendampingi atau menolong seseorang". Seorang peneliti Alkitab bernama W. E. Vine berkata bahwa hal itu menunjuk kepada Pribadi yang bisa menjadi seperti Kristus kepada murid-murid-Nya.


Walaupun tidak kelihatan, Roh Kudus menyertai kita setiap hari, sama seperti Yesus mendampingi para murid-Nya di bumi. Roh Kuduslah yang akan menolong kita untuk tetap jujur, fokus, dan bersemangat dalam hidup ini sehingga dapat memuliakan Kristus --David McCasland


ALLAH BAPA MEMBERI KITA ROH KUDUS UNTUK MENJADIKAN KITA SEPERTI ANAK-NYA


Sumber: Renungan Harian

Sabtu, 29 Juni 2024

Mengucap Syukur kepada Allah

Pada waktu duduk makan bersama mereka, Yesus mengambil roti, mengucap syukur kepada Allah, membelah-belah roti itu dengan tangan-Nya, lalu memberikannya kepada mereka. –Lukas 24:30 (BIMK)

Ayat Bacaan & Wawasan :
Lukas 24:28-35

Saat teman saya bergegas pulang dari pekerjaannya yang penuh tekanan di rumah sakit, ia terus memikirkan apa yang akan ia siapkan untuk makan malam sebelum suaminya pulang dari pekerjaannya yang juga sama beratnya. Ia sudah pernah memasak ayam pada hari Minggu dan menghidangkan sisanya di hari Senin. Lalu pada hari Selasa, lagi-lagi mereka makan ayam—kali ini dipanggang. Ia menemukan dua potong ikan dalam lemari es, tetapi ia tahu suaminya tidak terlalu suka makan ikan. Namun, karena tidak menemukan bahan lain yang dapat disiapkan dalam waktu singkat, ia memutuskan untuk memasak ikan itu.

Ketika ia menghidangkan masakan tersebut di meja, ia meminta maaf kepada suaminya yang baru saja tiba: “Aku tahu kau tidak terlalu suka makan ikan.” Sang suami memandangnya dan berkata, “Sayang, ada makanan di meja saja aku sudah senang.”

Sikap sang suami mengingatkan saya pada pentingnya rasa syukur atas pemeliharaan Allah bagi kita setiap hari—apa pun bentuk pemeliharaan itu. Ketika kita bersyukur untuk makanan kita sehari-hari, kita sedang mengikuti teladan Yesus. Ketika makan dengan dua orang murid sesudah kebangkitan-Nya, Kristus “mengambil roti, mengucap syukur kepada Allah, membelah-belah roti itu dengan tangan-Nya” (Luk. 24:30 BIMK). Dia mengucap syukur kepada Bapa-Nya seperti pada saat Dia dahulu memberi makan lima ribu orang dengan lima “roti jelai dan dua ikan” (Yoh. 6:9). Ketika kita mengucap syukur atas makanan kita sehari-hari dan beragam kebutuhan lain yang disediakan Allah, ucapan syukur kita mencerminkan sikap Yesus dan memuliakan Bapa kita di surga. Marilah kita mengucap syukur kepada Allah hari ini.

Oleh: Katara Patton

Renungkan dan Doakan
Seberapa sering Anda mengungkapkan rasa syukur Anda kepada Tuhan Yesus? Bagaimana sikap Anda itu dapat memuliakan-Nya?

Allah sumber segala rahmat, terima kasih untuk makananku setiap hari dan semua kebutuhan lain yang Engkau sediakan bagiku.

Sumber: Our Daily Bread

Jumat, 28 Juni 2024

Ingatan Penghasil Sukacita


Bacaan: FILIPI 1:1-11


Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu. (Filipi 1:3)


Hanya dengan mengingat nama seseorang kita dapat memberikan beragam respons. Ada nama yang mungkin meninggalkan sakit hati, kebencian, kepahitan, atau rasa kecewa bagi kita. Namun, ada juga nama yang menghangatkan hati atau membawa sukacita bagi kita. Kesan-kesan itu tentunya tidak muncul tanpa alasan, melainkan berasal dari jejak-jejak yang mereka tinggalkan sebelumnya.


Ketika Rasul Paulus mengingat jemaat di kota Filipi, hatinya dipenuhi syukur. Tiap kali ia berdoa bagi mereka, ia bersukacita (ay. 4). Ia juga sangat merindukan mereka (ay. 8). Alasannya ialah karena mereka memiliki persekutuan yang erat dalam Kristus sejak mereka mendengar Injil dan terus bertumbuh di dalamnya (ay. 5). Mereka juga tak henti-hentinya menunjukkan kasih dengan mendukung pelayanan Paulus, termasuk ketika ia dipenjarakan karena Kristus (ay. 7). Dukungan itu juga ditunjukkan dengan mengirimkan uang untuk mendukung pelayanan Paulus (Flp 4:15-18), bahkan mereka secara khusus mengutus Epafroditus untuk melayani keperluan Paulus (Flp 2:25-30). Tak heran jika sang rasul berkata, "Kamu ada di dalam hatiku" (ay. 7).


Kira-kira, kesan apakah yang kita tinggalkan dalam kehidupan orang-orang? Apakah nama kita membangkitkan syukur dan sukacita di hati mereka? Ataukah sebaliknya? Selagi Tuhan memberi kita anugerah kehidupan, kita masih dapat melakukan berbagai perbuatan kasih, yang kelak akan meninggalkan jejak-jejak yang mendatangkan sukacita dalam hidup banyak orang. Seperti itulah seharusnya kehidupan yang dijalani oleh setiap orang yang percaya kepada Kristus. --HT/www.renunganharian.net


JEJAK PERBUATAN KASIH MENDATANGKAN SUKACITA

BAGI ORANG-ORANG YANG MENGINGATNYA.


Kamis, 27 Juni 2024

Sok Tahu Versus Maha Tahu


Bacaan: Pengkhotbah 2:12-14


Jalan orang bodoh lurus dalam anggapannya sendiri, tetapi siapa mendengarkan nasihat, ia bijak.- Amsal 12:15


Satu lelucon di seminari sering terlontar. Mereka yang menempuh jenjang sarjana akan diberi gelar S.Th. (Sarjana Teologi) dan mereka yang mengambil program magister akan digelari M.Th. (Magister Teologi). Kami sering bercanda bahwa S.Th. adalah singkatan untuk “sok tahu”, sementara M.Th. adalah singkatan untuk “maha tahu”. Ini bukannya berusaha membela diri, tetapi maaf terkadang teman-teman saya yang bergelar S.Th. bisa sangat sok tahu.


Perikop hari ini menyampaikan bagaimana Salomo memiliki sentimen yang sama. Sayangnya, ayat 12 kurang menggambarkan nuansa ini. Klausa “sebab apa yang dapat dilakukan orang yang menggantikan raja?” lebih bernuansa “apa yang dapat dilakukan seseorang yang tidak terlebih dahulu dilakukan seorang raja?” Maksudnya adalah, seperti yang telah kita baca di ayat 3, Raja Salomo berusaha menyelidiki “apa yang baik bagi anak-anak manusia untuk dilakukan”. Salomo sudah melakukan segala yang ia bisa, dan ia menyerah karena pada akhirnya semuanya sia-sia. Jika Salomo, raja yang begitu kaya raya dan berhikmat, gagal dalam pencarian kebahagiaan, maka apa yang dapat dilakukan oleh mereka yang bukan raja?


Pesan ini tidak hanya cocok untuk orang-orang muda, tetapi juga untuk orang segala usia. Dalam melihat tren, kita suka ikut-ikutan sesuatu yang viral. Atau dalam pergaulan, kita juga ikut-ikutan sesuatu yang menurut kita akan memberikan kesenangan. Kemudian seseorang yang lebih berpengalaman, entahkah orangtua atau kerabat atau kakak rohani, akan melarang kita untuk mengikuti tren tersebut karena bukannya mendatangkan berkat, malah membawa laknat. Apa yang kita lakukan? Seringkali kita sok tahu dan menganggap, “Ah! Orang-orang tua ini tidak tahu apa-apa!” Kita anggap mereka sudah “ketinggalan zaman” atau “tidak mengerti anak muda.”


Lihat apa yang diteladankan Tuhan kita, Yesus Kristus. Dia adalah Allah yang Mahatahu. Namun, ketika orangtua-Nya hendak membawanya pulang ke Nazaret, Dia menuruti mereka, meskipun sebetulnya dalam hal ini Maria dan Yusuf tidak mengerti apa-apa! Jika Allah yang Mahatahu saja mendengarkan apa yang diperintahkan orangtua-Nya, masakan kita yang bodoh ini bersikap sok tahu terhadap mereka yang lebih berpengalaman dari kita?


Refleksi Diri:

Apakah Anda selama ini lebih cenderung sok tahu atau bersedia menerima nasihat mereka yang lebih tua?


Apakah ada pengalaman yang Anda rasakan saat tidak mendengar nasihat mereka? Bagaimana pengalaman tersebut mengubahkan Anda menjadi lebih baik?


Sumber: Renungan GII Hok Im Tong

Rabu, 26 Juni 2024

MANUSIA LANDAK


Bacaan: 1 Yohanes 4:16-21


NATS: Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barang siapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya (1 Yohanes 4:21)


Jauh di lembah Wyoming, secara kebetulan saya menjumpai landak terbesar yang pernah saya lihat. Ketika ia perlahan-lahan mendekat, saya mengamatinya dengan saksama dan memberinya cukup ruang untuk lewat. Saya tidak mau dekat-dekat binatang yang durinya mirip peluru kendali itu. Tak heran jika ia sendirian!


Namun, ternyata ia tidak sendirian sepanjang waktu. Setiap bulan November dan Desember, landak-landak itu saling bertemu untuk menghasilkan keturunan. Selama masa itu mereka memilih untuk menidurkan duri-duri mereka, meski sesudahnya mereka kembali menegakkan duri mereka.


Hampir setiap gereja, akan ada satu atau dua orang “landak” dengan duri-duri kritik, sikap kasar, atau kesombongan. Kita ingin menghindari mereka, tetapi Allah menempatkan kita di tengah komunitas orang percaya untuk bersekutu. Dia memerintahkan kita agar saling mengasihi, termasuk mengasihi orang dengan tipe landak ini. Dan kalau mau jujur, kita harus mengakui bahwa kita pun memiliki duri-duri.


Yohanes menulis, “Barang siapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya” (1 Yohanes 4:21). Untuk melakukannya, kita seharusnya meminta Allah menolong kita “melembutkan duri-duri kita”, bahkan ketika orang lain “berduri”. Roh Kudus akan menolong kita untuk menghentikan sikap kita yang terlalu membela diri sendiri, penuh kritik, atau suka mengatur. Dan Dia akan memampukan kita untuk mengasihi saudara-saudari kristiani kita. Inilah cara menunjukkan kepada dunia bahwa kita mengasihi Allah (Yohanes 13:35) --Dave Egner


ALLAH MENGASIHI ANDA DAN SAYA -- MAKA MARILAH KITA SALING MENGASIHI


Sumber: Renungan Harian

Selasa, 25 Juni 2024

ULURAN TANGAN ALLAH


Bacaan: Ibrani 4:14-16


NATS: Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya (Ibrani 4:16)


Saya terkadang bertanya kepada orang-orang, "Di manakah tertulis di dalam Alkitab, 'Allah menolong mereka yang menolong dirinya sendiri?'" Sebagian besar menjawab tidak yakin, tetapi konsep ini begitu umum sehingga mereka menganggap itu pasti ada dalam Alkitab.


Sebenarnya, Alkitab tidak pernah mengatakannya. Alkitab justru mengatakan sebaliknya: Allah menolong mereka yang tak berdaya.


Anda akan menemukan di dalam Injil bahwa Yesus tidak menolak untuk menolong mereka yang tak berdaya. Dia tidak menutup pengampunan dan belas kasihan bagi mereka yang mengakui dosanya. Dia tidak menjauhi mereka yang tak mampu mengubah dirinya. Sebaliknya, mereka yang menganggap dirinya tidak butuh pertolongan adalah mereka yang paling mendukakan Yesus.


Rancangan Allah lebih tinggi daripada rancangan kita (Yesaya 55:9), dan Dia melihat segala hal dari sudut pandang yang berbeda. Kita suka mengandalkan kemampuan diri sendiri untuk menghadapi masalah, tetapi Dia menunjukkan kelemahan-kelemahan kita agar kita belajar mengandalkan kekuatan-Nya. Kita bangga atas kesuksesan kita dan mulai berpikir bahwa kita tidak butuh pertolongan Allah, tetapi Dia mengizinkan kita gagal agar kita belajar bahwa keberhasilan sejati terjadi hanya karena rahmat-Nya.


Apakah Anda merasa tak berdaya hari ini? Rahmat Allah tersedia bagi mereka yang menyadari bahwa mereka tidak dapat menolong dirinya sendiri. "Marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia" untuk menemukan pertolongan saat Anda membutuhkan (Ibrani 4:16) --David Roper


ALLAH MENOLONG MEREKA YANG MENYADARI BAHWA MEREKA TAK BERDAYA


Sumber: Renungan Harian

Senin, 24 Juni 2024

KEMENANGAN ATAS PENCOBAAN


Bacaan: Matius 4:1-11


NATS: Allah ... tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. ... Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar (1 Korintus 10:13)


Wanda Johnson, seorang ibu tunggal dengan lima anak, sedang dalam perjalanan menuju tempat pegadaian. Ia berharap di sana ia akan mendapat pinjaman 60 dolar atas TV miliknya. Kemudian terjadilah sesuatu yang sangat aneh. Sewaktu truk berlapis baja yang penuh dengan kantong uang berjalan melintasinya, pintu samping truk itu terbuka, dan jatuhlah sekantong uang ke jalan. Wanda berhenti dan memungut kantong uang itu. Ketika ia menghitung uang di dalam kantong, ternyata jumlahnya sebanyak 160.000 dolar.


Pertentangan batin berkecamuk dalam jiwanya. Ia dapat menggunakan uang itu untuk melunasi semua tagihannya dan memenuhi semua kebutuhan anak-anaknya. Tetapi uang itu bukan miliknya.


Setelah empat jam bergumul hebat dengan keyakinan moralnya, Wanda menelepon polisi dan mengembalikan uang itu. Kesadarannya untuk melakukan hal yang benar menang atas pencobaan untuk mengambil sesuatu yang bukan miliknya.


Seberapa kuatkah tabiat moral Anda? Apakah tabiat itu akan hilang saat Anda dihadapkan pada kesempatan yang sangat menggoda untuk melakukan hal yang tidak benar? Seperti halnya terhadap Yesus, Setan menyerang Adam dan Hawa pada tiga hal, yaitu keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup (1 Yohanes 2:16). Nenek moyang kita yang pertama kalah dalam menghadapi bujukan ular (Kejadian 3:1-6), tetapi Yesus tidak (Matius 4:1-11).


Apa pun yang sedang Iblis lakukan untuk menekan kita, mari kita ikuti teladan Yesus dan melakukan tindakan yang benar --Vernon Grounds


UNTUK MELAWAN PENCOBAAN

BERDIRILAH BERSAMA KRISTUS


Sumber: Renungan Harian

Minggu, 23 Juni 2024

Bukan Penghalang


Bacaan: MAZMUR 119:33-40


Palingkanlah mataku dari hal yang sia-sia, buatlah aku hidup di jalan-Mu! (Mazmur 119:37)


Pada musim-musim tertentu, biasanya pemilik peternakan kuda akan memakaikan "kacamata" pada kuda-kudanya. "Kacamata" itu terbuat dari jala-jala tipis sehingga kuda-kuda itu tetap bisa melihat. Jala-jala itu menjaga kedua mata mereka dari lalat-lalat yang membawa penyakit mata. Jadi, sekalipun terasa kurang nyaman, "kacamata" kuda itu berguna untuk menjaga kedua mata mereka dari penyakit dan ancaman kebutaan.


Tiap-tiap orang mungkin memiliki pandangan berbeda terhadap firman Tuhan. Sebagian orang menganggap bahwa firman Tuhan bagaikan "kacamata kuda" yang menghalangi mereka untuk melihat semua kesenangan dunia yang seharusnya dapat mereka nikmati. Melakukan firman Tuhan bukan lagi dipandang sebagai kebahagiaan tetapi sebagai beban berat. Itu sebabnya mengapa mereka akhirnya menolak menaatinya. Mereka tidak menyadari bahwa firman Tuhan sangat berguna sebagai penuntun hidup dalam kebenaran dan menghindarkan mata hati dari kebutaan akibat dosa.


Pemazmur menyatakan bahwa orang-orang yang hidup menurut Taurat Tuhan dan memegang peringatan-peringatan-Nya adalah orang-orang yang berbahagia (Mzm 119:1-2). Firman Tuhan atau Alkitab adalah penolong untuk memalingkan atau menghindarkan matanya dari pada melihat hal yang hampa dan sia-sia (ay. 37). Tuhan memberikan peringatan-peringatan-Nya untuk dilakukan bukan untuk menghalangi kita menikmati hidup. Sebaliknya, firman Tuhan menolong kita untuk membuat kita hidup di jalan-Nya sehingga kita dapat menikmati kebenaran dan hidup yang sejati. --SYS/www.renunganharian.net


TITAH TUHAN ITU BENAR, MENYUKAKAN HATI; PERINTAH TUHAN ITU MURNI, MEMBUAT MATA BERCAHAYA.-MAZMUR 19:9

Sabtu, 22 Juni 2024

TERLALU MUDAH


Bacaan: Roma 4:1-8


NATS: Kalau ada orang yang tidak bekerja, namun percaya kepada Dia yang membenarkan orang durhaka, imannya diperhitungkan menjadi kebenaran (Roma 4:5)


Saya membaca tentang adonan kue instan yang gagal dipasarkan. Padahal petunjuknya menyebutkan bahwa yang harus dilakukan hanyalah menambahkan air dan memanggangnya. Perusahaan itu tak habis mengerti mengapa produk itu tidak laku. Dari hasil penelitian, mereka mendapati bahwa konsumen merasa tidak yakin karena adonan itu hanya menggunakan air. Orang-orang menganggapnya terlalu mudah. Jadi, pihak perusahaan mengubah petunjuk membuat kue tersebut, yaitu dengan menambahkan sebutir telur ke dalam adonan sebagai tambahan air. Ide ini berhasil. Penjualan produk itu pun melonjak drastis.


Kisah itu mengingatkan saya tentang reaksi sebagian orang terhadap rancangan keselamatan. Bagi mereka, hal itu kedengarannya terlalu mudah dan sederhana untuk dipercaya, meski Alkitab mengatakan, "Karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; ... [itu] pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu" (Efesus 2:8,9). Mereka merasa ada hal lain yang harus dilakukan, sesuatu yang harus ditambahkan pada "resep" keselamatan Allah. Mereka pikir mereka harus melakukan perbuatan baik untuk mendapatkan kemurahan Allah dan hidup kekal. Namun, dengan jelas Alkitab menyatakan bahwa kita diselamatkan "bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya" (Titus 3:5).


Tak seperti pabrik adonan kue itu, Allah tidak mengganti "formula"- Nya untuk membuat keselamatan lebih laku di pasaran. Injil yang kita nyatakan harus bebas dari perbuatan, meski mungkin kedengarannya terlalu mudah --Richard De Haan


KITA SELAMAT KARENA RAHMAT ALLAH, BUKAN KEBAIKAN KITA, 

OLEH KEMATIAN KRISTUS, BUKAN PERBUATAN KITA


Sumber: Renungan Harian

Jumat, 21 Juni 2024

Belas Kasihan lewat Pizza


Tunjukkanlah belas kasihan kepada mereka yang ragu-ragu. –Yudas 1:22


Ayat Bacaan & Wawasan :

Yudas 1:17-23


Undangan makan malam dari pemimpin gereja saya, Harold dan istrinya Pam, membuat hati saya senang sekaligus gelisah. Saat itu saya terlibat dalam sebuah kelompok pemahaman Alkitab di kampus yang mengajarkan pemahaman yang berlawanan dengan sejumlah ajaran sehat. Saya berpikir, apakah mereka akan menegur saya tentang hal itu?


Sambil menikmati pizza, mereka bercerita tentang keluarga mereka dan menanyakan kabar keluarga saya. Mereka menyimak ketika saya bercerita tentang pekerjaan rumah, anjing piaraan saya, dan pemuda yang saya taksir. Setelah itu barulah mereka memperingatkan saya dengan lembut tentang kelompok yang saya ikuti dan menjelaskan apa yang salah dengan pengajarannya.

Peringatan mereka menjauhkan saya dari kebohongan yang disampaikan kelompok tersebut dan mendekatkan saya kepada kebenaran Kitab Suci.


Dalam suratnya, Yudas menggunakan kata-kata yang keras tentang perilaku para guru palsu, dan mendorong orang percaya untuk “tetap berjuang untuk mempertahankan iman” (Yud. 1:3). Ia mengingatkan mereka bahwa “menjelang akhir zaman akan tampil pengejek-pengejek . . . [para] pemecah belah . . . yang hidup tanpa Roh Kudus” (ay. 18-19). Akan tetapi, Yudas juga mendorong orang percaya untuk menunjukkan “belas kasihan kepada mereka yang ragu-ragu” (ay. 22), dengan mendampingi mereka dan menunjukkan belas kasihan tanpa harus mengkompromikan kebenaran.


Harold dan Pam tahu iman saya masih lemah, tetapi alih-alih menghakimi saya, mereka pertama-tama membuka diri sebagai sahabat, baru kemudian membagikan hikmat yang mereka miliki. Kiranya Allah memberi kita kasih dan kesabaran yang sama, menerapkan hikmat dan belas kasihan dalam interaksi kita dengan orang-orang yang masih bimbang dalam iman.


Oleh:  Karen Huang


Renungkan dan Doakan

Adakah seseorang yang sedang bergumul dengan imannya dan dapat Anda layani? Bagaimana Anda dapat membimbing mereka dengan penuh kasih kepada kebenaran Kitab Suci?


Ya Bapa, aku membutuhkan hikmat dan bimbingan-Mu untuk menolong mereka yang terpengaruh ajaran palsu. Berilah aku kata-kata yang tepat untuk kuucapkan.


Sumber: Our Daily Bread

Kamis, 20 Juni 2024

DI BALIK SENYUMAN


Bacaan: Mazmur 4


NATS: Engkau telah memberikan sukacita kepadaku (Mazmur 4:8)


Menurut sebuah artikel di harian The New York Times, tersenyum dapat menimbulkan perasaan yang menyenangkan. Penulis Daniel Goleman menyebutkan hasil sebuah eksperimen para peneliti yang mendapati bahwa mengatakan cheese [dilafalkan: 'ciz'] dapat membuat orang tersenyum dan menimbulkan perasaan senang. Sebaliknya, mengucapkan kata few [dilafalkan: 'fyu'] dapat menimbulkan ekspresi wajah yang berbeda, dan menimbulkan emosi yang negatif.


Hasil penelitian itu memang menarik, tetapi saya kira ada cara lain yang lebih baik untuk mendapatkan kedamaian dan sukacita yang sejati. Caranya bekerja dari dalam keluar, bukan dari luar ke dalam.


Dalam Mazmur 4, Daud mengemukakan beberapa tindakan yang dilakukannya ketika dilanda kesedihan. Ia meminta kelegaan dan belas kasihan Allah (ayat 2). Ia terhibur ketika mengetahui bahwa Allah berkenan kepadanya dan mendengar seruannya (ayat 4). Daud tinggal diam di hadapan Allah (ayat 5). Ia hanya tekun melakukan apa yang benar dan menaruh kepercayaan kepada-Nya (ayat 6). Ia menikmati jaminan yang pasti akan kedamaian dan keamanan dari Allah (ayat 9). Daud percaya akan memiliki sukacita (ayat 8) sebagai karunia dari Allah, bukan dari senyuman yang dipaksakan, yang barangkali hanya akan memberi perasaan senang yang bersifat sementara.


Bapa, tolong kami agar di saat-saat sedih kami berpaling kepada-Mu. Beri kami kedamaian dan sukacita seperti yang dialami Daud ketika berseru kepada-Mu -MRDII


HATI YANG DIJAMAH ANUGERAH ALLAH AKAN MENAMPILKAN SUKACITA DI WAJAH


Sumber: Renungan Harian

Rabu, 19 Juni 2024

Karena Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga


Bacaan Alkitab hari ini:

Yosua 7


Peribahasa bahasa Indonesia "karena nila setitik, rusak susu sebelanga" menggambarkan apa yang terjadi dalam bacaan Alkitab hari ini. Ada seorang bernama Akhan yang mencuri barang jarahan saat terjadi perang melawan penduduk Yerikho. Akhan berdosa karena barang jarahan itu seharusnya dibawa ke dalam perbendaharaan Rumah Tuhan (6:18-19). Perbuatan satu orang membuat seluruh umat Israel menanggung akibatnya, yaitu kekalahan dalam peperangan untuk merebut kota Ai yang lebih kecil daripada kota Yerikho. Mengapa seluruh umat Israel harus menanggung hukuman atas kesalahan satu orang? Ingatlah bahwa janji pemberian Tanah Kanaan itu ditujukan bagi seluruh umat Israel, bukan ditujukan untuk perorangan! Oleh karena itu, tuntutan kekudusan Allah juga ditujukan bagi seluruh umat Israel.


Setelah penduduk kota Yerikho berhasil ditaklukkan, bangsa Israel menjadi sangat percaya diri. Tanpa menanti perintah Tuhan, mereka menyerang Kota Ai hanya dengan dua-tiga ribu orang saja (7:3) padahal penduduk Kota Ai seluruhnya ada dua belas ribu orang (8:25). Mereka yakin bahwa mereka akan bisa memenangkan peperangan tanpa perlu melibatkan Allah, karena sebelumnya mereka telah berhasil menaklukkan kota Yerikho yang jauh lebih besar. Mereka tidak sadar bahwa yang berperang melawan penduduk Yerikho bukan mereka, tetapi Tuhan! Setelah mengalami kekalahan, barulah Yosua datang kepada Allah, Yosua menyalahkan Allah, bahkan sikapnya sama seperti sikap bangsa Israel saat di padang gurun (Keluaran 17:3, Bilangan 14:3), padahal Allah belum menyuruh mereka menyerang kota Ai. Jadi, baik Akhan maupun bangsa Israel sama-sama bersalah: Akhan mencuri harta yang dikuduskan untuk Tuhan dan umat Israel mencuri kemuliaan Tuhan. Konsekuensinya, bangsa Israel mengalami kekalahan dalam perang dan Akhan dihukum rajam. Melalui hukuman itu, Allah memperlihatkan bahwa Ia hadir di tengah umat-Nya dan Ia menuntut agar Umat-Nya hidup dalam kekudusan.


Bila Anda merasa bangga atas keberhasilan yang telah Anda raih, sadarilah bahwa sebenarnya, seluruh keberhasilan Anda merupakan anugerah Allah, sehingga membanggakan diri berarti mencuri apa yang menjadi milik Allah. Apakah keberhasilan yang telah Anda raih membuat Anda membanggakan diri dan merasa sanggup melakukan apa saja serta tidak memerlukan pertolongan Tuhan? Ingatlah bahwa membanggakan diri dan merasa mampu—sehingga merasa tidak memerlukan Tuhan—merupakan dosa yang bisa berdampak pada keluarga atau gereja atau komunitas lain tempat Anda berada. Marilah kita saling mengingatkan agar hidup kita sesuai dengan firman Tuhan! [GI Benny Wijaya]


Sumber: Renungan GKY


Selasa, 18 Juni 2024

Betah di Bandara


Merhan Karimi Nasseri, warga Iran, dicabut kewarganegaraannya ketika menaiki pesawat terbang menuju Paris. Paspornya diambil.

Tanpa bukti kewarganegaraan, setiba di Paris ia tidak diizinkan meninggalkan bandara.

Selama sebelas tahun ia tinggal di Terminal 1; mandi di toilet bandara, dan hidup dari bantuan staf bandara.


Pada 1999, pemerintah Prancis akhirnya memberinya izin untuk tinggal dan bekerja. Sekarang ia bebas pergi ke mana pun.

Anehnya, ia memilih tetap tinggal di bandara-sudah telanjur betah. Setelah dibujuk beberapa hari, baru ia mau pergi.


Sebuah bandara, sebesar dan sebagus apa pun, bukan rumah. Begitu juga dunia ini bukan rumah sejati kita. Rasul Paulus mengingatkan, kita adalah warga sorga. Kita tinggal di dunia hanya sementara. "Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat," (Filipi 3:20).


Maka, jangan sampai terlalu lekat dengan daya tarik dan kenikmatannya. Gaya hidup masih mementingkan perkara duniawi. Yang dikejar melulu soal kenikmatan, kemewahan, kehormatan, dan keuntungan. Sebagai warga sorga, cara hidup kristiani seharusnya berbeda - mengejar hal yang bernilai kekal, seperti kasih, keadilan, dan kebenaran.


Orang yang terlalu lekat pada dunia akan takut meninggalkan dunia ini apabila saatnya tiba. Segala hal yang telah telanjur digenggam erat biasanya sangat sulit dilepaskan. Saat hati terpikat oleh silaunya dunia, sorga tidak lagi tampak mempesona. Maka, bersyukurlah jika terkadang Tuhan mengizinkan kita mengalami kehilangan, baik benda, kuasa, maupun kekasih tercinta. Semuanya menyadarkan bahwa dunia bukan rumah kita. Semuanya fana dan akan lenyap.


Sumber: Renungan Kristen

Senin, 17 Juni 2024

Laut Yang Tidak Kunjung Penuh


Bacaan: Pengkhotbah 1:7


Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang.- 2 Petrus 1:5-7


Gelas ini setengah penuh atau setengah kosong?” merupakan pertanyaan yang seringkali dipakai untuk mengetahui apakah seseorang memiliki kepribadian yang optimis atau pesimis. Jika jawabannya, “setengah penuh” berarti ia seorang optimis. Jika jawabannya, “setengah kosong” berarti ia seorang pesimis.

Namun, terlepas dari apakah ungkapan yang digunakan bernuansa optimistik atau pesimistik, faktanya adalah gelas itu tetap hanya setengah terisi dan akan selamanya begitu.


Demikianlah hidup. Sesudah membandingkan dengan bumi, matahari, dan angin, kini Salomo membandingkan manusia dengan laut dan sungai. Laut terus menerus mendapatkan aliran air dari sungai, tetapi laut tidak terlihat bertambah (meski penelitian tentang global warming menunjukkan adanya peningkatan permukaan laut, tetapi hal ini tidak ada kaitannya). Manusia pun demikian. Ada yang bekerja membanting tulang dari pagi sampai petang, tetapi tidak juga ia bertambah kaya.


Saat ini Anda mungkin mengalami stagnansi yang sama. Di dalam pekerjaan, karier Anda berhenti dan merasa terjebak di tempat kerja. Anda pun memikirkan untuk pindah pekerjaan dengan harapan bisa naik ke jenjang karier yang lebih tinggi, tetapi Anda takut untuk melangkah. Di dalam hubungan dengan pasangan atau anak-anak, Anda berusaha melakukan sesuatu untuk menghangatkan kasih yang sudah menjadi hambar. Namun, yang Anda dapatkan hanya jawaban-jawaban pendek “ya”, “hmmm”, “tidak” ketika memulai pembicaraan dengan mereka. Tidak ada kemajuan. Tidak mendapatkan hasil.


Mungkin Anda sedang melihat ke arah yang salah. Alih-alih terus-menerus melihat ke luar, bagaimana jika sekali-kali melihat ke dalam? Jika Anda menilai keberhasilan karier dari peningkatan gaji, Anda akan mudah putus asa dan berpikir mengalami kegagalan. Mungkin Tuhan Yesus mengizinkan ini terjadi supaya Anda bisa melihat diri menjadi pribadi yang lebih tahan banting, rajin, dan bertanggung jawab daripada yang dulu. Bukankah ini pun sebuah hasil? Ayo bertahan dan minta dalam doa kebijakan (pengetahuan), ketekunan, dan penguasaan diri dari Yesus. Niscaya Tuhan akan memperlengkapi Anda.


Refleksi Diri:

Apa usaha yang sedang Anda lakukan—baik dalam pekerjaan, relasi, pelayanan, maupun penginjilan—yang membuat Anda putus asa karena tidak melihat kemajuan?


Apakah ada kemajuan dalam diri Anda secara pribadi saat mengusahakan hal-hal tersebut?


Sumber: Renungan GII Hok Im Tong

Minggu, 16 Juni 2024

Ignorance Is Bliss


Bacaan: Pengkhotbah 1:12-18


karena di dalam banyak hikmat ada banyak susah hati, dan siapa memperbanyak pengetahuan, memperbanyak kesedihan.- Pengkhotbah 1:18


Ketika masih di seminari, saya pernah membagikan kerinduan saya untuk melanjutkan studi di bidang filsafat kepada kelompok persekutuan saya. Sementara rekan-rekan mahasiswa yang lain mengangguk ketika saya meminta mereka mendoakan saya, dosen saya sekaligus pemimpin kelompok persekutuan tersebut menyahut, entah bercanda atau tidak, “Saya doakan kamu tidak studi filsafat. Lihat saja filsuf-filsuf yang murung-murung. Kamu mau jadi seperti itu? Lebih baik belajar Alkitab saja.” Doa dosen saya terkabul. Saya tidak belajar filsafat dan sampai sekarang tampang saya tidak murung-murung. Itulah sebabnya saya bisa menulis renungan ini (mohon maaf sebelumnya bagi Anda yang filsuf).


Meskipun ucapan dosen saya itu mungkin hanyalah kelakar belaka, tetapi ada kebenaran yang terkandung di dalamnya. Semakin banyak hal yang kita mengerti, semakin banyak pula hal yang kita khawatirkan. Inilah maksud Raja Salomo dengan banyak hikmat menimbulkan banyak kesusahan hati dan mengapa pengejaran hikmat adalah sia-sia. Sentimen ini juga terkandung dalam ungkapan yang sangat terkenal: Ignorance is bliss. Secara sederhana ungkapan ini berarti lebih baik tidak tahu daripada tahu lalu menjadi pusing dan stres.


Lihat saja orang-orang desa yang terpencil, bahkan suku-suku primitif. Hidup orang-orang ini terlihat begitu sederhana dan bahagia karena mereka tidak tahu-menahu tentang berita-berita politik, ekonomi, atau kriminalitas yang merisaukan orang-orang kota kebanyakan. Selain itu, mereka juga tidak memiliki sosial media, tidak memiliki akses untuk melihat orang-orang yang lebih beruntung dari mereka. Inilah alasan mengapa mereka jarang merasa iri atau tenggelam dalam depresi. Orang-orang seperti ini hanya tahu kalau tetangga mereka tertimpa kemalangan, mereka harus siap menolong. Hidup yang sederhana, tetapi tenang.


Membaca dan mencari informasi adalah sesuatu yang baik. Namun, di era keterbukaan informasi, ada kalanya kita harus berhenti sejenak. Informasi-informasi yang dibagikan lewat grup sosial media, berita-berita di internet, bahkan buku-buku laris yang sedang tren mungkin sekali malah membuat kita dirundung perasaan-perasaan negatif, seperti khawatir, marah, atau takut. Jika ini yang kita rasakan, mungkin saatnya kita berhenti melahap informasi. Lebih baik mulai membaca Alkitab sambil mendekatkan diri kepada Tuhan Yesus. Jauh lebih sederhana, tetapi menenangkan hati dan membawa sukacita.


Refleksi Diri:

Berapa jam Anda habiskan per hari untuk menggali informasi atau mengikuti breaking news dan tren-tren terbaru? Apa yang Anda rasakan sesudahnya?


Bagaimana cara Anda membatasi diri dari informasi berlebihan dan memilih mendekatkan diri kepada Tuhan?


Sumber: Renungan GII Hok Im Tong

Sabtu, 15 Juni 2024

Ucapan Mencerminkan Hati Kita


Orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik. –Lukas 6:45


Ayat Bacaan & Wawasan :

Lukas 6:43-45


Bagaimana kita dapat membuang perkataan kotor dari ucapan kita? Sebuah SMA memutuskan untuk membuat janji “tidak ada kata-kata kotor”. Para siswa diharuskan untuk mengikrarkan janji ini: “Dengan kesungguhan hati, saya berjanji tidak akan menggunakan kata-kata kasar dan kotor dalam bentuk apa pun di dalam lingkungan dan wilayah [sekolah kita].” Usaha ini mulia, akan tetapi, menurut Yesus, tidak satu pun peraturan atau janji yang dapat menutupi bau busuk dari perkataan kotor.


Menghilangkan bau busuk dari perkataan yang diucapkan mulut kita harus dimulai dengan pembaruan hati. Yesus berkata bahwa sama seperti orang mengenali jenis pohon dari buahnya (Luk. 6:43-44), perkataan kita dapat menunjukkan dengan jelas apakah hati kita selaras dengan Dia dan kehendak-kehendak-Nya. Buah melambangkan perkataan seseorang, karena “yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya” (ay. 45). Kristus menegaskan bahwa apabila kita sungguh-sungguh ingin mengubah apa yang keluar dari mulut kita, maka pertama-tama hati kitalah yang harus diubahkan dengan pertolongan-Nya.


Janji yang diucapkan saja tak mungkin dapat mengekang ucapan kasar yang keluar dari hati yang belum diubahkan. Kita hanya dapat membuang kata-kata kotor dengan terlebih dahulu percaya kepada Yesus (1 Kor. 12:3), dan kemudian mengundang Roh Kudus untuk memenuhi kita (Ef. 5:18). Roh Kudus akan bekerja di dalam diri kita untuk mengilhami dan menolong kita agar tekun menaikkan syukur kepada Allah (ay. 20) dan mengucapkan perkataan yang membangun dan menguatkan orang lain (4:15,29; Kol. 4:6).


Oleh:  Marvin Williams


Renungkan dan Doakan

Apa yang diungkapkan ucapan saya tentang hati saya? Bagaimana saya dapat mengundang Roh Kudus untuk mengubah perkataan saya sekarang ini?


Tuhan Yesus, tolonglah aku untuk mengucapkan kata-kata yang memuliakan-Mu dan menguatkan orang lain.


Sumber: Our Daily Bread

Jumat, 14 Juni 2024

UKURAN KASIH


Bacaan: 1 Yohanes 4:7-21


NATS: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya (1 Yohanes 4:21)


Ketika mengunjungi rumah seorang kristiani, saya melihat kata-kata ini terpampang pada sebuah hiasan dinding: "Engkau mengasihi Yesus seperti kau mengasihi orang yang paling tidak kaukasihi." Saya tersentak membaca kata-kata itu. Namun kemudian saya menemukan kata-kata serupa dalam 1 Yohanes 4:20, "Barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya."


Setelah itu saya sering mendapati diri saya mengkritik orang lain dengan mengabaikan kesalahan saya sendiri yang justru lebih mencolok. Jika saya mengasihi Yesus sebesar kasih saya terhadap orang yang saya kritik, berarti saya sedikit sekali mengasihi-Nya. Ini membuat saya sedih dan kecewa, karena sepertinya saya tidak mampu mengasihi Yesus dan sesama dengan semestinya.


Dalam 1 Yohanes 4:10, kita tahu bahwa kasih yang sejati tidak dapat diukur melalui kasih kita kepada Allah, tetapi melalui kasih-Nya kepada kita. Dia menunjukkan kedalaman kasih-Nya melalui kematian Yesus untuk menebus dosa-dosa kita. Itulah teladan kita. "Jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi" (ayat 11).


Kini setiap kali saya gagal mengasihi orang lain, saya memohon ampun kepada Allah. Saya minta agar Dia menolong saya menunjukkan kepada sesama, kasih yang Dia berikan kepada saya.


Adakah Anda rindu untuk lebih mengasihi Yesus? Mulailah dengan mengasihi orang-orang di sekitar Anda. Ingatlah, kasih kepada Yesus dan kasih kepada sesama selalu berjalan beriringan -JEY


KASIH ADALAH KEHENDAK ALLAH DALAM TINDAKAN


Sumber: Renungan Harian

Kamis, 13 Juni 2024

Nasihat dari Seorang yang Lebih Tua

Hendaklah kalian baik hati dan berbelaskasihan seorang terhadap yang lain. –Efesus 4:32 (BIMK)

Ayat Bacaan & Wawasan :
Efesus 4:29-32

“Apa yang kusesalkan?” Itulah pertanyaan yang dijawab oleh George Saunders, penulis buku terlaris New York Times, dalam pidatonya pada acara wisuda Universitas Syracuse tahun 2013. Cerita dari seseorang yang berusia lebih tua (Saunders) tentang sejumlah penyesalan yang dialami dalam hidupnya itu dimaksudkan agar mereka yang lebih muda (para wisudawan) dapat menerima hikmah dari pengalamannya. Ia menyebutkan beberapa hal yang mungkin diduga orang akan disesalinya, seperti jatuh miskin dan pengalaman bekerja yang kurang menyenangkan. Akan tetapi, Saunders sama sekali tidak menyesalkan semua itu. Yang benar-benar ia sesalkan justru adalah kegagalan untuk berbuat baik, yaitu kesempatan-kesempatan yang dimilikinya untuk berbaik hati kepada seseorang, tetapi tidak dilakukannya.

Rasul Paulus menulis kepada orang-orang percaya di Efesus untuk menjawab pertanyaan ini: Apa ciri-ciri hidup orang Kristen? Kita mungkin cenderung menggampangkan jawaban kita, dengan menyatakan bahwa menjadi Kristen berarti menganut pandangan politik tertentu, menghindari buku-buku atau film-film tertentu, atau beribadah dengan cara tertentu. Namun, apa yang dikemukakan Paulus tidak terbatas pada isu-isu kontemporer. Memang ia menyebut tentang menjauhi “perkataan kotor” (Ef. 4:29) dan membuang hal-hal seperti kepahitan dan kemarahan (ay. 31). Namun kemudian, sebagai penutup, Paulus menasihati orang-orang Efesus, dan juga kita, “Hendaklah kalian baik hati dan berbelaskasihan seorang terhadap yang lain” (ay. 32 BIMK). Alasannya adalah karena di dalam Kristus, Allah telah berbaik hati kepada kita.

Dari semua hal yang kita yakini sebagai ciri hidup orang percaya di dalam Tuhan, salah satunya pastilah kebaikan hati.

Oleh: John Blase

Renungkan dan Doakan
Dalam hal apa baru-baru ini Anda telah gagal berbuat baik? Bagaimana Anda dapat berbaik hati kepada seseorang hari ini?

Tuhan Yesus yang baik, sebagaimana Engkau telah begitu baik kepadaku, tolonglah aku untuk berbuat baik kepada sesamaku.

Sumber: Our Daily Bread