Jumat, 25 November 2011


Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: 
"Janganlah pandang parasnya 
atau perawakan yang tinggi, 
sebab Aku telah menolaknya. 
Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; 
manusia melihat apa yang di depan mata, 
tetapi TUHAN melihat hati." 
( 1 Samuel 16:7 )

Mungkin kita kadang tertipu ...
Oleh paras dan perawakan orang ...
Sehingga salah memilih ...

Tetapi jangan-jangan ...
Kita juga sering menipu ... ?

Saat dilihat orang ...
'Paras' kita begitu tampannya ...
'Perawakan' kita begitu gagahnya ....

Sepertinya orang baik ...
Dengan iman yang kokoh ...
Bahkan mungkin ...
Seorang 'hamba'-Nya ...

Tetapi ...
Saat tak ada yang melihat ...
Saat kita sendirian ....
Jauh dari semua yang mengenal kita ...
Siapa sebenarnya kita ini ... ?
Bagaimana sebenarnya kita ini ... ?

Saat kita hadir ...
Tanpa polesan apa pun ... 
Saat hati kita jujur tampil apa adanya ...
Adakah mereka masih 'memilih' kita ... ?

Tuhan Yesus memberkati.

Sumber: Renungan Pagi Joshua Hendro





Selasa, 22 November 2011

BERIMAN ALA KATAK



Sebab jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan
kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama
dengan kebangkitan-Nya (Roma 6:5)


   Suatu kali di sebuah gereja terdengar bahwa si A mempersembahkan
   sejumlah besar uang persembahan. Orang-orang sampai berdecak kagum
   dan berkata: "Gile bener ...." Beberapa minggu kemudian, terdengar
   lagi berita lain bahwa si A tadi sedang diadili karena kasus
   korupsi, yang jumlahnya sepuluh kali lipat dari jumlah kolektenya
   yang "menggemparkan". Orang lantas berkomentar: "Wah, kalau ini ...
   gile beneran!"

   Bagi orang beriman, selalu ada godaan untuk hidup seperti katak yang
   bisa hidup di dua alam hidup di air dan di darat yakni orang-orang
   yang bisa hidup di dalam terang, sekaligus di dalam gelap. Pada hari
   Minggu, sikapnya bisa amat berbeda dengan sikap hidupnya pada hari
   Senin sampai Sabtu. Ia bisa begitu alim dan suci saat berada di
   gereja, tetapi ketika kembali ke rumah dan pekerjaan, ia menjadi
   serigala beringas bagi sesamanya. Tak heran, persekutuan jemaat
   kemudian menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang "bertopeng"!
   Tentu hal ini tidak bisa dipukul rata, tetapi kecenderungan semacam
   ini bisa terjadi di mana-mana, di antara orang kristiani.

   Itu sebabnya kita sangat perlu mengingat pesan Paulus, bahwa kita
   telah mati bagi dosa (Roma 6:2). Akan sungguh aneh jika orang
   mengaku kristiani, tetapi masih bisa hidup bagi dosa yang berarti
   malah "mematikan" Kristus yang hendak berkarya di hidupnya. Jika hal
   demikian bisa terjadi, berarti hidupnya belum sungguh-sungguh baru
   (ayat 4). Menjalani hidup baru memang tak mudah. Bukan lagi
   menghambakan diri pada dosa, melainkan kepada Kristus. Yakni dengan
   setia menaati perintah-perintah Kristus setiap hari, agar terjadi
   perubahan radikal dalam pola pikir serta tindakannya.

HIDUP YANG SETIAP HARI DIJALANI BAGI KRISTUS
AKAN MENDATANGKAN SUKACITA DAN BERKAT PENUH


Sumber: e-Renungan Harian

Minggu, 20 November 2011


IKAN BAKAR


Aku mau bersyukur kepada-Mu di antara bangsa-bangsa, ya Tuhan,
aku mau bermazmur bagi-Mu di antara suku-suku bangsa (Mazmur
57:10)
                                
  
   Tempat makan ikan bakar kesukaan saya adalah sebuah warung di
   pinggir sebuah sungai, di daerah perumahan yang bersebelahan dengan
   kompleks perumahan tempat saya tinggal. Lokasi warung ini cukup
   sulit dicari. Bahkan, walaupun sudah terlihat, warung itu tidak
   tampak meyakinkan. Namun, warung ini hampir tidak pernah sepi
   pengunjung. Bagaimana orang-orang itu, termasuk saya, bisa tahu
   mengenai warung tersebut? Melalui cerita dari orang-orang yang
   merasa puas dengan kelezatan ikan bakar yang dijualnya.

   Adalah normal kalau seseorang bercerita dan mengajak orang lain
   untuk ikut merasakan pengalaman menyenangkan yang sudah dialaminya.
   Tak heran, setelah Daud merasakan kasih Allah yang menyelamatkannya
   dari musuh, ia begitu antusias menceritakannya kepada orang-orang.
   Daud merasa sedemikian bersukacita sehingga ia sangat terdorong
   untuk bersaksi tentang Allah kepada siapa pun.Termasuk kepada
   bangsa-bangsa yang belum mengenal Dia.

   Seperti Daud, sebagai orang-orang yang sudah dikasihi Tuhan,
   bukankah seharusnya kita juga selalu antusias bersaksi tentang
   Tuhan? Namun, mengapa banyak orang kristiani belum melakukannya?
   Penghalang pertama, sangat mungkin adalah kurangnya kesadaran kita
   akan karya Tuhan. Maka, kita perlu kerap menyediakan waktu untuk
   mengingat segala berkat Tuhan di hidup kita. Khususnya bagaimana di
   kayu salib Yesus mengingat dosa kita dan menghapusnya di situ.
   Penghalang kedua, bisa jadi adalah rasa takut berbagi. Untuk ini,
   mintalah keberanian dari Roh Kudus. Jika pengalaman makan ikan bakar
   yang nikmat bisa dibagikan dengan antusias, mengapa pengalaman
   dikasihi Allah tidak bisa kita ceritakan?

              BIASAKAN DIRI UNTUK MENERUSKAN HAL-HAL BAIK
     KHUSUSNYA SETIAP KARYA TUHAN YANG TERUS TERJADI DI HIDUP KITA


   Sumber: e-Renungan Harian

Sabtu, 19 November 2011

SIKAP TERHADAP MUSUH



Yunus 4:1
====================
"Tetapi hal itu sangat mengesalkan hati Yunus, lalu marahlah ia."



Apa reaksi anda ketika musuh atau orang yang tidak anda sukai jatuh? Kebanyakan orang akan bereaksi dengan menunjukkan rasa puas dan senang. Kata-kata yang menunjukkan kepuasan melihat musuh jatuh bisa beragam mulai dari yang biasa-biasa saja seperti, "kapok", "rasain", bahkan sampai kasar dan diikuti kata-kata yang mengutuk.  Secara umum orang akan spontan bereaksi seperti itu, bahkan tidak jarang pula rasa sakit hati dan dendam membuat orang berusaha sedapat mungkin untuk menjatuhkan hingga mencelakakan mereka. Semakin lama orang menganggap hal itu sebagai hal yang wajar. Toh orang yang terkena itu sudah terlebih dahulu berdosa terhadap kita, berniat buruk dan sebagainya. Tapi apakah itu yang dianjurkan oleh Tuhan? Apakah itu bentuk pengajaran kekristenan? Bolehkah itu menjadi cerminan orang-orang percaya? Sesungguhnya tidak ada satupun alasan bagi kita untuk menunjukkan sikap seperti itu. Kita seharusnya memiliki kasih Kristus di dalam diri kita yang sama sekali tidak menyediakan tempat buat bersukacita terhadap kejatuhan orang lain, sejahat apapun mereka pernah lakukan atas diri kita. Ini bukan hal yang gampang, itu benar, karena rasa sakit hati bisa mencemari hati kita sedemikian rupa sehingga kita merasa harus membalas agar rasa sakit itu berkurang, setidaknya akan merasa gembira sekali ketika mereka mengalami hal yang buruk dalam hidup mereka. Tetapi dengan tegas Tuhan menyatakan hal yang berbeda. No excuse, no matter what, we still have to forgive our enemies, even to love and pray for them.

Kita bisa melihat reaksi Yunus yang disuruh Tuhan untuk mengingatkan bangsa Niniwe agar bertobat. Sikap bandel dan penolakannya di awal turunnya tugas dari Tuhan membuatnya harus masuk ke dalam perut ikan bukan semenit, sejam tetapi selama tiga hari dan tiga malam lamanya. (Yunus 1:17). Hal itu membuatnya lumayan jera, oleh karena itu setelah ia keluar dari perut ikan ia pun kemudian memutuskan untuk taat terhadap perintah Tuhan. Yunus lalu pergi untuk mengingatkan Niniwe agar mau bertobat. Dan pertobatan bangsa Niniwe pun hadir. Seisi Niniwe berbalik dari tingkah laku yang jahat dan berselubung kain kabung tanda pertobatan. Bukan hanya manusia, tetapi ternak-ternak pun demikian. Melihat itu, Tuhan pun mengampuni mereka. "Ketika Allah melihat perbuatan mereka itu, yakni bagaimana mereka berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Iapun tidak jadi melakukannya." (3:10). Bagaimana respon seharusnya dari Yunus? Seharusnya ia bersukacita. Seharusnya ia merasa lega, bahwa tugas maha berat yang dibebankan kepadanya mampu ia selesaikan dengan baik. Seharusnya Yunus merasa senang melihat begitu banyak manusia yang terluput dari kebinasaan dan beroleh keselamatan. Tapi kenyataannya bukan itu yang menjadi respon Yunus. Justru sebaliknya, Alkitab mencatat respon Yunus adalah seperti ini: "Tetapi hal itu sangat mengesalkan hati Yunus, lalu marahlah ia." (Yunus 4:1). Yunus ternyata masih menyimpan amarah. Ia tahu bangsa Niniwe penuh dengan kejahatan. Niniwe pada saat itu merupakan musuh bebuyutan dari Israel. Lalu untuk apa Allah Israel menyelamatkan musuh dari umatNya sendiri? Seharusnya mereka mati saja, itu lebih baik. Itu mungkin yang menjadi isi hati Yunus. Ia mengira bahwa hanya bangsa Israel saja yang mendapat janji Tuhan, dan dengan demikian hanya Israel lah satu-satunya yang berhak diselamatkan, sedang yang lain biar saja binasa. Yunus bahkan berterus terang menunjukkan sikap kesalnya melihat Niniwe diselamatkan. Tapi pikiran seperti itu sungguh salah. Lewat pohon jarak yang ditumbuhkan dan kemudian layu di hari selanjutnya Tuhan memberi pelajaran kepada Yunus bahwa bukan hanya Israel, tapi bangsa-bangsa lain pun layak untuk dikasihi Tuhan. "Lalu Allah berfirman: "Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikitpun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula. Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?" (Yunus 4:10-11). Bukankah bangsa itu pun merupakan ciptaan yang berasal dari Tuhan? Bukankah mereka juga diciptakan menurut gambar dan rupaNya? Jika demikian, bagaimana mungkin Tuhan tidak mengasihi mereka juga dan rindu untuk melihat mereka selamat?

Perhatikanlah. Yunus memang mentaati perintah Tuhan. Ia mendapat pelajaran berharga ketika berpikir bahwa ia bisa lari dari perintah Tuhan dan harus mengendap di dalam perut ikan besar yang bau dan lembab selama tiga hari tiga malam. Namun ternyata itu belum cukup untuk melembutkan hatinya. Ia patuh, tetapi hatinya masih sama kerasnya seperti saat ia melarikan diri dari penugasan Tuhan. Di dalam hatinya ia masih tetap menginginkan kehancuran Niniwe. Win-win solution yang ia harapkan adalah ia tidak dihukum karena patuh, tetapi bangsa itu tetap hancur lebur. Itu bukanlah sikap yang diinginkan Tuhan untuk kita miliki. Ada banyak orang-orang yang pernah, sedang atau pada suatu hari kelak menyakiti kita. Terhadap mereka kita tidak diperbolehkan untuk mendendam apalagi mengutuk. Justru yang diinginkan Tuhan adalah sebentuk kasih yang didalamnya terdapat pengampunan tanpa batas. Kita juga dituntut untuk selalu berbuat baik bagi mereka, bahkan mendoakan mereka. "Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu... kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat." (Lukas 6:27,35). Dalam Injil Matius dikatakan "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." (Matius 5:44). Ini merupakan perintah yang sangat penting untuk dijalankan, meski harus diakui beratnya mungkin minta ampun. Tapi ingatlah bahwa ketika kita tidak sanggup melakukan itu dengan kemampuan kita sendiri, ada Roh Kudus di dalam diri kita yang akan memampukan kita untuk melakukan itu.

Mari kita menjaga hati kita agar tidak terperosok kepada pemahaman keliru seperti Yunus. Tetaplah berbuat baik, jangan terpengaruh oleh provokasi atau pancingan-pancingan dari orang yang berlaku jahat. Jangan membalas dengan berbuat jahat lagi, jangan bersenang di balik kejatuhan mereka, tetapi sebaliknya ampuni, kasihi dan doakanlah mereka. Jika itu terasa sulit, berdoalah dan minta agar Roh Kudus memampukan kita untuk melakukannya. Dari Yunus kita bisa belajar, meski kita sudah melakukan tindakan yang benar, tetapi kita masih mungkin berbuat kesalahan jika kita tidak menjaga hati kita agar tetap seturut kehendak Allah. Mari miliki hati yang lembut dan penuh kasih, karena Allah pun memperlakukan kita semua dengan cara seperti itu.

Kemampuan mengasihi musuh dan berdoa bagi mereka mengarahkan kita untuk semakin mendekati kesempurnaan Bapa di surga


Diedit dari Renungan Harian Online

Jumat, 18 November 2011

SIAPAKAH ANDALANMU?




Tetapi carilah Kerajaan-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan
juga kepadamu (Lukas 12:31)


Ketamakan dapat melanda siapa saja. Bukan hanya orang yang
berkuasa, orang miskin dan tidak memiliki kuasa juga bisa salah
menyikapi harta di hidupnya. Ketamakan orang yang berkuasa
menimbulkan tindak korupsi, ketamakan orang miskin menghalalkan
pencurian. Semua didasari oleh sikap mengandalkan harta, lebih dari
mengandalkan Tuhan.

Berlawanan dengan sikap hidup demikian, Tuhan Yesus mengajar orang
beriman supaya memercayai pemeliharaan Allah di hidupnya.
Tantangan-Nya agar orang menjual segala milik dan memberikan sedekah
adalah jawaban radikal supaya orang bisa terlepas dari belenggu
harta yang menghalanginya untuk menemukan Kerajaan Allah. Ketamakan
manusia yang menimbun harta, akan menyebabkan ketidakseimbangan,
ketidakadilan, dan kecemburuan sosial. Pesan ini tidak hanya
berbicara pada zaman itu karena adanya ketimpangan sosial antara
orang miskin yang tertindas oleh penjajah, dan kalangan orang kaya
yang berkolusi dengan penguasa. Namun, juga berbicara untuk saat ini
dan di negeri ini, di mana banyak terjadi kolusi antara para
pemegang kuasa dan uang, untuk memperkaya diri.

Hidup yang mengandalkan Tuhan membuahkan sikap hidup mau berbagi.
Sebaliknya, hidup yang mengandalkan harta membuat orang tamak dan
mementingkan diri sendiri. Tuhan tahu kita memerlukan harta untuk
hidup, tetapi harta itu sama sekali tak boleh menjadi andalan. Tuhan
Yesus menghendaki agar kita mencari Kerajaan Allah lebih dulu, baru
yang lain akan ditambahkan. Tuhan kita tak pernah ingkar janji.
Maka, ketika kita mengandalkan pemeliharaan Tuhan, kita tak akan
kecewa.

KETAMAKAN ADALAH USAHA MEMPEROLEH BAGIAN HIDUP
YANG MERUSAK HIDUP ITU SENDIRI


Sumber: e-Renungan Harian


Kamis, 17 November 2011

Renungan Pagi


Bodohlah yang menyatakan sakit hatinya seketika itu juga,
tetapi bijak, yang mengabaikan cemooh.
( Amsal 12:16 )


Mungkin ...
Dulu kita belum tahu firman ini ...
Sehingga ...
Kita lakukan 'kebodohan' itu ...

Begitu hati ini panas ...
Langsung marah ...
Begitu marah ...
Langsung teriak ...

Tanpa sempat ...
Untuk sedikit merenungkannya dahulu ...
Setiap kata yang akan kita ucapkan ...

Tapi ...
Itu duluuuu ...
Saat kita belum tahu ...
Bahwa itu 'bodoh' ...

Tetapi ...
'Istilah' apa lagi yang pantas buat kita ...
Bila kita sudah tahu ...
Bahwa hal itu 'bodoh' ...
Tetapi ...
Tetap saja kita lakukan ... ?

Jadi ...
Akankah tetap kita lakukan hari ini ... ?

Tuhan Yesus memberkati.

Sumber: Renungan Pagi Joshua Hendro

Rabu, 16 November 2011

Tuhan Mengetahui dan Menyelidiki Segala Sesuatu


 Amsal 15:3
================
"Mata TUHAN ada di segala tempat, mengawasi orang jahat dan orang baik."


Ada sebuah reality show di televisi untuk mencari bakat ternyata memasang kamera pengintai atau cctv di berbagai sudut rumah dimana para pesertanya dikarantina. Kamera ini terus merekam apapun yang mereka lakukan tanpa mereka ketahui. Tujuannya adalah untuk mengintai bagaimana perilaku mereka sehari-hari ketika mereka mengira bahwa mereka sedang tidak disorot oleh kamera. Ada beberapa dari kontestan ini menunjukkan perilaku yang jauh berbeda dibandingkan pada saat mereka berada di depan kamera. Jika pada saat terekam mereka ramah, murah senyum dan baik, lewat cctv itu perilaku asli mereka yang kasar, egois dan sinis jelas terlihat. Teknologi yang semakin maju saat ini sudah memungkinkan kita untuk bisa memantau situasi dari jarak yang sangat jauh dari lokasi. Alat-alat seperti webcam, cctv dan sebagainya bisa membuat kita mampu untuk memantau tanpa terbatas lagi oleh jarak.

Jika teknologi masih terus berusaha untuk mengungkapkan hal-hal yang sulit ditangkap mata lebih jauh, mata Tuhan sudah sejak awal mampu berfungsi seperti itu. Tuhan sanggup berada di segala tempat pada satu waktu yang sama untuk memantau apa saja yang kita lakukan. Salomo menyadari kuasa Tuhan ini sejak dulu. "Mata TUHAN ada di segala tempat, mengawasi orang jahat dan orang baik." (Amsal 15:3). Tidak ada satupun tempat di alam semesta ini yang berada di luar jangkauan penglihatan Tuhan. Semua ini menunjukkan bagaimana mata Tuhan mampu menjangkau segala sudut terkecil sekalipun dari hidup kita. MataNya ada dimana-mana, di segala tempat, mengawasi yang jahat dan yang baik.

Bagi orang hidup benar, mengasihi Tuhan dan melakukan kehendakNya tentu ini merupakan sebuah kabar yang menggembirakan. Kita tahu sekarang bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kita, Dia ada bersama kita dalam setiap waktu, baik dalam keadaan suka maupun duka, dalam keadaan tenang maupun penuh gejolak. Sebaliknya bagi  orang jahat, orang yang terus memilih untuk hidup cemar dalam berbagai perbuatan dosa, ini adalah sebuah kabar buruk. Jika ada orang yang selama ini berpikir bahwa bisa selamat jika perbuatan jahatnya tidak diketahui orang lain, berpikir bahwa jika tidak terlihat maka mereka akan selamat, dari rangkaian ayat-ayat di atas kita bisa melihat bahwa tidak ada tempat atau kesempatan sedikit pun sebenarnya untuk menyembunyikan diri dari sorot mata Tuhan.

Penulis Ibrani menyatakan "Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab." (Ibrani 4:13). Baik atau jahat, semuanya akan sangat transparan di mata Tuhan, bahkan apa yang ada di dalam hati dan pikiran kita pun sesungguhnya terbuka di mata Tuhan. Apapun yang kita lakukan, rencana yang ada di pikiran kita atau perasaan dalam hati kita, ingatlah bahwa Tuhan sedang memandang dan akan terus memantau kita. Maka hendaklah kita menjaga sikap, perbuatan, pikiran, perasaan, tingkah laku dan perkataan kita agar seturut kehendakNya. Mari kita buat Tuhan tersenyum bahagia dan bangga melihat bagaimana kita menjalani hidup dengan sebaik-baiknya seperti yang Dia inginkan dalam segala sesuatu, baik ketika terlihat oleh orang lain maupun ketika kita sedang sendirian tanpa ada yang melihat.

"Karena mata TUHAN menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang bersungguh hati terhadap Dia."
(2 Tawarikh 16:9)



Sumber: diedit dari Renungan Harian Online


Selasa, 15 November 2011

BERSUNGUT – SUNGUT


 Di padang gurun ini 
bangkai-bangkaimu akan berhantaran,
yakni semua orang di antara kamu yang dicatat,
semua tanpa terkecuali
yang berumur dua puluh tahun ke atas,
karena kamu telah bersungut-sungut kepada-Ku.
( Bilangan 14:29 )

Huhh ...
Pck Cckk ...
Hhiihhh ...

Mungkin hanya itu yang kita ucapkan ...
Tak banyak ...
Tak panjang ...

Hanya sepotong kata ...

Tapi seringkali ...
Itulah gambaran hati kita ...
Yang tidak puas ...
Kecewa ...

Wajar ... ?
Mungkin ...

Tetapi bukankah jadi tidak wajar ...
Bila itu selalu ...
Menjadi pembuka hari kita ... ?

Bangun tidur ...
Langsung bersungut-sungut ... ?
Dan terus mewarnai hari kita ...

Ah ...
Tuhan pernah marah besar ...
Kepada satu bangsa yang bersungut-sungut ...

Bukankah kita ...
Tak mau menjadi salah satu di antaranya ... ?


Tuhan Yesus memberkati.


Sumber: Renungan Pagi Joshua Hendro

Senin, 14 November 2011

Maaf, Saya Tidak Punya Waktu!!


Efesus 5:16
Dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat.

Kalimat di atas bukan hal yang asing, tapi pasti kita sering mendengarnya. Mungkin baru beberapa menit yang lalu ada seseorang yang mengatakannya. Tapi kalimat itu kontra produktif dengan karakter Allah yang selalu punya waktu untuk beraktivitas. Mungkin sedikit dari kita yang menganalisa, betapa destruktifnya makna dibalik kalimat tersebut. Ketika Rasul Paulus mengatakan agar kita menggunakan waktu yang ada, ia ingin menekankan kita harus bekerja lebih keras dari iblis. Ini lebih berupa perintah daripada sekedar himbauan. 2 Petrus 5:8 mengingatkan kita untuk sadar dan berjaga-jaga, sebab lawan kita, si iblis sedang berkeliling mencari siapa saja yang dapat ditelannya alias ia sedang bekerja keras. Jika Anda tidak punya waktu untuk berjaga-jaga, Anda akan ditelannya.

Pernahkah Anda renungkan bagaimana perasaan Allah ketika kita berkata, "Maaf, saya tidak punya waktu!" Ia juga berkata, "Engkau menyebut Aku Bapa, tapi tidak menghormati Aku. Engkau menyebut Aku Tuhan, tapi tidak melayani Aku. Engkau menyebut Aku sahabat, tapi tidak meyembah Aku. Maaf bila suatu saat engkau bertanya apakah namamu tercantum dalam kitab Kehidupan-Ku, saat itulah Aku akan berkata, ‘Maaf, Aku tidak punya waktu untuk menuliskannya.'" Jelas penyesalan tidak berguna, karena itu selagi masih ada waktu mari kita sediakan waktu untuk Dia.

Milikilah waktu bersama dengan Dia, sebagai bukti Anda sungguh mengasihi-Nya.

Sumber: Renungan Harian Kita

Minggu, 13 November 2011

Jauh Melebihi Emas Murni


"Itulah sebabnya aku mencintai perintah-perintah-Mu lebih dari pada emas, bahkan dari pada emas tua." (Mazmur 119:127)

Semakin lama semakin banyak orang yang lebih suka berinvestasi dalam logam emas ketimbang menabung uang di bank. Kondisi ekonomi dunia yang tidak menentu membuat nilai tukar mata uang menjadi sulit diprediksi. Ketika tiba-tiba terjadi goncangan, nilai mata uang ini bisa anjlok seketika. Belum lagi jika bank yang bersangkutan mengalami masalah serius. Pemerintah memang menjamin, tetapi bayangkan betapa repot urusannya. Selain itu menabung dalam bentuk emas dianggap akan memberikan keuntungan yang lebih jika dibandingkan kisaran bunga yang ditawarkan oleh bank. Jika menyimpan dalam bentuk emas yang sudah menjadi perhiasan saja sudah menguntungkan, bayangkan apabila investasi dilakukan dalam bentuk emas murni, emas 24 karat alias emas dengan kadar kemurnian 99.99%. Harga emas dinilai banyak orang jauh lebih stabil dibanding nilai mata tukar uang dan tidak terlalu terpengaruh oleh berbagai goncangan moneter atau ekonomi dunia. Bahkan ketika krisis ekonomi terjadi beberapa tahun yang lalu, ada negara yang pulih dengan cepat karena ternyata mereka memiliki cadangan emas yang banyak. Ini menunjukkan betapa berharganya emas di dunia.

Tetapi dengarlah kata Daud, bahwa ada sesuatu yang ternyata jauh lebih berharga dibandingkan emas, bahkan emas murni atau emas yang sudah lama sekalipun. Apakah itu? Daud menyebutkan bahwa apa yang jauh lebih berharga dari emas itu tidak lain adalah Firman Tuhan. "Itulah sebabnya aku mencintai perintah-perintah-Mu lebih dari pada emas, bahkan dari pada emas tua." (Mazmur 119:127). Betapa berharganya, betapa bernilainya, betapa berkuasanya firman Tuhan. Perhatikan bahwa hal ini dikatakan oleh Daud, seorang Raja Israel dengan harta yang banyak. Artinya, meski Daud tahu bagaimana tinggi nilai emas itu, ia menyadari bahwa itu tetaplah tidak sebanding dengan tingginya nilai Firman Tuhan.

Mengapa Daud bisa menilai Firman Tuhan ini dengan begitu tingginya? Mari kita lihat awal dari Injil Yohanes. "Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya." (Yohanes 1:1-5). 
Sebab Firman itu adalah Allah. The Word was God Himself. Itu artinya dengan berhadapan dengan Firman Tuhan maka kita pun sebenarnya tengah berhadapan dengan Tuhan sendiri. Ada kuasa disana, ada perlindungan, ada pertolongan, ada solusi atau jawaban dari setiap persoalan hidup, ada peringatan, ada teguran, ada nasihat, ada tuntunan, ada kunci-kunci rahasia kehidupan, ada mukjizat, dan yang jauh lebih penting, ada janji keselamatan yang kekal bagi kita setelah meninggalkan dunia yang fana ini. Jika demikian, tidakkah Firman ini jauh lebih berharga ketimbang emas murni?
Firman Tuhan selalu bagaikan setetes embun penyejuk yang menyegarkan jiwa, bahkan mampu memberi energi atau tenaga tambahan sekaligus memberi kelegaan dan ketenangan dalam situasi-situasi sulit. Ada banyak saudara kita yang kesulitan mendapat akses untuk bisa membaca Firman Tuhan karena banyak hal. Mungkin mereka berada di tempat terpencil atau di tempat yang tidak mengijinkan mereka untuk menghidupi keyakinannya. Jika anda tidak mendapat kesulitan hari ini untuk bisa berdiam di dalam hadiratNya, mendengar suaraNya yang lembut dan terus dipenuhi dengan curahan kasihNya lewat firman-firmanNya, bersyukurlah untuk itu dan jangan buang-buang kesempatan seperti itu.


Diedit dari Renungan Harian Online


Sabtu, 12 November 2011

Semuanya Tentang Dia



Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil (Yohanes 3:30)

   Waktu Sheri bertunangan, Amy sahabatnya yang masih lajang ikut merayakannya. Amy merencanakan pesta bagi sang calon pengantin wanita, membantunya memilih gaun pengantin, berjalan menuju altar di depan Sheri dan berdiri di sampingnya sebagai pendamping pengantin selama upacara pernikahan di gereja. Ketika Sheri dan suaminya dikaruniai anak, Amy mengadakan pesta bagi mereka dan ikut bersukacita atas berkat-berkat yang diterima Sheri.
   Shery berkata kepada Amy, “Kau sudah menghiburku di saat – saat sulit, tetapi satu hal khusus yang membuatku yakin bahwa kau sungguh mengasihiku adalah ketika kau ikut bersukacita bersamaku di masa-masa bahagiaku. Kau tak biarkan cemburu menghalangimu untuk merayakan sukacita bersamaku.”
  
   Ketika para murid Yohanes Pembaptis mendengar makin banyak orang mengikuti seorang rabi baru bernama Yesus, mereka berpikir Yohanes bisa jadi iri (Yoh. 3:26). Mereka menemuinya dan berkata: “Dia membaptis juga dan semua orang pergi kepada-Nya.” Namun, Yohanes ikut bersukacita dalam pelayanan Yesus, “Aku diutus untuk mendahului-Nya….Tetapi sahabat mempelai laki-laki, yang berdiri dekat dia dan yang mendengarkannya, sangat bersukacita mendengar suara mempelai laki-laki itu. Itulah sukacitaku, dan sekarang sukacitaku itu penuh” (ay.28:29).
  
   Sikap rendah hati haruslah juga menjadi ciri hidup kita. Daripada menginginkan perhatian untuk diri sendiri, segala hal yang kita lakukan haruslah membawa kemuliaan bagi Juruselamat kita. “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (ay.30).

Sumber: Renungan Harian Santapan Rohani
          

Jumat, 11 November 2011

Sebuah Game Kehidupan



"Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya.Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya (Matius 6:19-20)


Ada sebuah buku yang ditulis oleh John Ortberg berjudul,”When The Game Is Over It All Goes Back In The Box” (Ketika Sebuah Permainan Berakhir Semuanya Akan Kembali Dimasukkan ke Kotak). Buku ini menggambarkan tentang perjalanan kehidupan kita seperti sebuah permainan dan setiap orang yang terlibat dalam permainan hanya memiliki satu tujuan, yaitu menjadi pemenang. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah cara kita memandang dan menjalani kehidupan saat ini sedang menempatkan kita pada rel yang benar untuk membawa kita menjadi pemenang kehidupan yang sesungguhnya?
Dunia mengukur kesuksesan dan kemenangan hidup dari berapa banyak kekayaan yang bisa kita dapatkan. Namun,Yesus mengatakan di dalam kisah orang kaya yang bodoh, bahwa hal ini adalah sebuah kebodohan. Orang kaya ini berkata, “Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah,makanlah,minumlah,dan bersenang -senanglah.” Ketika orang kaya tersebut mati, Yesus berkata, “Hai engkau orang bodoh, … untuk siapakah itu nanti?”Orang kaya ini memandang dan menjalani kehidupan seperti sebuah permainan Monopoly.
Di mana kemenangan ditentukan oleh berapa banyak kekayaan berupa hotel, rumah, dan asset lainnya. Tetapi permainan Monopoly yang benar di mata Tuhan adalah memiliki harta kekayaan rohani yang dijabarkan Yesus dengan kata menjadi kaya di hadapan Tuhan. Mat 6;19-20 berkata, “Jangan kamu mengumpulkan harta di bumi…. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di Sorga….” Semua yang ada di muka bumi bersifat sementara dan perkara-perkara yang di atas bersifat kekal. Oleh sebab itu, orang yang bijaksana akan membangun kehidupannya dengan mempertimbangkan juga perkara-perkara yang kekal, bukan hanya perkara-perkara duniawi yang bersifat sementara.
Kita tidak dapat kembali ke masa lalu, kita juga tidak dapat mencapai sesuatu di masa depan tanpa sebuah rencana saat ini. Artinya, jangan biarkan kehidupan berlalu seperti air yang mengalir, tetapi jalanilah kehidupan ini dalam sebuah alur perjalanan yang benar. Perhatikanlah cara kita menjalani kehidupan ini: Apakah yang menjadi prioritas kita? Apakah definisi kesuksesan bagi kita? Apakah yang dapat menjadi sumber kebahagiaan kita? Pertanyaan – pertanyaan ini akan menentukan jenis permainan kehidupan yang kita jalani. Oleh karena itu, carilah jawabannya dalam  terang firman Tuhan, bukan kepada kesuksesan yang dunia berikan. Yeyasa mengatakan “Kekayaan yang menyelamatkan ialah hikmat dan pengetahuan; takut akan TUHAN, itulah harta benda Sion.” Mintalah hikmat Tuhan untk menjadikan kita seorang pemenang. Takut akan Tuhanlah yang akan membuat kita tetap  berada pada rel yang akan membawa kita kepada sebuah kemenangan. Dengan memiliki hal-hal ini dalam kehidupan, menjadikan diri kita kaya di hadapan Tuhan.

Sumber: Renungan Harian Manna Sorgawi

Kamis, 10 November 2011

FACE OFF



Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, karena kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk (Matius 23:13)


Pada jaman Yunani kuno, orang-orang Yunani memiliki acara-acara teater besar yang dimainkan dalam teater yang sangat besar. Mereka tidak memiliki microphone untuk membuat suara mereka terdengar, dan tidak memiliki kamera untuk memperbesar gambar diri melalui layar, karena itu mereka menciptakan sistem yang baru. Mereka mengembangkan topeng-topeng yang besar.

Topeng-topeng tersebut membuat mereka tampak seperti karakter yang mereka perankan. Di dalam topeng-topeng tersebut terdapat megaphone untuk memperbesar suara mereka. Para aktor naik ke atas panggung dengan berada di balik topeng, dan mereka menjadi seorang yang lain, seorang yang berbeda dengan siapa mereka sesungguhnya. Para aktor itu disebut hypocrites. Dari situlah muncul kata kemunafikan.

Yesus mengecam ahli taurat dan orang Farisi sebagai orang-orang munafik. Mereka ahli tentang firman, mengajarkan firman, tapi mereka tidak pernah melakukan apa yang mereka ketahui dan katakan.

Dalam dunia panggung sandiwara ini, seolah terdapat begitu banyak orang memainkan peran protagonis, namun semuanya itu tetap hanyalah bagian dari kemunafikan. Sekalipun banyak orang melihat kita bagaikan malaikat, marilah belajar mengakui bahwa mungkin masih terdapat banyak topeng yang harus kita tanggalkan.

Tidak ada pesta topeng di Surga, tanggalkanlah topeng Anda!


Sumber: Renungan Harian Kita

Rabu, 09 November 2011

UNJUK KEKUASAAN



 Demi raja Yerobeam mendengar perkataan abdi Allah yang diserukannya terhadap mezbah di Betel itu, ia mengulurkan tangannya dari atas mezbah dan berkata: "Tangkaplah dia!" Tetapi tangan yang diulurkannya terhadap orang itu menjadi kejang, sehingga tidak dapat ditariknya kembali (1 Raja-Raja 13:4)

   Di Indonesia ini, sudah lazim kita mendengar, melihat dan mengalami, orang yang bersalah bisa berteriak lebih kencang dari pada orang yang benar karena orang yang bersalah tersebut merasa lebih berkuasa atau lebih kuat dari pada orang yang benar, Mulai dari rakyat kecil yang menghimpun orang banyak untuk melakukan demo dan mengklaim tanah tertentu adalah hak mereka. Mereka berpikir dengan pengerahan jumlah massa yang banyak mereka pasti menang dan menjadi benar, sekalipun secara hukum mereka salah. Di dalam keseharian, kita bisa menjumpai orang yang menabrak mobil kita malah marah-marah dan minta ganti rugi. Orang yang punya hutang malah marah-marah dan mengancam ketika ditagih. Atau, karyawan yang di-PHK karena melakukan sesuatu yang merugikan perusahaan, malah balik menuntut perusahaan karena merasa kuat jika serikat buruh berada di pihaknya. Para pejabat dan penguasa yang korup, menudingkan tangan mereka kepada orang lain, sehingga orang lainlah yang dijebloskan ke penjara.

   Seroang penumpang pesawat Lion Air jurusan Jakarta – Yogya jam 06.15, terkejut ketika di kursinya dan kursi temannya telah diduduki oleh seorang anggota DPR dan istrinya. Setelah dicek, ternyata tiket anggota DPR tersebut adalah untuk penerbangan pukul 07.40, bukan 06.15. “Tapi dia ngotot nggak mau turun, pakai bawa-bawa nama Direktur Lion Air segala,” tulis penumpang pesawat tersebut. Awak Lion Air pun dibuat bingung, sehingga pada akhirnya Captain pun turun tangan dengan mengatakan ia tidak mau menerbangkan pesawat jika orang yang punya tiket sah jam 06.15 tidak bisa ikut terbang dengan pesawat itu. Ketegangan berakhir setelah petugas bandara turun tangan membujuk anggota DPR itu untuk turun dari pesawat. Bagusnya, anggota DPR tersebut mau turun dan masih sempat minta maaf walaupun disambut sorak dan tepuk tangan dari para penumpang.

   Sifat mau menang sendiri seperti anggota DPR ini, dan memaksakan kesalahan menjadi kebenaran karena merasa berkuasa, merupakan salah satu sifat jelek Yerobeam: salah tapi tidak mau ngaku salah, malah menunjuk orang lain dan mulai menggunakan kekuasaan yang dia miliki untuk menekan atau membungkam orang yang menentang atau menunjukkan kesalahannya. Yerobeam sudah salah dengan membuat anak lembu emas, membangun bukit pengorbanan, mengangkat imam, dan bertindak sebagai imam. Tapi ia tidak mau disalahkan, malah sebaliknya ia menyuruh untuk menangkap nabi dari Yehuda itu.

   Jika saat ini kita dikaruniai kekuasaan, entahkah itu sebagai ketua kelompok, gembala sidang, pemilik usaha, pejabat pemerintah, pengurus gereja atau badan kristiani lainnya, mari belajar menghargai kebenaran dan bukan memaksakan untuk merubah kesalahan kita menjadi kebenaran dengan berbagai cara. Jangan suka menyalahkan orang lain dan mau menang sendiri dengan menggunakan kekuasaan atau wewenang yang kita miliki.

Disalin dari renungan harian Manna Sorgawi

Selasa, 08 November 2011

MINTA TIDAK PADA TEMPATNYA

Markus 6:25
====================
"Maka cepat-cepat ia pergi kepada raja dan meminta: "Aku mau, supaya sekarang juga engkau berikan kepadaku kepala Yohanes Pembaptis di sebuah talam!"

meminta tidak pada tempatnyaKarena tidak tahan anaknya meminta baju baru, seorang tukang ojek nekad menjadi kurir ganja. Saya membaca berita ini kira-kira setahun lalu di sebuah harian ibukota. Ketika ia tertangkap ia pun menyesali perbuatannya, tetapi semuanya sudah terlambat, karena ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum dan harus mendekam di di dalam penjara. Ini baru satu dari sekian banyak berita yang menunjukkan betapa banyaknya orang yang terjerumus dalam kejahatan karena tidak ingin mengecewakan permintaan anak atau anggota keluarga lainnya. Tidak jarang pula kejahatan itu menjadi sedemikian parahnya sehingga harus menghilangkan nyawa orang lain. Khilaf akan selalu menjadi alasan mereka. Penyesalan akan selalu ada, tetapi konsekuensi jelas harus ditanggung, karena mereka tidak akan pernah bisa kembali ke waktu lalu dan mengubah keputusan mereka untuk melakukan kejahatan. Ada banyak contoh kasus kejahatan yang dimulai dari permintaan atau tuntutan dalam keluarga. Bisa karena terlalu sayang anak/istri sehingga tidak tega menolak, bisa karena terbeban hutang budi, dan sebagainya, dan mereka akan terjebak dalam sebuah tindak kejahatan yang seringkali fatal. Bukan hanya mencuri, namun dalam banyak kasus sampai membunuh karena terdesak dan sebagainya.

Bagi teman-teman yang sudah mempunyai anak yang sedang beranjak dewasa anda mungkin sudah sering mendengar rengekan permintaan anak akan banyak hal. Minta blackberry karena semua teman-teman sudah punya, atau takut diejek teman ketinggalan jaman. Kalau sudah beranjak dewasa mereka akan mulai minta dibelikan kendaraan dan sebagainya. Kalau memang mampu memang tidak masalah. Namun bagaimana jika tidak mampu, bagaimana rasanya telinga dan hati merasakannya? Ini sering membuat orang tua menjadi gelap mata dan mengambil keputusan yang salah. Dosa mengintai disana, siap menerkam dan menelan kita, hingga pada suatu ketika kita akan berada pada sebuah situasi dimana penyesalan menjadi tidak lagi ada gunanya.

Ayat bacaan hari ini mencatat kisah tragis dari kematian Yohanes Pembaptis yang dilakukan dengan sangat sadis. Meski Herodes pernah ditegur oleh Yohanes karena mengambil istri saudaranya sendiri, namun dalam hatinya ia tahu Yohanes benar dan suci. Sementara Herodias, istri saudaranya yang ia ambil menaruh dendam akan Yohanes dan berusaha mencari jalan untuk membunuhnya karena merasa sakit hati. Pada suatu kali, anak perempuan Herodias menari dan menghibur tamu-tamu Herodes. Herodes merasa senang sekali sehingga kelepasan memberi janji akan mengabulkan apapun yang ia minta, bahkan setengah dari kerajaannya sekalipun. (Markus 6:22-23). Lalu si anak berdiskusi pada ibunya, dan sang ibu melihat kesempatan emas untuk membunuh Yohanes. Dan inilah yang terjadi. "Maka cepat-cepat ia pergi kepada raja dan meminta: "Aku mau, supaya sekarang juga engkau berikan kepadaku kepala Yohanes Pembaptis di sebuah talam!" (ay 25). Karena terlanjur berjanji dan takut malu, Herodes pun dengan terpaksa memerintahkan untuk memenggal kepala Yohanes dan menghadirkannya di atas talam/baki sesuai permintaan. Karena malu jika tidak memenuhi janji kepada seorang gadis kecil, mungkin juga karena cintanya yang begitu dalam akan Herodias, ia pun menghilangkan nyawa Yohanes yang ia tahu tidak bersalah apa-apa.

Bagi teman-teman yang masih remaja, berhati-hatilah dalam meminta. Dalam kondisi ekonomi yang semakin berat ini, permintaan-permintaan yang terlalu berat bagi orang tua bisa menyusahkan hati orang tua bahkan bisa membuat mereka terjerumus jatuh ke dalam dosa. Apakah dengan melakukan korupsi, mencuri, bahkan tindakan kekerasan yang merugikan orang lain dapat terjadi karena mereka tidak tahan mendengar tuntutan anak-anaknya. Tekanan atas tuntutan di luar kemampuan bisa menjerumuskan orang ke dalam jurang dosa yang mematikan. Janganlah karena ingin tampil lebih di hadapan orang, kita kemudian tega mengorbankan orang tua kita sendiri. Jagalah diri kita selalu agar jangan menghambakan uang dan kekayaan, seperti yang diingatkan Paulus. "Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka." (1 Timotius 6:9-10).

Para remaja yang masih tinggal dengan orang tuanya harus mau belajar untuk mampu melihat kondisi orang tuanya. Janganlah terlalu banyak menuntut atau meminta sesuatu yang akhirnya bisa membuat orang tua merasa tertekan, malu atau sedih hatinya. Ada banyak tindak kejahatan dan kekerasan bisa timbul dari sini. Jika orang tua merasa tertekan karena tidak mampu memenuhi permintaan, mereka suatu saat bisa terdesak dan melakukan tindak kekerasan/kejahatan. Demikian juga antara pasangan suami istri. Istri pun hendaknya bisa mengetahui batas kemampuan suaminya dan tidak menuntut jauh di atas kemampuan suaminya. Pikirkan dulu baik-baik sebelum meminta sesuatu, agar kita tidak menghancurkan hidup orang yang kita sayangi dan orang lain. Herodes mengambil sebuah keputusan yang fatal hanya karena kelepasan bicara dan tidak sanggup menutupi rasa malunya jika menolak. Marilah kita sama-sama belajar agar tidak terperosok ke dalam kesalahan yang sama.

Sebuah permintaan yang tidak pada tempatnya bisa membawa konsekuensi buruk

Sumber: Renungan Harian Online

DIA YANG MEMEGANG KENDALI


Undi dibuang di pangkuan, tetapi setiap keputusannya berasal dari pada TUHAN (Amsal 16:33)

   Melempar koin, menarik sedotan, atau menarik sebuah nomor dari dalam topi merupakan cara-cara lama yang sering dipakai untuk menyelesaikan suatu persoalan. Saya pernah membaca tentang suatu pemilihan umum di Oklahoma. Dua kandidat utama masing-masing memperoleh 140 suara. Daripada menghabiskan biaya untuk mengulang pemilihan, pejabat kota menggunakan suatu metode undian untuk menentukan pemenangnya, dan setiap orang pun puas menerima hasil akhirnya. Apa yang dikatakan penulis Amsal terbukti benar: “Undian mengakhiri pertengkaran dan menyelesaikan persoalan antara orang-orang berkuasa” (Amsal 18:18).

   Banyak orang memandang hal seperti ini tak lebih dari sekedar kebetulan. Namun hal yang menakjubkan dari apa yang disebut ‘membuang undi” dalam Firman Allah adalah bahwa pada akhirnya Tuhanlah yang mengatur hasilnya. Ini juga nyata terjadi dalam kisah Yunus. Dalam peristiwa yang dialami Yunus, Allah tetap dapat menyatakan diriNya sebagai Tuhan sekalipun melalui tindakan-tindakan dari para pelaut yang tidak mengenal Tuhan.

   Jadi, apa arti semua ini bagi kita sebagai orang percaya? Dalam cara pandang orang Kristen, tidak ada istilah kebetulan. Baik secara langsung maupun tidak langsung, Allah selalu terlibat dalam segala yang terjadi pada diri kita. Oleh karena itu, Dia dapat dipercaya dan ditaati dalam setiap keadaan yang terjadi dalam hidup kita, karena hal-hal yang terkecil sekalipun ada di bawah kenadali-Nya.

ALLAH BERADA DI BALIK LAYAR DAN MENGATUR ADEGAN DARI BALIK LAYAR TERSEBUT

Disalin dari renungan warta jemaat Gereja Kristen Kalam Kudus Makassar
Sumber: RH Online

Senin, 07 November 2011

Kuasa Untuk Menikmati


Pengkhotbah 6:1-2
=========================
"Ada suatu kemalangan yang telah kulihat di bawah matahari, yang sangat menekan manusia:orang yang dikaruniai Allah kekayaan, harta benda dan kemuliaan, sehingga ia tak kekurangan suatupun yang diingininya, tetapi orang itu tidak dikaruniai kuasa oleh Allah untuk menikmatinya, melainkan orang lain yang menikmatinya! Inilah kesia-siaan dan penderitaan yang pahit."
kuasa menikmatiAnda bosan atau malah jengkel melihat iklan-iklan yang memotong konsentrasi anda yang tengah mengikuti atau menonton sebuah acara televisi? Meski saya mengerti mengapa iklan di televisi harus ada, tetapi saya pun sering terganggu ketika tiba-tiba iklan mengganti apa yang terjadi di layar kaca. Semakin tinggi rating sebuah acara, semakin banyak pula iklan yang berseliweran disana. Sembari menanti, saya pun sering memperhatikan iklan-iklan yang ditayangkan. Bukan atas produknya, melainkan apa yang digambarkan atau ditawarkan oleh produk-produk tersebut seperti yang ditampilkan oleh masing-masing iklan. Selain untuk menawarkan kemudahan, kelebihan dan keandalan produk, sebuah iklan juga kerap menawarkan kebahagiaan. Lihatlah iklan yang menampilkan puluhan orang bernyanyi dan menari, deretan gigi-gigi putih bersih, wajah yang begitu bahagia seolah masalah hidup akan sirna semuanya hanya dengan memiliki produk yang diiklankan. Logika manusia memang sepertinya begitu. Siapa sih yang tidak senang kalau punya kemampuan membeli yang lebih dari cukup, dan mampu memiliki produk-produk yang punya kelebihan dan memberi banyak kemudahan dalam hidup? Tapi nyatanya tidaklah demikian. Begitu banyak orang yang kemampuan finansialnya lebih dari cukup, namun kehidupannya jauh dari bahagia. Saya menyaksikan sendiri beberapa orang yang saya kenal hidup dengan harta berlimpah dan berlebih tapi tidak bahagia. Orang yang melihat kekayaan mereka mungkin berpikir akan sangat bahagia jika memiliki setengah saja dari apa yang mereka punya, tapi semua itu nyatanya tidak mendatangkan rasa bahagia sama sekali bagi pemiliknya. Foya-foya, pesta pora, keliling dunia sekalipun seringkali hanya membawa kebahagiaan instan yang sangat singkat umurnya. Kebahagiaan langsung hilang begitu semuanya selesai. Kekayaan tidak serta merta menjamin keluarga yang rukun, damai dan penuh kasih. Banyak keluarga kaya hidupnya berantakan dan penuh masalah. Terus berusaha untuk hidup lebih baik tentu penting, tetapi kita tidak boleh menggantungkan hidup atas kekayaan dan menganggap bahwa kekayaan adalah segalanya. Harta boleh ada tetapi itu belum tentu menjamin kebahagiaan.

Bagaimana mungkin harta berlimpah tetapi orang yang memilikinya belum tentu terjamin kebahagiaannya? Sesungguhnya Alkitab sudah menyampaikan hal itu sejak dahulu kala. Manusia terus berusaha menjadi kaya namun melupakan satu hal yang teramat sangat penting, bahwa kuasa menikmati pun sangatlah kita perlukan. Ini bahkan lebih penting daripada harta, karena jika ini tidak kita miliki maka kita tidak akan bisa menikmati berkat-berkat dalam hidup kita, tak peduli seberapa berlimpahnya harta itu ada pada kita. Itulah sebabnya ada orang-orang yang sangat kaya raya tetapi hidupnya tidak bahagia, karena mereka tidak memperoleh kuasa untuk menikmatinya. Sebaliknya ada orang-orang yang pendapatannya biasa-biasa saja, hanya secukupnya dari hari ke hari, tetapi mereka masih bisa bersyukur dan merasakan kebahagiaan yang indah bersama keluarganya. Jadi kita butuh kuasa untuk menikmati. Dari mana kuasa itu bisa diperoleh? Tentu saja, dari Tuhan.

Perhatikanlah ayat berikut ini: "Ada suatu kemalangan yang telah kulihat di bawah matahari, yang sangat menekan manusia:orang yang dikaruniai Allah kekayaan, harta benda dan kemuliaan, sehingga ia tak kekurangan suatupun yang diingininya, tetapi orang itu tidak dikaruniai kuasa oleh Allah untuk menikmatinya, melainkan orang lain yang menikmatinya! Inilah kesia-siaan dan penderitaan yang pahit." (Pengkhotbah 6:1-2). Jika kita heran bagaimana banyak orang yang sungguh kaya raya, tapi tidak bisa menikmati kekayaannya, maka itu terjawab pada ayat bacaan hari ini. Ternyata kemampuan untuk menikmati kekayaan pun berasal dari karunia Tuhan juga. Ketika motivasi kita beralih dari mengasihi Tuhan dan membagi berkat buat sesama yang membutuhkan kepada menimbun harta sebanyak-banyaknya tanpa pernah merasa cukup, ketika kita mulai mengorbankan waktu kita bersama Allah dan mulai fokus mencari uang sebanyak-banyaknya, pada saat itu pula kita mulai meninggalkan Tuhan. Semakin jauh hal itu terjadi, semakin jauh pula karunia-karunia pergi meninggalkan kita, termasuk karunia untuk menikmati apa yang telah kita miliki. Padahal karunia menikmati adalah hal paling mendasar yang dapat membuat kita merasa bahagia. Di saat itu lah kita akan merasa bahwa apa yang kita kumpulkan ternyata sia-sia adanya tanpa kehadiran karunia untuk menikmati. Betapa malangnya, betapa menyedihkan. Itulah yang disorot oleh Pengkotbah dan ia pun mengingatkan kita agar jangan terjatuh dalam lubang yang sama.

Selanjutnya lihat pula ayat berikut ini: "Setiap orang yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagiannya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya--juga itupun karunia Allah." (Pengkotbah 5:19). Kekayaan, harta benda atau berkat-berkat jasmani itu merupakan karunia Allah yang patut disyukuri, demikian pula kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagian dan bisa bersukacita menikmati hasil jerih payah, itu pun merupakan karunia Allah pula. Ayat ini pun berbicara jelas akan kuasa untuk menikmati sebagai karunia dari Tuhan yang tidak boleh kita abaikan atau lupakan. Jika Pengkotbah mengangkat pesan ini beberapa kali tentulah hal ini sangat penting. Apa yang dituliskan Pengkotbah ini adalah hasil pengalaman atau kesaksiannya sendiri yang ia tulis dari sebuah perenungan panjang. Kita hendaknya bisa belajar dari apa yang telah ia alami dan tuliskan, karena sang Pengkotbah pun menuliskan itu agar menjadi sebuah pelajaran bagi kita untuk tidak melupakan bahwa ada yang namanya kuasa untuk menikmati yang berasal dari Allah. Inilah yang memampukan kita untuk bisa menikmati setiap hasil jerih payah kita dengan bersukacita. Dan itu tidak tergantung dari besaran harta yang kita miliki, melainkan dari sejauh mana kedekatan, kesetiaan dan ketaatan kita kepada Tuhan, Sang Pemberi baik berkat berbentuk fisik, kesehatan maupun sebuah kesempatan bagi kita untuk menikmati berkat-berkatNya.

Benar, Tuhan sanggup menyediakan segalanya buat kita, dan semua itu diberikan kepada orang yang sungguh-sungguh mengasihiNya. "Tetapi seperti ada tertulis: "Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia." (1 Korintus 2:9). Tetapi apalah gunanya itu semua jika tidak disertai dengan karunia untuk bisa menikmatinya? Tidak ada gunanya bagi kita untuk terus fokus hanya kepada mencari harta tanpa memikirkan pentingnya sebuah karunia untuk menikmati. Semua akan sia-sia saja tanpa itu. Karena itu, hendaklah kita bijaksana untuk hidup dalam ketaatan penuh kepada Tuhan, mengasihiNya sepenuh hati, memiliki hidup yang berakar di dalam Tuhan. Membuang hubungan dengan Tuhan tidak saja menghalangi berkat Tuhan tercurah buat kita, tapi juga membuat kita kehilangan kesempatan untuk memperoleh karunia untuk menikmati. Jangan sampai terlambat, mari kita periksa diri kita masing-masing. Apakah kita telah mengucap syukur dan puas terhadap segala sesuatu yang telah kita miliki? Apakah kita masih saja selalu merasa kekurangan? Apakah kita saat ini bisa menikmati hasil kerja kita atau semua itu masih saja tidak membuat kita bahagia? Jika ini yang terjadi, sekarang waktunya untuk kembali berpaling kepada Tuhan yang selalu merindukan kita. Banyak atau sedikit tidak masalah, yang penting kita bisa bersukacita dan bersyukur dalam menikmati setiap berkat yang dikaruniakan Tuhan kepada kita.

Kemampuan untuk menikmati, itupun merupakan karunia Allah yang penting untuk kita miliki

Sumber: Renungan Harian Online

HARI INI


"Tetapi nasihatilah seorang akan yang lain setiap hari, selama masih dapat dikatakan "hari ini", supaya jangan ada di antara kamu yang menjadi tegar hatinya karena tipu daya dosa." (Ibrani 3:13)


Firman Tuhan yang saya pakai sebagai ayat bacaan hari ini mengingatkan kita akan pentingnya memperhatikan baik-baik segala sesuatu yang sedang kita jalani  sekarang. "Tetapi nasihatilah seorang akan yang lain setiap hari, selama masih dapat dikatakan "hari ini", supaya jangan ada di antara kamu yang menjadi tegar hatinya karena tipu daya dosa." (Ibrani 3:13). Betapa pentingnya pesan ini yang mengingatkan kita agar tidak menutup mata ketika melihat ada orang-orang yang masih sesat, termasuk pula untuk diri sendiri. Kita tidak boleh menutup mata terhadap diri kita sendiri dengan terus memberi toleransi kepada dosa untuk terus menggerogoti kita. Di satu sisi kita perlu mengingatkan orang yang tersesat, disisi lain kita sendiri pun pasti masih membutuhkan nasihat, teguran atau peringatan dari orang lain yang dekat dengan kita. Jika mereka menutup mata dan membiarkan kita tersesat, bukankah kita sendiri yang rugi? Begitu pula saudara-saudari kita yang masih melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak berkenan di hadapan Tuhan membutuhkan orang yang mau mengingatkan mereka, dan itu menjadi tugas kita. Sebuah panggilan untuk menjadi terang dan garam bukan saja berarti bahwa kita harus berbuat baik dalam hidup kita, tetapi termasuk pula di dalamnya untuk menerapkan prinsip "saling", saling mengingatkan, saling menasihati dan saling mendukung atau membantu.

Perhatikanlah bahwa Penulis Ibrani menekankan kata "HARI INI". Mengapa sang Penulis memberi penekanan pada kata itu? Jawabannya jelas, karena kita semua tidak akan pernah tahu kapan waktu dan kesempatan kita berakhir. Bisa puluhan tahun lagi, bisa beberapa tahun lagi, beberapa bulan, beberapa hari, atau bahkan bukan tidak mungkin pula ini hari terakhir kita di muka bumi.
Menyia-nyiakan waktu yang masih ada untuk membawa yang sesat kembali ke jalan Tuhan akan membuat kita melewatkan sebuah kesempatan untuk memenuhi tugas sesuai panggilan kita di bumi ini. HARI INI mungkin merupakan kesempatan terakhir kita untuk memperoleh pengampunan Tuhan, atau jika kita sudah berjalan sesuai dengan kehendakNya, hari ini bisa menjadi kesempatan terakhir kita untuk membagikan kasih dan keselamatan yang telah dihadiahkan Tuhan kepada saudara-saudari kita, orang-orang terdekat dan yang kita kasihi.

Rasa individualisme dan ego manusia semakin lama semakin menebal. Untuk menolong orang yang jelas-jelas menangis di depan kita saja sudah semakin sulit, apalagi untuk mengingatkan orang yang masih berada dalam situasi tersesat. Di sekeliling kita ada banyak orang yang masih tenggelam dalam jerat-jerat dosa. Waktu mereka sama seperti kita, tidak ada satupun dari kita yang tahu kapan pastinya kita dipanggil pulang. Kita cenderung menunggu sampai orang lain yang menghampiri dan mengingatkan mereka, kita cenderung berdiam diri, tetapi tidakkah kita sadari bahwa kita pun sebenarnya bisa melakukan sesuatu untuk itu?

Jika ada kesempatan yang masih diberikan Tuhan hari ini, baik untuk diri kita sendiri maupun untuk menasihati orang lain, marilah kita mempergunakan waktu dan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya. Jangan sia-siakan, jangan tunda lagi. Mari kita periksa diri kita lalu memperhatikan orang-orang di sekeliling kita. Bukan besok, bukan nanti, bukan kapan-kapan, tetapi mulailah lakukan hari ini juga, karena tidak ada satupun dari kita yang tahu apa yang akan terjadi esok. Keputusan ada di tangan kita.


Diedit dari Renungan Harian Online